Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 19 Februari 2014

Anaximander



1.         Anaximander

Anaximander adalah filsuf kedua setelah Thales dari mazhab Milesian, Anaximander hidup kurang lebih sekitar tahun (610-546 S.M).[1] Anaximander berusia lima belas tahun lebih muda daripada Thales, tetapi dia meninggal dua tahun lebih dahulu daripada Thales, dan ia adalah murid dari Thales. Konon diceritakan bahwasannya Anaximander berusia enam puluh empat tahun pada tahun 546 SM. Sebagai seorang filosof, Anaximander dapat dikatakan lebih besar namanya daripada gurunya, ia juga ahli dalam bidang astronomi dan ilmu bumi.[2]
Sama halnya dengan gurunya, Anaximander juga ingin mencari arche (asal mula) dari segalanya. Ia tidak dapat menerima keseluruhan dari apa yang diajarkan gurunya. Yang dapat di terima oleh anaximender bahwasannya yang asal itu adalah satu, dan tidak banyak. Akan tetapi, menurut Anaximander, yang satu tersebut bukanlah air, dan bukan suatu anasir yang dapat diamati oleh pancaindra. Menurut Anaximander arche kosmogonis itu berasal dari to apeiron , yang memiliki sifat tak terbatas, tak terhingga, abadi dan tak mengenal usia, dan “ia melingkupi seluruh dunia-dunia”.[3]
Menurut Anaximander , segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindera kita, semuanya itu memiliki akhir. Namun, sifat yang tampak tersebut sangatlah berbeda dengan apeiron sebagaimana telah dijelaskan dalam paragraph sebelumnya mengenai sifat apeiron.
Lebih jelasnya lagi, apeiron itu tidak dapat dirupakan, tidak ada persamaannya dengan salah satu barang yang tampak di dunia ini, sebab segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita adalah barang yang mempunyai akhir yang berhingga. Oleh sebab itu, apeiron adalah barang yang asal, yang tidak berhingga dan tiada berkeputusan. Dikarenakan yang berkeputusan itu mustahil menjadi dasar dari segala yang tampak, karena yang tampak pastilah memiliki akhir. Segala yang tampak juga dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi dengan yang dingin. Dimana bermula suatu yang panas, pasti diakhiri dengan suatu yang dingin. Yang cair dibatasi dengan yang beku. Yang terang dibatasi dengan yang gelap. Bagaimana yang terbatas tersebut dapat memberikan sifat kepada yang tidak berkeputusan?
Anaximander beranggapan bahwa dunia kita ini hanyalah salah satu dari banyak dunia. Subtansi asali itu diubah menjadi berbagai subtansi yang kita kenal, dan subtansi-subtansi tersebut saling ditransformasikan menjadi subtansi yang satu atau yang lain. Mengenai hal ini, Anaximander mengutarakan suatu gagasan penting yang patut disimak:
“Untuk menjadi sesuatu yang darinya, segala sesuatu yang lainnya saling meningkatkan diri, karena hukum alam, subtansi-subtansi tersebut haruslah musnah sekali lagi, sebagaimana yang telah ditakdirkan, sehingga dapat memuaskan antara satu dengan yang lainnya karena ketidak adilan tersebut, sesuai dengan pengaturan waktu.”
Gagasan keadilan sebagimana yang di ungkapkan Anaximander tersebut, baik yang sifatnya kosmis maupun manusiawi, memainkan perannya dalam agama dan filsafat Yunani yang tidak sepenuhnya mudah dipahami oleh orang-orang modern, bahkan istilah “keadilan” yang kita pakai, nyaris tak mampu untuk mengungkapkan maksudnya, tetapi sukar menemukan term (istilah) lainnya yang lebih memadai.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan, bagaimana dari apeiron tersebut timbul alam semesta? Dari apeiron keluar bermula yang panas dan yang dingin. Yang panas membalut yang dingin, sehingga yang dingin itu terkandung didalamnya. Sebab itu yang dingin tersebut menjadi bumi. Dan dari yang dingin tersebut timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua belah yang bertentangan. Api yang membalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu berputar-putar seperti jalannya roda. Karena putarannya itu timbullah di antaranya berbagai lubang. Pecahan-pecahan api tersebut terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan bintang.[4]
