1.
Anaximanes

Anaximanes
hidup dari tahun 585-528 S.M.[1]
anaximanes adalah murid dari dari Anaximander, yang secara subtansial
pemahamannya mengenai asal muasal alam semesta ini tidak jauh berbeda dengan
gurunya. Namun, perbedaan pendapat antara dirinya dengan gurunya hanyalah pada persoalan
zat atau anasir dasar terciptanya alam semesta ini, dan bentuk dari bumi saja.
Anaximanes
adalah tokoh terakhir dari tritunggal Milesian, dikarenakan pada tahun 494 SM
kota Miletos diserang dan ditaklukkan oleh Persia. Karena itu, banyak ahli-ahli
pikir lari dari Miletos. Dengan kepergian para filsuf tersebut, maka lenyaplah
sudah kebesaran Miletos sebagai pusat pengajaran filosofi alam.[2]
Anaximanes
adalah murid dari Anaximander, yang secara subtansial, pemahaman Anaximanes
tentang alam ini tidak terlalu berbeda dengan gurunya. Anaximander mengajarkan
bahwasannya asal dari alam ini satu dan tidak terhingga. Hanya saja, Anaximanes
tidak dapat menerima ajaran gurunya bahwa yang asal tersebut tidak ada
persamaannya dengan barang yang lahir dan tidak dapat dirupakan. Bagi
Anaximanes, yang asal itu mestilah yang satu dari yang ada dan yang tampak.[3]
Anaximanes
berpendapat bahwa materi pertama yang diciptakan adalah udara dan dari udara
tersebutlah terjadi apa yang ada dalam alam ini.[4]
Udara itulah yang satu dan tidak berhingga. Pandangan Anaximanes megenai yang
asal dapat dikatakan sebagai sebuah pandangan yang terpengaruhi oleh pandangan
Thales, dikarenakan Anaximanes dan Thales sama-sama berpendapat bahwasannya
yang asal itu mestilah yang satu dan yang kelihatan. Sedangkan Thales adalah
guru dari Anaximender, dan Anaximander adalah guru dari Anaximanes, dan dapat
diperkirakan juga bahwasannya Anaximanes pernah bertemu dengan Thales,
dikarenakan Thales meninggal pada tahun 548 SM sedangkan Anaximanes dilahirkan
pada tahun 585 SM, sehingga dapat disimpulkan bahwasannya Thales maninggal
ketika Anaximanes berumur 37 tahun. Sehingga prosesntase pertemuan antara dua
tokoh tersebut sangatlah besar, dikarenakan mereka bermukim di kota yang sama
yakni Miletos.
Pandangan
Anaximanes yang menyatakan bahwa materi pertama yang diciptakan adalah udara
dan dari udara tersebutlah terjadi apa yang ada dalam alam ini didasarkan atas
alasan-alasan sebagai berikut:
1. Suatu kenyataan bahwasannya udara tersebut terletak di mana-mana.
Dunia ini diliputi oleh udara, tidak ada satu ruangan pun yang tidak terdapat
udara di dalamnya. Oleh karena itu, udara itu tidak ada habis-habisnya, tidak
berkesudahan dan berkeputusan.
2. Suatu keistimewaan dari udara ialah ia senantiasa bergerak. Oleh
karena itu, udara memegang peranan penting dalam berbagai rencana kejadian dan
perubahan dalam alam ini.
3. Udara adalah unsur kehidupan. Udara adalah dasar hidup. Tidak
ada sesuatupun yang hidup tanpa udara. Oleh karena itu, Anaximanes dapat
menerima ajaran gurunya bahwasannya “jiwa itu serupa dengan udara”.
