FILSAFAT
KUNO
A. Filsafat Yunani Pra-Socrates
Para
filosof Yunani yang pertama, tidak dilahirkan di tanah airnya sendiri,
melainkan di tanah perantauan di Asia Minor. Dahulu, bangsa Yunani di
Semenanjung Balkan banyak yang menjadi perantau, dikarenakan tanah bangsa
Yunani tidak subur, dan sepanjang daratan dilalui oleh bukit barisan, serta
banyak teluk yang menjorok ke daratan, sehingga tidak banyak tanah yang baik
untuk tempat tinggal. Mereka yang merantau itu dapat mencapai kemakmuran dalam
hidup, dari perniagaan dan pelayaran. Kemakmuran itu memberikan kelonggaran
bagi mereka untuk mengerjakan hal-hal selain mencari kehidupan. Waktu yang
terluang dipergunakan untuk memperoleh dan memperkuat kemuliaan hidup dengan
seni dan mengembangkan buah pikiran. Itulah sebabnya, Miletos di Asia Minor,
kota tempat mereka merantau, menjadi tempat lahirnya para filosof-filosof Yunani
yang pertama, seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Mereka disebut sebagai
filosof Alam dan tritunggal Milesian, dikarenakan tujuan filsafat mereka ialah
memikirkan masalah alam yang mereka huni yang begitu besar dan menakjubkan,
bagaimana alam ini ada dan dari mana sumber terbentuknya alam.[1]
Para filosof Yunani pra-Socrates terutama pemikiran dari tritunggal Milesian
menjadi menarik dikaji terutama oleh pecinta filsafat dikarenakan bukan dari
apa yang mereka capai, namun dari semangat apa yang mereka upayakan.
1.
Thales

Filosof
Milesian pertama adalah Thales, yang hidup kurang lebih pada abad ke-6 sebelum
masehi,[2]
antara tahun 624-548 SM.[3]
Di kalangan orang-orang Yunani pada waktu itu, Thales dikenal sebagai salah
seorang hoi liepta soplioi, yaitu tujuh orang yang bijaksana, yang
masing-masing dikenal terutama karena suatu pernyataannya yang dianggap bijak.[4]
Aristoteles memberikan gelar kepada Thales sebagai filosof milesian pertama
dari kedua filosof sesudahnya, yaitu Anaximander, dan Anaximenes.
Thales
adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir, dari Mesirlah Thales
mempelajari geometri dan memperkenalkannya kepada masyarakat Yunani. Yang
diketahui orang Mesir mengenai geometri, terutama hanyalah hitungan-hitungan
kasar, dan tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa Thales telah mampu melakukan
pembuktian secara deduktif sebagaimana yang ditemukan oleh bangsa Yunani
dikemudian hari.[5]
Diceritakan
pula bahwa ia memiliki ilmu tentang cara mengukur tinggi piramid-piramid berdasarkan
panjang dari bayangannya, cara mengukur jauhnya kapal di laut dari sebuah
pantai, yang ia ketahui berdasarkan observasi yang ia lakukan di dua tempat di
daratan, ia juga memiliki teori tentang banjir tahunan sungai Nil di Mesir.
Bahkan, ia juga berhasil meramalkan terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28
Mei tahun 585 S.M. oleh karena itu, ia dikenal sebagai ahli astronomi dan
metafisika. Berbagai penemuan Thales menggiring cara berpikir manusia dari
mitos-mitos kepada alam nyata yang empirik.[6]
Sumber
utama ajaran Thales diungkapkan oleh Aristoteles, sebagaimana dalam traktatnya
mengenai metafisika Aristoteles menyatakan bahwa Thales adalah orang pertama
yang memikirkan tentang asal muasal terjadinya alam semesta ini. Menurut
Thales, asal mula alam ini adalah air.[7]
Air adalah pusat dan sumber segala yang ada atau pokok dari segala sesuatu.
Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali menjadi air. Menurut Thales,
tumbuh-tumbuhan dan binatang lahir ditempat yang lembab, bakteri-bakteri hidup
dan berkembang di tempat yang lembab, dan kelembaban berasal dari air. Dari air
itulah muncul tumbuh-tumbuhan dan hewan, bahkan tanah pun mengandung air.
Argument Thales merupakan argument yang bukan hanya rasional, akan tetapi juga
observatif, meskipun pada zamannya belum lahir ilmu pengetahuan yang segala
sesuatu baru dinyatakan benar jika telah dibuktikan kerasionalannya, kemudian dilakukannya
observasi dan menunjukkan bukti empirik dari hipotesa yang diungkapkan.[8]
Pandagan
Thales merupakan sebuah hasil dari cara berfikir yang sangat tinggi, karena
sebelumnya, orang-orang yunani lebih banyak mengambil jawaban-jawaban tentang
alam dengan kepercayaan-kepercayaan dan mitos-mitos yang dipenuhi dengan
ketakhayulan. Thales telah membuka alam pikiran dan keyakinan tentang alam
serta asal muasalnya, tanpa menunggu hadirnya penemuan ilmiah dan doktrin
doktrin agama yang kesemua doktrinnya belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya
dengan paradigma sains secara keseluruhan. Bagi Thales, semua kehidupan berasal
dari air, bahkan air berasal dari air, air adalah causa prima (sebab
utama) dari segala yang ada yang jadi, tetapi juga akhir dari segala yang ada
dan yang jadi. Di awal air dan di ujung air, atau dengan kata lain secara
filosofis, air adalah subtract (bingkai)
dan subtansi (isi). Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, tidak ada
jurang pemisah antara hidup dengan mati, dikarenakan semuanya satu.[9]
Naluriah
imanen Thales adalah animisme, yang mempercayai bahwa bukan hanya
yang hidup saja yang memilik jiwa, tetapi benda mati juga memiliki jiwa.
Argument tersebut muncul setelah menilai pendapat Thales yang mengatakan bahwa
magnet memiliki jiwa, karena dapat menggerakkan besi, selain itu, sesungguhnya
segala sesuatu penuh dengan dewa-dewa.[10]
Aristoteles menamakan pendapat Thales yang mengatakan bahwa jagat raya ini
memiliki jiwa adalah hylezoime.[11]
Selain
sebagai seorang filosof, Thales juga seorang ahli politik di kota miletos,
Thales juga banyak belajar tentang matematik (ilmu perhitungan) dan astronomi
(ilmu perbintangan). Ada cerita yang mengatakan bahwa Thales menggunakan
kepintarannya sebagai ahli nujum. Dengan jalan itu, Thales menjadi kaya raya.
Pada suatu waktu, Thales pernah meramalkan bahwa pada tahun itu di miletos akan
terjadi sebuah gerhana matahari, dan kemudian ramalannya terbukti, gerhana
matahari tersebut terjadi pada tanggal 28 mei tahun 585 sebelum Masehi. Dari
kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Thales mengetahui ilmu matematik
orang babylonia, yang sangat tersohor pada waktu itu.
Sebuah
cerita menuturkan bahwa Thales menyisihkan dirinya dari pergaulan awam. Ia
berpikir senantiasa terikat kepada alam semesta. Pada suatu hari Thales pergi
berjalan-jalan, matanya asyik memandang ke atas, melihat keindahan alam
terbentang di langit. Tanpa sepengetahuannya, ia terjatuh masuk ke dalam
lubang. Seorang perempuan tua yang lewat di dekat situ menertawakan Thales
sambil berkata, “Hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tetapi jalanmu di
muka bumi ini tidak kau ketahui.”
