Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 14 Februari 2014

Thales

FILSAFAT KUNO
A.      Filsafat Yunani Pra-Socrates
Para filosof Yunani yang pertama, tidak dilahirkan di tanah airnya sendiri, melainkan di tanah perantauan di Asia Minor. Dahulu, bangsa Yunani di Semenanjung Balkan banyak yang menjadi perantau, dikarenakan tanah bangsa Yunani tidak subur, dan sepanjang daratan dilalui oleh bukit barisan, serta banyak teluk yang menjorok ke daratan, sehingga tidak banyak tanah yang baik untuk tempat tinggal. Mereka yang merantau itu dapat mencapai kemakmuran dalam hidup, dari perniagaan dan pelayaran. Kemakmuran itu memberikan kelonggaran bagi mereka untuk mengerjakan hal-hal selain mencari kehidupan. Waktu yang terluang dipergunakan untuk memperoleh dan memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan mengembangkan buah pikiran. Itulah sebabnya, Miletos di Asia Minor, kota tempat mereka merantau, menjadi tempat lahirnya para filosof-filosof Yunani yang pertama, seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Mereka disebut sebagai filosof Alam dan tritunggal Milesian, dikarenakan tujuan filsafat mereka ialah memikirkan masalah alam yang mereka huni yang begitu besar dan menakjubkan, bagaimana alam ini ada dan dari mana sumber terbentuknya alam.[1] Para filosof Yunani pra-Socrates terutama pemikiran dari tritunggal Milesian menjadi menarik dikaji terutama oleh pecinta filsafat dikarenakan bukan dari apa yang mereka capai, namun dari semangat apa yang mereka upayakan.
1.         Thales
Filosof Milesian pertama adalah Thales, yang hidup kurang lebih pada abad ke-6 sebelum masehi,[2] antara tahun 624-548 SM.[3] Di kalangan orang-orang Yunani pada waktu itu, Thales dikenal sebagai salah seorang hoi liepta soplioi, yaitu tujuh orang yang bijaksana, yang masing-masing dikenal terutama karena suatu pernyataannya yang dianggap bijak.[4] Aristoteles memberikan gelar kepada Thales sebagai filosof milesian pertama dari kedua filosof sesudahnya, yaitu Anaximander, dan Anaximenes.
Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir, dari Mesirlah Thales mempelajari geometri dan memperkenalkannya kepada masyarakat Yunani. Yang diketahui orang Mesir mengenai geometri, terutama hanyalah hitungan-hitungan kasar, dan tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa Thales telah mampu melakukan pembuktian secara deduktif sebagaimana yang ditemukan oleh bangsa Yunani dikemudian hari.[5]
Diceritakan pula bahwa ia memiliki ilmu tentang cara mengukur tinggi piramid-piramid berdasarkan panjang dari bayangannya, cara mengukur jauhnya kapal di laut dari sebuah pantai, yang ia ketahui berdasarkan observasi yang ia lakukan di dua tempat di daratan, ia juga memiliki teori tentang banjir tahunan sungai Nil di Mesir. Bahkan, ia juga berhasil meramalkan terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei tahun 585 S.M. oleh karena itu, ia dikenal sebagai ahli astronomi dan metafisika. Berbagai penemuan Thales menggiring cara berpikir manusia dari mitos-mitos kepada alam nyata yang empirik.[6]
Sumber utama ajaran Thales diungkapkan oleh Aristoteles, sebagaimana dalam traktatnya mengenai metafisika Aristoteles menyatakan bahwa Thales adalah orang pertama yang memikirkan tentang asal muasal terjadinya alam semesta ini. Menurut Thales, asal mula alam ini adalah air.[7] Air adalah pusat dan sumber segala yang ada atau pokok dari segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali menjadi air. Menurut Thales, tumbuh-tumbuhan dan binatang lahir ditempat yang lembab, bakteri-bakteri hidup dan berkembang di tempat yang lembab, dan kelembaban berasal dari air. Dari air itulah muncul tumbuh-tumbuhan dan hewan, bahkan tanah pun mengandung air. Argument Thales merupakan argument yang bukan hanya rasional, akan tetapi juga observatif, meskipun pada zamannya belum lahir ilmu pengetahuan yang segala sesuatu baru dinyatakan benar jika telah dibuktikan kerasionalannya, kemudian dilakukannya observasi dan menunjukkan bukti empirik dari hipotesa yang diungkapkan.[8]