Bumi ini bermula dengan dibalut oleh uap yang basah. Karena ia berputar, yang basah tadi menjadi kering berangsur-angsur. Akhirnya tinggallah sisa uap yang basah itu sebagai laut pada bumi.
Atas pengaruh yang panas terjadilah daripada uap yang basah tadi makhluk dengan bertingkat–tingkat kemajuan hidupnya.pada permulaannya bumi ini diliputi air semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama di atas bumi ialah hewan yang hidup di dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya serupa dengan ikan. Baru kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bangunan seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan tersebutlah terjadi manusia pertama. Manusia bermula tak bias serupa dengan manusia sekarang. Sebab manusia yang dilahirkan serupa kanak-kanak tersebut tidak bias serentak berdiri sendiri. Ia perlu akan asuhan manusia ain terlebih dahulu, bertahun-tahun lamanya. Makhluk seperti itu tidak bisa hidup pada permulaan penghidupan di dunia ini, dikarenakan pada awal penghidupan tentunya setiap makhluk hidup mesti tahu menolong dirinya sendiri dengan segera, sejak dari lahirnya. Yang sanggup berbuat demikian ialah makhluk hidup yang berupa ikan.
Jadi, menurut Anaximander dunia ini tidak diciptakan, seperti dalam teologi Yahudi atau Kristen, namun lahir karena evolusi. Dalam dunia binatang pun terjadi evolusi. Makhluk hidup muncul dari unsur basah yang kemudian menguap karena matahari. Manusia, sebagaimana semua binatang lain, berasal dari ikan. Manusia pasti berasal dari jenis binatang yang berbeda karena, mengingat masa banyinya yang berlangsung lama, sejak semula ia tentu tak akan mampu bertahan hidup seperti halnya sekarang.[5]
Pendapat Anaximander tentang kejadian dan perkembangan makhluk hidup didunia ini banyak yang menyerupai teori Darwin, yang muncul pada abad 19 M, yaitu dua puluh lima abad sesudah masa hidup Anaximander. Tak heran, jika banyak lelucon bahwasannya Anaximander dapat ataupun patut dipandang sebagai “Darwinis”, yang memiliki makna “pengikut Darwin yang pertama kali”.
Anaximander menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan udara.[6] Anaximander juga memiliki semangat keingintahuan ilmiah yang besar. Konon ia adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti silinder. Sering dikisahkan pernyataannya bahwa matahari sama besarnya dengan bumi, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan kali lipat besarnya. Selain orisinil, Anaximander berwatak ilmiah dan rasionalistik.[7]
Dipandang dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal tampak pada keterangan Anaximander. Namun, jika kita mengamatinya dari sudut pandang manusia di masanya, di mana segala keterangan berdasar kepada takhayul dan cerita-cerita yang ganjil, pendapatnya tersebut merupakan suatu buah pikiran yang sangat lanjut. Dari latar belakang tersebut, saya rasa cukuplah untuk memandang Anaximander sebagai seorang pemikir yang genius. Namun, yang jadi perhatian penting bagi manusia-manusia yang hidup sesudahnya adalah caranya dalam menguraikan keterangan dari ide-ide pokoknya. Dia menggunakan metode berpikir yang teratur. Masalah yang banyak seluk beluknya ditinjau dari satu jurusan atau pokok yang mudah. Demikianlah cara ilmu sekarang bekerja, sekalipun ditunjang dengan alat pikir yang lebih sempurna.


[1] Ibid., Loekisno Choiril Warsito, dkk., …, hal. 19.
[2] Ibid., Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 152.
[3] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 34.
[4] Ibid.,Hatta, Alam Pikiran,,,hal. 10.
[5] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 35.
[6] Ibid.,Hatta, Alam Pikiran,,,hal. 11.
[7] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 36.

0 komentar:

Posting Komentar