Sebagai kesimpulan atas ajarannya, ia mengatakan, “sebagaimana jiwa kita,
yang tidak lain daripada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat
dunia ini menjadi satu, dan menjaga agar tubuh tidak bercerai berai. Kalau jiwa
keluar dari badan, badan menjadi mati, hancur dan bercerai-berai
bagian-bagiannya. Juga alam besar ini ada karena udara, udaralah yang menjadi
dasar hidupnya, jika tidak ada udara hancrlah alam ini. Dengan demikian, alam (makro
kosmos) dan manusia (mikro kosmos) itu pada dasarnya satu rupa.”[5]
Dari
isi argument ke tiga tersebut dapat kita ketahui bahwasannya untuk pertama
kalinya pengertian jiwa masuk ke dalam pandangan filosofi, dan Anaximaneslah
pencetusnya. Hanya saja Anaximanes tidak melanjutkan pikirannya kepada soal
penghidupan jiwa. Dikarenakan soal tersebut terletak diluar garis filosofi
alam, yang mencari sebab penghabisan daripada alam ini. Soal jiwa yang mengenai
alam kecil, perasaan manusia yang hidup dalam pergaulan, baru kemudian menjadi
masalah yang penting bagi pemikiran filosofis semenjak Aristoteles memulai
mengupasnya. Dengan itu dihidupkannya cabang ilmu baru, yang kemudian diberi
nama psikologi.
Menurut
Anaximanes, udara itu merupakan benda atau materi. Tetapi, walaupun dasar dari
segala kehidupan yang berbentuk materi, Anaximanes tetap membedakan antara yang
hidup dengan yang mati. Menurutnya, yang mati adalah yang tidak memiliki jiwa,
badan mati, karena menghembuskan jiwa keluar. Jadi, menurutnya letak jiwa
adalah bersatu dengan materi yang hidup. Dalam hal ini, pendapat Anaximanes
berbeda dengan pendapat Thales yang berpendapat bahwasannya benda mati jga
berjiwa. Anximanes terlepas dari pandangan animism.[6]
Kemudian,
muncul sebuah pertanyaan kepada Aaximanes, jika ada yang hidup dan yang mati,
yang hidup adalah yang berjiwa, di mana letak jiwa dari materi yang telah mati?
Menurut Anaximanes, “keadaan udara murni, yang bersih dan halus tidak akan
musnah dan tidak menerima kerusakan, begitupun juga dengan jiwa. Sedangkan,
udara yang kotor adalah yang kasar, kotor dan dapat rusak. Apa yang ada di atas
udara juga termasuk alam yang bersih. Itulah sebuah alam dimana jiwa berada.
Dan di bawah alam yang bersih tersebut ada alam jasmani, alam yang bersifat
materi, yang kotor, dan bisa musnah. Udara menjadi asal muasal segala yang ada,
di alam yang bersih maupun di alam yang kotor. Jiwa yang tercipta dari udara
yang bersih, ditempatkan pada materi yang kotor yang tercipta dari udara yang
kotor, hanya sebagai bentuk dari gerak proses penyucian dari materi yang kotor
tersebut agar semuanya dapat kembali menjadi yang bersih. Jika jiwa tersebut
lepas dari materi, maka jiwa tersebut kembali kepada alam dimana mereka
berasal, yaitu alam yang bersih, yang terletak di atas alam yang kotor, yang
tercipta dari udara yang bersih.”[7]
Anaximanes
mengemukakan suatu soal baru, yang belum didapat pada Thales dan Anaximander.
Ketiga-tiganya berpendapat, “Bahwa ada yang menjadi pokok segalanya”.
Namun, Anaximanes maju selangkah lagi dengan menanyakan: “Gerakan apakah
yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir yang banyak ragam dan macam itu
daripada barang asal yang satu itu?”
Sebagai
ahli ilmu alam, Anaximanes menjawab dengan melandasi jawaban-jawabannya dari
pengalaman-pengalaman yang ia peroleh. Ia menjawab, Semuanya terjadi dari
udara. Kalau udara diam saja, sudah tentu tidak akan terjadi banyak kelahiran
tersebut dengan berbagai macam dan ragam. Sebab itu, gerak udaralah yang
menjadi sebab jadinya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara menjadi jarang,
terjadilah api. Kalau udara berkumpul menjadi rapat, terjadilah angin dan awan.
Bertambah padat seikit lagi, turun hujan dari awan tersebut. Dari air terjadi
tanah. Dan tanah yang sangat padat menjadi batu.