Pandagan Thales merupakan sebuah hasil dari cara berfikir yang sangat tinggi, karena sebelumnya, orang-orang yunani lebih banyak mengambil jawaban-jawaban tentang alam dengan kepercayaan-kepercayaan dan mitos-mitos yang dipenuhi dengan ketakhayulan. Thales telah membuka alam pikiran dan keyakinan tentang alam serta asal muasalnya, tanpa menunggu hadirnya penemuan ilmiah dan doktrin doktrin agama yang kesemua doktrinnya belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya dengan paradigma sains secara keseluruhan. Bagi Thales, semua kehidupan berasal dari air, bahkan air berasal dari air, air adalah causa prima (sebab utama) dari segala yang ada yang jadi, tetapi juga akhir dari segala yang ada dan yang jadi. Di awal air dan di ujung air, atau dengan kata lain secara filosofis, air adalah  subtract (bingkai) dan subtansi (isi). Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, tidak ada jurang pemisah antara hidup dengan mati, dikarenakan semuanya satu.[9]
Naluriah imanen Thales adalah animisme, yang mempercayai bahwa bukan hanya yang hidup saja yang memilik jiwa, tetapi benda mati juga memiliki jiwa. Argument tersebut muncul setelah menilai pendapat Thales yang mengatakan bahwa magnet memiliki jiwa, karena dapat menggerakkan besi, selain itu, sesungguhnya segala sesuatu penuh dengan dewa-dewa.[10] Aristoteles menamakan pendapat Thales yang mengatakan bahwa jagat raya ini memiliki jiwa adalah hylezoime.[11]
Selain sebagai seorang filosof, Thales juga seorang ahli politik di kota miletos, Thales juga banyak belajar tentang matematik (ilmu perhitungan) dan astronomi (ilmu perbintangan). Ada cerita yang mengatakan bahwa Thales menggunakan kepintarannya sebagai ahli nujum. Dengan jalan itu, Thales menjadi kaya raya. Pada suatu waktu, Thales pernah meramalkan bahwa pada tahun itu di miletos akan terjadi sebuah gerhana matahari, dan kemudian ramalannya terbukti, gerhana matahari tersebut terjadi pada tanggal 28 mei tahun 585 sebelum Masehi. Dari kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Thales mengetahui ilmu matematik orang babylonia, yang sangat tersohor pada waktu itu.
Sebuah cerita menuturkan bahwa Thales menyisihkan dirinya dari pergaulan awam. Ia berpikir senantiasa terikat kepada alam semesta. Pada suatu hari Thales pergi berjalan-jalan, matanya asyik memandang ke atas, melihat keindahan alam terbentang di langit. Tanpa sepengetahuannya, ia terjatuh masuk ke dalam lubang. Seorang perempuan tua yang lewat di dekat situ menertawakan Thales sambil berkata, “Hai Thales, jalan di langit engkau ketahui, tetapi jalanmu di muka bumi ini tidak kau ketahui.”
Ada banyak legenda kisah mengenai Thales, namun tidaklah banyak yang dapat diketahui lebih tentangnya, beberapa kisah tentangnya yang saya tulis dalam buku ini, saya rasa mengandung hikmah yang positif di balik itu semua, dalam suatu kisah yang lainnya tentang Thales, yang diceritakan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics, diceritakan bahwa “di suatu hari Thales dicemooh karena miskin, pencemooh menganggap bahwa dengan kemiskinannya, Thales menunjukkan bahwa filsafat tidaklah berguna. Namun berawal dari kisah tersebut, Thales menunjukkan bahwa filsafat tidaklah seperti pandangan banyak orang yang tidak memahami filsafat, berkat pengetahuan Thales tentang ilmu astronomi (perbintangan), meski saat itu masih musim dingin, ia tahu bahwa akan terjadi panen buah zaitun yang berlimpah di tahun depan, demikianlah dengan uangnya yang tidak seberapa banyak tersebut, Thales membayar uang muka untuk menyewa semua alat pengelola zaitun di Chios dan Miletus, yang ia bayar dengan harga rendah karena tak seorang pun yang menolak tawarannya. Ketika musim panen tiba, dan banyak orang yang membutuhkan alat tersebut, segera Thales melepasnya dengan harga yang sesuka hati, dan menghasilkan banyak sekali keuntungan bagi Thales. Jadi Thales sendiri telah membuktikan pada dunia bahwasannya para filsuf bisa menjadi kaya dengan gampang jika ia mau. Hanya saja ambisi mereka menuju kepada suatu tujuan yang berbeda.”[12]
Pernyataan Thales bahwa segala sesuatu terbuat dari air bisa dikatakan sebuah hipotesis yang ilmiah dan sama sekali bukan pendapat orang yang tolol. Pada abad ini telah diterima pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu terbuat dari hydrogen, yang dua pertiganya adalah air. Bangsa Yunani memang kurang cermat dalam membuat hipotesis, namun tritunggal milesian setidaknya telah dapat memunculkan semangat untuk melakukan suatu kegiatan yang sifatnya ilmiah dan terbebas dari mitos-mitos dan doktrin-doktrin agama.