Ada
banyak legenda kisah mengenai Thales, namun tidaklah banyak yang dapat
diketahui lebih tentangnya, beberapa kisah tentangnya yang saya tulis dalam
buku ini, saya rasa mengandung hikmah yang positif di balik itu semua, dalam
suatu kisah yang lainnya tentang Thales, yang diceritakan oleh Aristoteles
dalam bukunya yang berjudul Politics, diceritakan bahwa “di suatu hari
Thales dicemooh karena miskin, pencemooh menganggap bahwa dengan kemiskinannya,
Thales menunjukkan bahwa filsafat tidaklah berguna. Namun berawal dari kisah
tersebut, Thales menunjukkan bahwa filsafat tidaklah seperti pandangan banyak
orang yang tidak memahami filsafat, berkat pengetahuan Thales tentang ilmu
astronomi (perbintangan), meski saat itu masih musim dingin, ia tahu bahwa akan
terjadi panen buah zaitun yang berlimpah di tahun depan, demikianlah dengan
uangnya yang tidak seberapa banyak tersebut, Thales membayar uang muka untuk
menyewa semua alat pengelola zaitun di Chios dan Miletus, yang ia bayar dengan
harga rendah karena tak seorang pun yang menolak tawarannya. Ketika musim panen
tiba, dan banyak orang yang membutuhkan alat tersebut, segera Thales melepasnya
dengan harga yang sesuka hati, dan menghasilkan banyak sekali keuntungan bagi
Thales. Jadi Thales sendiri telah membuktikan pada dunia bahwasannya para
filsuf bisa menjadi kaya dengan gampang jika ia mau. Hanya saja ambisi mereka
menuju kepada suatu tujuan yang berbeda.”[12]
Pernyataan
Thales bahwa segala sesuatu terbuat dari air bisa dikatakan sebuah hipotesis
yang ilmiah dan sama sekali bukan pendapat orang yang tolol. Pada abad ini
telah diterima pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu terbuat dari
hydrogen, yang dua pertiganya adalah air. Bangsa Yunani memang kurang cermat
dalam membuat hipotesis, namun tritunggal milesian setidaknya telah dapat
memunculkan semangat untuk melakukan suatu kegiatan yang sifatnya ilmiah dan
terbebas dari mitos-mitos dan doktrin-doktrin agama.
Karena
alasan tersebut, Thales dapat dikatakan sebagai Bapak Filosofi Yunani, sebab
dialah, filosof pertama, yang tak pernah meninggalkan pelajaran yang
dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkan dengan lisannya dan dikembangkan
oleh murid-muridnya yang kemudian ditulis oleh Aristoteles.
Aristoteles
mengungkapkan bahwa kesimpulan ajaran Thales adalah filsafatnya yang mengatakan
bahwa segala sesuatu berasal dari air, dan semuanya itu air. Air yang cair itu
adalah pangkal, pokok, dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang
terjadi dari air dan semuanya akan kembali menjadi air pula.
Dengan
jalan berfikirnya, Thales mendapatkan jawaban besar dari persoalan yang selama
ini selalu mengikat perhatian, apakah asal dari alam ini? Apa yang menjadi
sebab penghabisan dari segala yang ada?
Untuk
mencari asal dari alam ini, Thales tidak berpegang pada takhayul dan doktrin
yang dipercaya dan berkembang di masyarakat umum pada waktu itu, melainkan
mempergunakan akal. Pengalaman yang dilihatnya sehari-hari dijadikan objek
pemikirannya untuk menyusun bangun alam. Sebagai seorang yang tinggal di
pesisir laut, Thales dapat melihat setiap hari, betapa berartinya air laut bagi
semua makhluk hidup, dan dapat dikatakan bahwa air lautlah yang menjadi sumber
hidup bagi setiap makhluk di sekitarnya. Di Mesir, ia melihat dengan mata
kepalanya sendiri, betapa rakyat di sana sangat bergantung kepada sungai Nil.
Air dari sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah di sekitar tempatnya mengalir,
sehingga dapat dijadikan tempat pemukiman penduduk Mesir. Jika tidak ada sungai
Nil, niscaya negri Mesir hanya akan berwujud penuh dengan padang pasir yang
tandus. Sebagai seorang saudagar yang pernah berlayar, Thales juga melihat
kemegahan air laut yang membuat dirinya sendiri takjub diiringi kekaguman.
