1.
Anaximander

Anaximander
adalah filsuf kedua setelah Thales dari mazhab Milesian, Anaximander hidup
kurang lebih sekitar tahun (610-546 S.M).[1]
Anaximander berusia lima belas tahun lebih muda daripada Thales, tetapi dia
meninggal dua tahun lebih dahulu daripada Thales, dan ia adalah murid dari
Thales. Konon diceritakan bahwasannya Anaximander berusia enam puluh empat
tahun pada tahun 546 SM. Sebagai seorang filosof, Anaximander dapat dikatakan
lebih besar namanya daripada gurunya, ia juga ahli dalam bidang astronomi dan
ilmu bumi.[2]
Sama
halnya dengan gurunya, Anaximander juga ingin mencari arche (asal mula)
dari segalanya. Ia tidak dapat menerima keseluruhan dari apa yang diajarkan
gurunya. Yang dapat di terima oleh anaximender bahwasannya yang asal itu adalah
satu, dan tidak banyak. Akan tetapi, menurut Anaximander, yang satu tersebut
bukanlah air, dan bukan suatu anasir yang dapat diamati oleh pancaindra.
Menurut Anaximander arche kosmogonis itu berasal dari to
apeiron , yang memiliki sifat tak terbatas, tak terhingga, abadi dan tak
mengenal usia, dan “ia melingkupi seluruh dunia-dunia”.[3]
Menurut
Anaximander , segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan
rupanya dengan pancaindera kita, semuanya itu memiliki akhir. Namun, sifat yang
tampak tersebut sangatlah berbeda dengan apeiron sebagaimana telah
dijelaskan dalam paragraph sebelumnya mengenai sifat apeiron.
Lebih
jelasnya lagi, apeiron itu tidak dapat dirupakan, tidak ada persamaannya
dengan salah satu barang yang tampak di dunia ini, sebab segala yang kelihatan
itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita adalah barang yang
mempunyai akhir yang berhingga. Oleh sebab itu, apeiron adalah barang
yang asal, yang tidak berhingga dan tiada berkeputusan. Dikarenakan yang
berkeputusan itu mustahil menjadi dasar dari segala yang tampak, karena yang
tampak pastilah memiliki akhir. Segala yang tampak juga dibatasi oleh lawannya.
Yang panas dibatasi dengan yang dingin. Dimana bermula suatu yang panas, pasti
diakhiri dengan suatu yang dingin. Yang cair dibatasi dengan yang beku. Yang
terang dibatasi dengan yang gelap. Bagaimana yang terbatas tersebut dapat
memberikan sifat kepada yang tidak berkeputusan?
Anaximander
beranggapan bahwa dunia kita ini hanyalah salah satu dari banyak dunia.
Subtansi asali itu diubah menjadi berbagai subtansi yang kita kenal, dan
subtansi-subtansi tersebut saling ditransformasikan menjadi subtansi yang satu
atau yang lain. Mengenai hal ini, Anaximander mengutarakan suatu gagasan
penting yang patut disimak:
“Untuk menjadi sesuatu yang darinya,
segala sesuatu yang lainnya saling meningkatkan diri, karena hukum alam,
subtansi-subtansi tersebut haruslah musnah sekali lagi, sebagaimana yang telah
ditakdirkan, sehingga dapat memuaskan antara satu dengan yang lainnya karena
ketidak adilan tersebut, sesuai dengan pengaturan waktu.”
Gagasan
keadilan sebagimana yang di ungkapkan Anaximander tersebut, baik yang sifatnya
kosmis maupun manusiawi, memainkan perannya dalam agama dan filsafat Yunani
yang tidak sepenuhnya mudah dipahami oleh orang-orang modern, bahkan istilah
“keadilan” yang kita pakai, nyaris tak mampu untuk mengungkapkan maksudnya,
tetapi sukar menemukan term (istilah) lainnya yang lebih memadai.
Kemudian
timbul sebuah pertanyaan, bagaimana dari apeiron tersebut timbul alam
semesta? Dari apeiron keluar bermula yang panas dan yang dingin. Yang
panas membalut yang dingin, sehingga yang dingin itu terkandung didalamnya.