Karena alasan tersebut, Thales dapat dikatakan sebagai Bapak Filosofi Yunani, sebab dialah, filosof pertama, yang tak pernah meninggalkan pelajaran yang dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkan dengan lisannya dan dikembangkan oleh murid-muridnya yang kemudian ditulis oleh Aristoteles.
Aristoteles mengungkapkan bahwa kesimpulan ajaran Thales adalah filsafatnya yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari air, dan semuanya itu air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya akan kembali menjadi air pula.
Dengan jalan berfikirnya, Thales mendapatkan jawaban besar dari persoalan yang selama ini selalu mengikat perhatian, apakah asal dari alam ini? Apa yang menjadi sebab penghabisan dari segala yang ada?
Untuk mencari asal dari alam ini, Thales tidak berpegang pada takhayul dan doktrin yang dipercaya dan berkembang di masyarakat umum pada waktu itu, melainkan mempergunakan akal. Pengalaman yang dilihatnya sehari-hari dijadikan objek pemikirannya untuk menyusun bangun alam. Sebagai seorang yang tinggal di pesisir laut, Thales dapat melihat setiap hari, betapa berartinya air laut bagi semua makhluk hidup, dan dapat dikatakan bahwa air lautlah yang menjadi sumber hidup bagi setiap makhluk di sekitarnya. Di Mesir, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa rakyat di sana sangat bergantung kepada sungai Nil. Air dari sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah di sekitar tempatnya mengalir, sehingga dapat dijadikan tempat pemukiman penduduk Mesir. Jika tidak ada sungai Nil, niscaya negri Mesir hanya akan berwujud penuh dengan padang pasir yang tandus. Sebagai seorang saudagar yang pernah berlayar, Thales juga melihat kemegahan air laut yang membuat dirinya sendiri takjub diiringi kekaguman. Semaktu-waktu air laut dapat menggulung dan menghanyutkan, memusnahkan serta menghidupkan. Disini dihapuskan segala yang hidup, akan tetapi menghayutkan bibit dan pepohonan yang tumbang tersebut ke daerah lain sehingga hidup di sana.[13]
Demikianlah, laut menyebarkan bibit keseluruh dunia, yang menjadi dasar penghidupan. Semua itu terpikirkan oleh Thales. Air yang tidak berkeputusan tersebut, dilihatnya dalam pelayaran, yang sangat mempengaruhinya terhadap proses pemikirannya dan pandangannya tentang alam. “semuanya itu air” katanya. Tanah di dalamnya mengandung air, tumbuhan, hewan, manusiapun tidak dapat hidup tanpa air. Dan dalam perkataan tersebut, tersimpulkan dengan sengaja ataupun tidak, pandangan yang sangat dalam bahwasannya “semua itu satu”.
Pada masa itu ketika dunia penuh dengan ketakhayulan, Thales telah membuka mata manusia tentang wujud alam dan menyingkapkan rahasia dan tabir yang selama ini menutup kalbu manusia dengan filosofinya. Kedalaman pandangan Thales sebagai filosof alam, telah membukakan mata manusia tentang kelemahan perasionalan dari segala pandangan yang berbasis mitos dan legenda yang ada. Thales, paling tidak, mengawali kemerdekaan berpikir manusia sebagai makhluk yang berakal.
Pandangan utama yang tercerahkn dari seorang Thales adalah tentang air yang menjadi sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tetapi juga akhir dari segala yang ada yang jadi. Di awal air dan di ujung air. Air adalah sebab penghabisan, segala sesuatu berawal dari air dan akan kembali kepada air. Air yang satu itu adalah bingkai dan isi. Dengan kata lain, filosofi air adalah subtrat (bingkai) dan subtansi (isi).
Pandangan Thales yang kedua adalah animisme, animisme adalah pandangan bahwa bukan hanya makhluk yang hidup yang memiliki jiwa, akan tetapi benda matipun memiliki iwa, argument tersebut tentulah bukan argument yang tolol, karena Thales telah melakukan observasi empiris untuk menarik sebuah hipotesa tentang pendapat tersebut, yaitu ketika thales menggunakan magnet untuk menarik besi, dan menggosokkan batu api sampai panas untuk menarik benda disekitarnya. Dari hasil observasi tersebut, dipandangnya benda-benda tersebut telah memiliki suatu kodrat yang menandakan dari adanya jiwa.
