PELETAK
FONDASI SOSIOLOGI
By:
A. Bahrul Ulum
Penelusuran
sejarah asal-usul atau perkembangan suatu bidang kajian ilmu atau cabangnya,
biasanya akan terjebak pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang
pertama kali membahas hal ini, dan pada akhirnya cenderung menonjolkan pelaku
tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini
merupakan proses yang cukup membahayakan.[1]
Oleh sebab itu, untuk menghindari pengkultusan terhadap seorang tokoh saja, dan
tokoh-tokoh yang lain tersembunyikan, maka akan lebih baiknya jika kita
membahas banyak tokoh yang berjasa dalam membangun sebuah fondasi dalam ilmu
sosiologi. Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam membangun
fondasi ilmu sosiologi:
A. Karl Marx (1818-1883 M)
Nama lengkap beliau adalah Karl
Heinrich Marx, dilahirkan di Trier, Prusia, Jerman pada tahun 1818 M. Ibunya
berasal dari keluarga Rabbi Yahudi, sedangkan ayahnya berpendidikan sekuler dan
berprofesi sebagai pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak
menguntungkan bagi pengacara Yahudi, ayah dan keluaranya berpindah agama menjadi
pemeluk agama Protestan.[2]
Pada tahun 1841 M, Marx meraih gelar
doktor fisafat dari Universitas Berlin, sewaktu menjadi mahasiswa Marx
terpengaruh oleh ajaran Hegel.[3]
Ia menikah pada tahun 1843 M dan hijrah ke Paris. Di Paris Marx berkawan dengan
Friedrich Engels, dan dengan kawannya itulah Marx menyusun sebuah buku yang
berjudul Manifesto Komunist pada tahun 1848. Di Paris, Marx juga banyak
berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikir sosialis, dan tokoh pemikir ekonomi
politik Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo.
Setelah itu, Marx menjadi buronan
politik, dan kemudian beliau dipenjara di London sampai meninggal dunia pada
tahun 1883 M. Ia meninggalkan sebuah karya terbesarnya yang berjudul Das
Kapital yang terbit pada tahun 1867 M. Berikut sedikit pembahasan mengenai
pendapat-pendapat dari Marx:
1. Materialisme Historis
Empat konsep penting dalam
Materialisme Historis adalah:
1) Means of
Production (cara
produksi)
Sesuatu yang digunakan untuk
memproduksi kebutuhan materi.
2) Relations
of Production (hubungan
produksi)
Hubungan cara masyarakat
memproduksi dengan peranan sosial yang terbagi pada individu-individu
dalam produksi.
3) Mode of
Production (kebiasaan
produksi)
Kebiasaan produksi menurut Marx
adalah unsur dasar suatu tahapan sejarah yang memperlihatkan bagaimana gerakan
ekonomilah yang membentuk hubungan sosial. Menurutnya, ada lima kebiasaan
produksi yang terdapat pada sepanjang sejarah hidup manusia, yaitu:
a. Komunisme Primitif
b. Masa Kuno
c. Feodal (sistem penguasaan
tanah/daerah/wilayah yang diantut oleh suatu masyarakat yang memiliki
karakteristik hidup dengan corak yang dipengaruhi oleh sifat kebangsawanan).[4]
d. Kapitalisme (sistem perekonomian
yang berdasarkan hak milik individu atau golongan dari suatu kelas yang
menekankan kebebasan dalam lapangan produksi, dimana alat-alat produksi berada
pada kaum yang bermodal atau yang bersaham).[5]
e. Komunisme (sistem politik ekonomi,
dimana alat-alat produksi menjadi milik umum).[6]
4) Force of
Production (kekuatan
produksi)
Kapasitas (isi) dalam benda dan
orang yang digunakan untuk tujuan produksi.
Perubahan sosial akan terjadi
dikarenakan adanya cara produksi, karena cara produksi berubah maka akan
memunculkan kontradiksi (pertentanan) antara cara produksi dengan hubungan
produksi. Jika hubungan produksi telah rusak maka dibutuhkan rekontruksi
(pembangunan ulang) terhadap hubungan produksi baru yang pada akhirnya akan
merubah mode (kebiasaan) produksi. Dan kekuatan produksi dapat diukur dengan
mengukur banyaknya prodak dari hasil produksi dengan sedikitnya modal dan
tenaga kerja yang dibutuhkan, dan produsen mendapatkan banyak konsumen
prodaknya secara konsisten.
2. Teori Alienasi (keterasingan)
Yang membedakan manusia dengan
makhluk lain menurut Marx adalah manusia dapat bekerja dan menghasilkan produk.
Namun, Marx juga menemukan sebuah fakta sederhana mengenai manusia,
bahwasannyayang dicari manusia dalam hidupnya yang pertama adalah makan, minum,
tempat bernaung, dan pakaian. Jauh setelah memenuhi kebutuhan tersebut, maka
manusia mulai mengejar pengetahuan mengenai apa itu politik, sains, seni, dan
agama.[7]
Menurut Marx manusia mengalami
alienasi dalam tiga hal:[8]
1) Manusia teralienasi dari produk
kerjanya sendiri
Contoh: Manusia menjadi pelayan
mesin (manusia menyiapkan kebutuhan-kebutuhan mesin, dan mesin sebagai pelaku
produksi utama. Bukan mesin yang menyiapkan kebutuhan manusia, dan manusia
sebagai pelaku produksi utama).