Semaktu-waktu air laut dapat menggulung dan menghanyutkan, memusnahkan serta
menghidupkan. Disini dihapuskan segala yang hidup, akan tetapi menghayutkan
bibit dan pepohonan yang tumbang tersebut ke daerah lain sehingga hidup di sana.[13]
Demikianlah,
laut menyebarkan bibit keseluruh dunia, yang menjadi dasar penghidupan. Semua
itu terpikirkan oleh Thales. Air yang tidak berkeputusan tersebut, dilihatnya
dalam pelayaran, yang sangat mempengaruhinya terhadap proses pemikirannya dan
pandangannya tentang alam. “semuanya itu air” katanya. Tanah di dalamnya
mengandung air, tumbuhan, hewan, manusiapun tidak dapat hidup tanpa air. Dan
dalam perkataan tersebut, tersimpulkan dengan sengaja ataupun tidak, pandangan
yang sangat dalam bahwasannya “semua itu satu”.
Pada
masa itu ketika dunia penuh dengan ketakhayulan, Thales telah membuka mata
manusia tentang wujud alam dan menyingkapkan rahasia dan tabir yang selama ini
menutup kalbu manusia dengan filosofinya. Kedalaman pandangan Thales sebagai
filosof alam, telah membukakan mata manusia tentang kelemahan perasionalan dari
segala pandangan yang berbasis mitos dan legenda yang ada. Thales, paling
tidak, mengawali kemerdekaan berpikir manusia sebagai makhluk yang berakal.
Pandangan
utama yang tercerahkn dari seorang Thales adalah tentang air yang menjadi sebab
yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tetapi juga akhir dari segala
yang ada yang jadi. Di awal air dan di ujung air. Air adalah sebab penghabisan,
segala sesuatu berawal dari air dan akan kembali kepada air. Air yang satu itu
adalah bingkai dan isi. Dengan kata lain, filosofi air adalah subtrat (bingkai)
dan subtansi (isi).
Pandangan
Thales yang kedua adalah animisme, animisme adalah pandangan bahwa bukan hanya
makhluk yang hidup yang memiliki jiwa, akan tetapi benda matipun memiliki iwa,
argument tersebut tentulah bukan argument yang tolol, karena Thales telah
melakukan observasi empiris untuk menarik sebuah hipotesa tentang pendapat
tersebut, yaitu ketika thales menggunakan magnet untuk menarik besi, dan
menggosokkan batu api sampai panas untuk menarik benda disekitarnya. Dari hasil
observasi tersebut, dipandangnya benda-benda tersebut telah memiliki suatu
kodrat yang menandakan dari adanya jiwa.
Kerena
terlampau sedikit yang yang dapat diketahui mengenai Thales, sehingga mustahil
untuk menyusun gambarannya secara memuaskan. Tetapi perihal para penerusnya di
miletus jauh lebih banyak yang dapat diketahui, dan cukup beralasan untuk
beranggapan bahwa sebagian pandangan mereka berasal dari Thales. Ilmu
pengetahuan dan filsafat Thales memang masih mentah, namun demikian mampu
merangsang pemikiran dan observasi bagi para generasi dalam periode selanjutnya
sepeninggal Thales.