Kerena terlampau sedikit yang yang dapat diketahui mengenai Thales, sehingga mustahil untuk menyusun gambarannya secara memuaskan. Tetapi perihal para penerusnya di miletus jauh lebih banyak yang dapat diketahui, dan cukup beralasan untuk beranggapan bahwa sebagian pandangan mereka berasal dari Thales. Ilmu pengetahuan dan filsafat Thales memang masih mentah, namun demikian mampu merangsang pemikiran dan observasi bagi para generasi dalam periode selanjutnya sepeninggal Thales.
a.    Sisi lain dari seorang Thales
Hai filsuf,,,,sebenarnya ada yang unik lho ketika kita membahas mengenai thales, keunikan tersebut ada pada banyaknya perbedaan pendapat dari para filsuf lain ketika mereka mengklarifikasikan mengenai air yang dimaksud thales ini, apa yang dibedakan dari para filsuf sesudahnya ketika mengklarifikasikan tentang air yang dimaksud thales tersebut? Mari simak jawabannya:
1)   Menurut Hatta
Thalesnya Hatta berpendapat bahwasaanya air yang menjadi dasar segala-galanya adalah air absolut, yang subtract (bingkai) dan yang subtansi (isi).[14] Kemudian ditambah dengan bentuk keyakinan Thales yang berkarakter animisme, pendapatnya ialah semua benda di dunia ini memiliki jiwa. Pada akhirnya, penggabungan dari kedua pendapat tersebut berdampak pada munculnya sebuah kesimpulan bahwasannya semua makhluk di alam semesta ini adalah satu, karena memiliki bingkai dan isi yang berasal dari satu sumber, yaitu air, dan antara jiwa dan bentuk adalah satu, karena jiwa adalah isi sedangkan tubuh adalah bentuk. Kemudian kehidupan di dunia ini kekal, tidak akan ada akhir kehidupan, karena sumber jiwa dan tubuh adalah satu, satu yang memiliki dua sifat, kematian hanyalah peristirahatan sementara saja. Dan kesepakatan definisi kita saat ini mengenai mati akan dipertanyakan lagi, karena menurut Thales jiwa ada pada benda yang hidup maupun yang mati, sedangkan fungsi jiwa adalah sebagai sumber energi penggerak. Sedangkan kita mendefinisikan benda yang mati adalah benda yang…..
2)   Menurut Syahrastani
Thalesnya Syahrastani berpendapat bahwasannya, dzat yang menjadi dasar penciptaan adalah air, dan air diciptakan oleh Tuhan (khaliq), sedangkan air merupakan makhluq, air yang dimaksud disini air yang seperti apa? Air yang tidak dapat dipahami oleh akal makhluq, air yang bisa jadi dapat diamati oleh indera, maupun tidak dapat diamati oleh indera. Namun, air hanyalah unsur dasar dari bentuk jasmani makhluq, sedangkan jiwa makhluq bukan berasal dari air,[15] karena sifat jiwa lebih halus dari pada jasmani, sedangkan jiwa adalah sumber daya gerak, bagaimana rasionalisasinya jika sumber daya gerak bukan berasal dari penggerak utama? Apakah mungkin? Kesimpulannya, yang di maksut air menurut Thalesnya Syahrastani di sini adalah air yang substrat (bingkai), karena yang subtansi bukan bersumber dari air, dan fungsi air hanya membingkai untuk memberikan wujud.
3)   Menurut Bertrand Russell
Thalesnya Bertrand Russell berpendapat bahwa air adalah subtansi dasar yang membentuk segala hal lainnya.[16]
Bagaimana menurut kalian? Sangatlah jelas bahwasannya antara Thalesnya Hatta dengan Thalesnya Syahrastani, serta Thalesnya Bertrand Russell berbeda pendapat menganai air itu sendiri, air yang bagaimana yang menjadi dasar asal muasal terjadinya alam semesta ini. Kemudian, yang menjadi problem adalah pendapat mana yang akan kita jadikan refrensi utama? Jawaban dari penulis adalah, terserah kalian. Hehehe


[1] Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara, 2002), hal. 50-58.
[2] Loekisno Choiril Warsito, dkk., Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hal. 19.
[3] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 23.
[4] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 147.
[5] Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 33.
[6] Ibid., Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 148.
[7] Ibid., Poedjawijatna, …, hal. 23.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 6.
[9] Ibid., Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 148.
[10] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 33.
[11] Ibid., Juhaya S. Pradja, ..., hal. 51.
[12] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 34.
[13] Ibid., Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, ..., hal. 150.
[14] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UIP ,1980), hal. 8.
[15] Syahrastani, Al Milal wa Al Nihal, trj. Asywadie Syukur (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), hal. 57.
[16] Ibid., Bertrand Russell, terj., Sigit Jatmiko, dkk., …, hal. 33.

0 komentar:

Posting Komentar