Matahari,
bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap yan keluar dari bumi naik ke
atas. Di atas ini menjadi jarang, dan sebab itu menjadi api. Api menyala
menjadi matahari, bulan dan bintang. Tetapi di antara bintang-bintang tersebut
ada juga yang semacam bumi (tanah). Bintang-bintang beredar, tetapi tidak
mengelilingi bumi, dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi, melainkan
berkeliling di atas bumi, seperti “topi berputar di atas kepala”. Hilang
timbulnya bintang itu disebabkan jauh dan dekat edarannya. Kalau ia tidak terlihat,
itu tanda bahwa ia jauh dari kita.[8]
Mengenai
bentuk alam ini, Anaximanes berpendapat seperti orang-orang pada zamannya
bahwasannya alam ini berbentuk seperti meja bundar. Dan di bawahnya di tupang
oleh udara. Udara yang mengangkatnya itu, tidak memiliki ruang untuk bergerak
dan bersebar, sebab itu tetap duduknya. Dan oleh karena itu, bumi ini tetap
pada tempatnya. Dan langit melindungi bumi, seperti sebuah caping (topi petani
yang digunakan untuk pergi ke sawah, yang terbuat dari bambu tipis yang disusun
rapi, dan berbentuk kerucut).
Di
zaman antic, Anaximanes lebih dihormati dari pada Anaximander, meskipun hampir
seluruh dunia modern memberikan penilaian yang sebaliknya. Ia memberikan banyak
pengaruh penting terhadap Pythagoras dan banyak peikir-pemikir spekulatif
selanjutnya. Kaum Pythagorean sudah berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti
bola, namun kaum atomis tetap menganut pandangan Anaximanes bahwa bumi
berbentuk seperti meja bundar.[9]
Mazhab
Milesian (Thales, Anaximander, dan Anaximanes) penting dikaji bukan karena apa
yang mereka capai, namun karena apa yang mereka upayakan. Dari
pandangan-pandangan dan hasil pemikiran filosof-filosof tersebut,
seminimalisirnya dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Alam semesta ini merupakan suatu keseluruhan yang mempunyai
dasar atas asal yang satu, walaupun mereka tidak sepakat mengenai yang satu,
yang menjadi dasar dari alam semesta ini.
2. Alam semesta ini dikuasai oleh hukum, kejadian-kejadian dalam
alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi ada semacam keharusan
dibelakang kejadian-kejadian tersebut.
3. Akibatnya, alam semesta ini merupakan kosmos dalam arti
yang teratur, sebagai lawan dari chaos dalam arti yang kacau balau.
4. Pemikiran-pemikiran filsuf tersebut muncul dikarenakan terjadi
kontak antara pemikir Yunani, dengan Babilonia dan Mesir.
5. Pemikiran-pemikiran spekulatif dari Thales, Anaximander, dan
Anaximanes bisa di anggap sebagai hipotesa-hipotesa ilmiah, dikarenakan
pemikiran mereka hampir tidak pernah mereka bangun dari ajaran-ajaran Olympian,
tidak juga tercampur hasrat-hasrat antropomorfis, dan tidak juga tercampur
dengan ide-ide moral yang mereka usung.
[1] Ibid.,Hatta, Alam
Pikiran,,,hal. 12. Akan tetapi, mengenai kapan masa hidup Anaximanes secara
pasti,,,penulis belum menemukan data yang akurat. Dikarenkan masih banyaknya
perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Sebagai contoh: Atang abdul hakim
menuliskan bahwa Anaximanes hidup pada tahun 585-524 SM, lihat di: Atang Abdul
Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 154. Kemudian, Bertrand
Russell malah tidak menyebutkan kapan naximane hidup, namun beliau memberikan
ciri-ciri bahwasannya yang jelas Anaximanes muncul sesudah Anaximander, dan dia
sudah dewasa sebelum tahun 494 SM. Lihat di: Bertrand Russell, terj., Sigit
Jatmiko, dkk., Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hal. 36.
[2] Ibid
[3] Ibid., Atang Abdul Hakim
dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 155.
[4] Ibid., Syahrastani, Al
Milal wa Al Nihal, …, hal. 61.
0 komentar:
Posting Komentar