2) Manusia teralienasi dari dirinya
sendiri
Manusia hidup dibawah keterpaksaan
dikarenakan banyaknya tuntutan dalam bertahan hidup, sehingga manusia mau tidak
dijadikan manusia, karena manusia ingin hidup. Sedangkan karakter yang dominan
tertanam pada diri manusia jika sudah mengejar kebutuhan hidup adalah karakter
biologis saja, yaitu: makan dan minum, istirahat, buang kotoran, bersih-bersih
diri, dan berkembang biak. Dan manusia-manusia yang hidup seperti itu dinamai
Marx sebagai hewan produksi.
3) Manusia teralienasi dari sesamanya
Manusia terikat dengan pekerjaan,
sehingga proses sosialisasi manusia terbatas, dan pada akhirnya manusia lebih
cenderung berkumpul dengan manusia yang senasib.
Ciri-ciri munculnya alienasi:
1) Tidak terkontrolnya jenis, kualitas,
dan harga produk.
2) Manusia yang mengikuti alat, dan
bukan alat yang digerakkan manusia.
3) Menjadi pasifnya gerak manusia jika
tidak ditunjang oleh prodak-prodaknya sendiri.
3. Teori perubahan social
Pada the communist manifesto
Marx berpendapat bahwasannya sejarah dari semua masyarakat hingga saat ini
adalah sejarah perjuangan kelas. Akar adanya perjuangan kelas adalah
dikarenakan adanya pembagian kerja dan kepemilikan pribadi.
Penyakit yang muncul pada ranah sosial
perindividu adalah penyakit “kesadaran palsu”, yaitu secara individu manusia
sadar bahwa dirinya hidup, ada, dan membutuhkan kebutuhan–kebutuhan sebagai
manusia agar tetap hidup. Akan tetapi, banyak manusia yang kurang sadar, bahwa
dengan mengejar kebutuhan individu saja mereka tidak akan pernah lepas tuntas
dari semua masalah kehidupan. Karena manusia tidak akan pernah merdeka jika
tetap berprilaku seperti itu. “Kesadaran sejati” adalah ketika manusia sadar
bahwa mereka hidup seperti itu tidak sendiri. Kemudian mereka berkomunikasi
dengan sesama. Mereka membentuk sebuah organisasi, dan menyusun
kekuatan, menyatukan ideologi, kemudian mereka bersama-sama
berjuang untuk menyetarakan hak agar tidak terlalu terjadi ketimpangan
dalam proses kehidupan.
4. Agama sebagai candu masyarakat
Keadaan dari suatu masyarakat dengan
budaya hidupnya, merupakan sebuah banguan yang istimewa (superstruktur) dari
sejarah perkembangan hidup manusia, dan bangunan tersebut tidak mungkin berdiri
dengan kuat tanpa memiliki bangunan dasar (infrastruktur) sebagai penopangnya.
Menurut Marx, Ideologi, Politik, dan
Agama termasuk di dalam bangunan Superstruktur tersebut, dan dasar bangunannya
(infrastrukturnya) adalah ekonomi. Pengalaman ayahnya yang berpindah agama dari
Yahudi menjadi Protestan merupakan contoh aktual (baru dan sedang menarik
perhatian umum) dan faktual (benar-benar ada) dari pengalaman Marx yang
berkaitan dengan agama dan ekonomi.
Jadi, menurut Marx hanya karena faktor perekonomianlah yang
menyebabkan manusia beragama, sehingga agama hanyalah dijadikan sebagai salah
satu alat ataupun strategi untuk melanggengkan kemapanan ekonomi manusia. Sehingga
Marx berpendapat bahwasannya agama adalah candu masyarakat,[9]
dikarenakan karena doktrin-doktrin agamalah masyarakat mudah terbuai, dan hidup
dalam imajinasi mimpi yang khayal dan belum tentu ada, sehingga karena
keterbuaian yang dihasilkan oleh agama yang diraskan oleh orang yang beragama,
yang melatar belakangi Marx untuk menyamakan agama dengan candu, karena
sama-sama membuat manusia lupa akan kepentingan dirinya dalam hidup.
[1] Damsar, Pengantar Sosiologi
Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 23.
[3] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 123.
[4] Pius A. Partanto dan Dahlan Al
Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Aekola, 2001), hal.175.
[5] Ibid., hal. 305.
[6] Ibid., hal. 356.
[7] Daniel L. Pals, Tujuh Teori
Agama Paling Komperhensif, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Jogjakarta: IRCiSoD,
2012), hal. 179.
[8] D. McLellan, Karl Marx: His
Life and Thought (London: Mac Millan, 1973), hal. 111.
[9] Listiono Santoso, dkk., Epistemologi
Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal.306.
0 komentar:
Posting Komentar