Sebab itu yang dingin tersebut menjadi bumi. Dan dari yang dingin tersebut
timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua belah yang bertentangan. Api
yang membalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu
berputar-putar seperti jalannya roda. Karena putarannya itu timbullah di
antaranya berbagai lubang. Pecahan-pecahan api tersebut terpisah-pisah, dan
menjadi matahari, bulan dan bintang.[4]
Bumi
ini bermula dengan dibalut oleh uap yang basah. Karena ia berputar, yang basah
tadi menjadi kering berangsur-angsur. Akhirnya tinggallah sisa uap yang basah
itu sebagai laut pada bumi.
Atas
pengaruh yang panas terjadilah daripada uap yang basah tadi makhluk dengan
bertingkat–tingkat kemajuan hidupnya.pada permulaannya bumi ini diliputi air
semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama di atas bumi ialah hewan yang hidup
di dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya serupa dengan ikan. Baru
kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bangunan seperti
sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan tersebutlah terjadi manusia
pertama. Manusia bermula tak bias serupa dengan manusia sekarang. Sebab manusia
yang dilahirkan serupa kanak-kanak tersebut tidak bias serentak berdiri
sendiri. Ia perlu akan asuhan manusia ain terlebih dahulu, bertahun-tahun
lamanya. Makhluk seperti itu tidak bisa hidup pada permulaan penghidupan di dunia
ini, dikarenakan pada awal penghidupan tentunya setiap makhluk hidup mesti tahu
menolong dirinya sendiri dengan segera, sejak dari lahirnya. Yang sanggup
berbuat demikian ialah makhluk hidup yang berupa ikan.
Jadi,
menurut Anaximander dunia ini tidak diciptakan, seperti dalam teologi Yahudi
atau Kristen, namun lahir karena evolusi. Dalam dunia binatang pun terjadi
evolusi. Makhluk hidup muncul dari unsur basah yang kemudian menguap karena
matahari. Manusia, sebagaimana semua binatang lain, berasal dari ikan. Manusia
pasti berasal dari jenis binatang yang berbeda karena, mengingat masa banyinya
yang berlangsung lama, sejak semula ia tentu tak akan mampu bertahan hidup
seperti halnya sekarang.[5]
Pendapat
Anaximander tentang kejadian dan perkembangan makhluk hidup didunia ini banyak
yang menyerupai teori Darwin, yang muncul pada abad 19 M, yaitu dua puluh lima
abad sesudah masa hidup Anaximander. Tak heran, jika banyak lelucon bahwasannya
Anaximander dapat ataupun patut dipandang sebagai “Darwinis”, yang memiliki
makna “pengikut Darwin yang pertama kali”.
Anaximander
menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan udara.[6]
Anaximander juga memiliki semangat keingintahuan ilmiah yang besar. Konon ia
adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk
seperti silinder. Sering dikisahkan pernyataannya bahwa matahari sama besarnya
dengan bumi, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan kali lipat besarnya. Selain
orisinil, Anaximander berwatak ilmiah dan rasionalistik.[7]
Dipandang
dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal tampak pada keterangan
Anaximander. Namun, jika kita mengamatinya dari sudut pandang manusia di
masanya, di mana segala keterangan berdasar kepada takhayul dan cerita-cerita
yang ganjil, pendapatnya tersebut merupakan suatu buah pikiran yang sangat
lanjut. Dari latar belakang tersebut, saya rasa cukuplah untuk memandang
Anaximander sebagai seorang pemikir yang genius. Namun, yang jadi perhatian
penting bagi manusia-manusia yang hidup sesudahnya adalah caranya dalam
menguraikan keterangan dari ide-ide pokoknya. Dia menggunakan metode berpikir
yang teratur. Masalah yang banyak seluk beluknya ditinjau dari satu jurusan
atau pokok yang mudah. Demikianlah cara ilmu sekarang bekerja, sekalipun
ditunjang dengan alat pikir yang lebih sempurna.
[1] Ibid., Loekisno Choiril
Warsito, dkk., …, hal. 19.
[2] Ibid., Atang Abdul Hakim
dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 152.
[3] Ibid., Bertrand Russell,
terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 34.
[4] Ibid.,Hatta, Alam
Pikiran,,,hal. 10.
[5] Ibid., Bertrand Russell,
terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 35.
[6] Ibid.,Hatta, Alam
Pikiran,,,hal. 11.
[7] Ibid., Bertrand Russell,
terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 36.
0 komentar:
Posting Komentar