a. Sisi lain dari seorang Thales
Hai
filsuf,,,,sebenarnya ada yang unik lho ketika kita membahas mengenai thales,
keunikan tersebut ada pada banyaknya perbedaan pendapat dari para filsuf lain
ketika mereka mengklarifikasikan mengenai air yang dimaksud thales ini, apa
yang dibedakan dari para filsuf sesudahnya ketika mengklarifikasikan tentang
air yang dimaksud thales tersebut? Mari simak jawabannya:
1) Menurut Hatta
Thalesnya
Hatta berpendapat bahwasaanya air yang menjadi dasar segala-galanya adalah air absolut,
yang subtract (bingkai) dan yang subtansi (isi).[14]
Kemudian ditambah dengan bentuk keyakinan Thales yang berkarakter animisme,
pendapatnya ialah semua benda di dunia ini memiliki jiwa. Pada akhirnya,
penggabungan dari kedua pendapat tersebut berdampak pada munculnya sebuah
kesimpulan bahwasannya semua makhluk di alam semesta ini adalah satu, karena
memiliki bingkai dan isi yang berasal dari satu sumber, yaitu air, dan antara
jiwa dan bentuk adalah satu, karena jiwa adalah isi sedangkan tubuh adalah
bentuk. Kemudian kehidupan di dunia ini kekal, tidak akan ada akhir kehidupan,
karena sumber jiwa dan tubuh adalah satu, satu yang memiliki dua sifat,
kematian hanyalah peristirahatan sementara saja. Dan kesepakatan definisi kita
saat ini mengenai mati akan dipertanyakan lagi, karena menurut Thales jiwa ada
pada benda yang hidup maupun yang mati, sedangkan fungsi jiwa adalah sebagai
sumber energi penggerak. Sedangkan kita mendefinisikan benda yang mati adalah
benda yang…..
2) Menurut Syahrastani
Thalesnya
Syahrastani berpendapat bahwasannya, dzat yang menjadi dasar penciptaan adalah
air, dan air diciptakan oleh Tuhan (khaliq), sedangkan air merupakan makhluq,
air yang dimaksud disini air yang seperti apa? Air yang tidak dapat dipahami
oleh akal makhluq, air yang bisa jadi dapat diamati oleh indera, maupun
tidak dapat diamati oleh indera. Namun, air hanyalah unsur dasar dari bentuk
jasmani makhluq, sedangkan jiwa makhluq bukan berasal dari air,[15]
karena sifat jiwa lebih halus dari pada jasmani, sedangkan jiwa adalah sumber
daya gerak, bagaimana rasionalisasinya jika sumber daya gerak bukan berasal
dari penggerak utama? Apakah mungkin? Kesimpulannya, yang di maksut air menurut
Thalesnya Syahrastani di sini adalah air yang substrat (bingkai), karena
yang subtansi bukan bersumber dari air, dan fungsi air hanya membingkai
untuk memberikan wujud.
3) Menurut Bertrand Russell
Thalesnya
Bertrand Russell berpendapat bahwa air adalah subtansi dasar yang membentuk
segala hal lainnya.[16]
Bagaimana
menurut kalian? Sangatlah jelas bahwasannya antara Thalesnya Hatta dengan
Thalesnya Syahrastani, serta Thalesnya Bertrand Russell berbeda pendapat
menganai air itu sendiri, air yang bagaimana yang menjadi dasar asal muasal
terjadinya alam semesta ini. Kemudian, yang menjadi problem adalah pendapat
mana yang akan kita jadikan refrensi utama? Jawaban dari penulis adalah,
terserah kalian. Hehehe
[1] Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara, 2002), hal. 50-58.
[2] Loekisno Choiril Warsito, dkk., Pengantar
Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hal. 19.
[3] Poedjawijatna, Pembimbing ke
Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 23.
[4] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal. 147.
[5] Bertrand Russell, terj., Sigit
Jatmiko, dkk., Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hal. 33.
[6] Ibid., Atang Abdul Hakim
dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 148.
[7] Ibid., Poedjawijatna, …,
hal. 23.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 6.
[10] Ibid., Bertrand Russell,
terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 33.
[11] Ibid., Juhaya S. Pradja,
..., hal. 51.
[13] Ibid., Atang Abdul Hakim
dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 150.
[14] Mohammad Hatta, Alam Pikiran
Yunani (Jakarta: UIP ,1980), hal. 8.
[15] Syahrastani, Al Milal wa Al
Nihal, trj. Asywadie Syukur (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), hal. 57.
[16] Ibid., Bertrand Russell,
terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 33.
0 komentar:
Posting Komentar