Abu 'Ali al-Husein ibnu
'Abd Allah ibn al-Hasan ibnu 'Ali ibn Sina
(370 H - 428 H)
1. Biografi
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu 'Ali al-Husein ibnu
'Abd Allah ibn al-Hasan ibnu 'Ali ibn Sina. Ia dilhirkan di desa Afsyanah,
dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada
tahun 370 H (8-980 M) dan meninggal dunia pada tahun 428 H (1037 M)
dalam usia 58 tahun dan jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[1]
Orang tuanya adalah pegawai
tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[2] ayahnya
berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn
Mansur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, suatu wilayah
dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga
orang anak, Ali, Husein (Ibn Sina), dan Muhammad.
Nama Ibnu Sina
di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin.
Dengan lidah Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan
ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin
pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[3]
Ibnu Sina mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar
biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur'an, sebagian
besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles
setelah dibacanya empat puluh kali, kendati pun ia belum memahaminya sampai
membaca ulasan Al-Farabi.[4]
Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab,
Fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang
Masehi. kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak
orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori -
teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang
sakit.[5] Dan
ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun, dengan kepintarannya yang sangat
mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada sat itu
dan melebihi siapapun juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai
konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia berhasil
mengobati Pangeran Nuh ibnu Mansur, yang sebelumnya tidak seorang dokterpun
mampu menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan
Syams Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[6]
Bahkan, ilmu kedokteran yang ia dapatkan adalah hasil dipelajarinya sendiri.
Di antara guru-gurunya hanya Abu 'Abdullah al-Natili
(dalam bidang logika) dan Isma'il (seorang zahid).[7]
Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, guru, penyair,
filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk
mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut
merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga dia diberikan
kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan.
Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibn Sina dapat menghafal sebagian besar
isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya
tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan
Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra'is ila al-Amir (Hadiah
Ibn Sina kepada Amir).
Pada masa mudanya Ibn Sina tertarik kepada aliran
Syi'ah Isma'iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengar percakapan antara
tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau dengan kakanya. Mereka
berdiskusi mengenai soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka.[8]
Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam autobiografinya, ia tidak dapat
menerima aliran-aliran tersebut dan menjahuinya. Hal itu menunjukkan
kemandirian berpikir Ibn Sina dan tidak mengikuti mazhab Sunnah maupun mazhab
Syi'ah. Ia muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi (mazhab Ibn
Sina). Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak mazhab
yang dikembangkannya, apakah cenderung ke Syi'ah atau cenderung ke Sunnah.
Tampaknya, Ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha
menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang
keagamaan.
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan
pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah
mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar
kehormatan dengan sebutan al Syeikh al Ra'is (Kiyai Utama).[9]
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya,
Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka
istana, Kutub Khana terbakar, Ibnu Sina
dituduh membakarnya,[10]
dengan alasan agar orang lain tidak dapat menguasai ilmu di sana. Cobaan lain,
bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata
kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan
diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala
kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.[11]
2. Filsafatnya
1.
Tuhan
Membahas
tentang Tuhan dalam pemikiran filusuf muslim berarti membahas tentang
metafisika, menurut Ibnu Sina metafisika adalah pengetahuan tentang segala yang
ada sebagai adanya dan sejauh yang dapat diketahui mausia.[12]
Dan berkaitan dengan metafisika Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai
yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun
esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan
wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu [13]wujud
lebih penting dari esensi.
Ibnu
Sina dalam membuktikan adanya tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib
al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi.
Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.
a. Wajib al-wujud
yaitu esensi yang tidak dapat tidak
mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud,
keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada,
kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib
al-wujud ke dalam dua pembagian, yaitu:
- wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan olae zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraiakan dengan wujud karen keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh tiada (ma'dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun.[14]
- wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Mislnya : Adanya basah disebabkan oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 4 karena ada 2+2, dan sebagainya.[15]
Tentang
sifat-sifat Allah,sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari
segala sifat yang dikaitkan dengan esensinya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna.
Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah
dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud
al-qudama’).[16]
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina
juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan
ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibnu Sina
bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni
melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan
Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir kepada sebab
pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha mengesakan
Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak
demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu
manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.[17]
2.
Manusia
Dalam
pembahsan manusia ada tiga objek kajian yang akan dibahas, Yaitu: Wujud
manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia, akan tetapi objek
pembahsan jiwa dan akal pada manusia akan di jelakan pada pembahasan filsafat
jiwa Ibnu Sina pada pembahasan ke lima.
- Dalam menjelaskan tentang wujud manusia Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiahnya untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, berikut penjelasannya:
Mumkin al-Wujud adalah Esensi yang boleh mempunyai
wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan
tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan
boleh tidak ada.[18]
- Dalam menjelaskan tentang awal mula proses muculnya ruh, maka kita akan melihat pada teori emanasi Ibnu Sina.
Proses
munculnya ruh diawali dengan adanya Akal X yang dayanya sudah sangat lemah
berfikikir tenteng Allah sebagai Wajib wujud li dzatihi menghasilkan
pemikiran ke 10 yang berfikir tentang Wajib wujud li ghairihi menghasilkan
jiwa ke 10 dan berfikirnya tentang dirinya sendiri sebagai Mumkiul wujud li
dzatihi menghasilkan berbagi unsur dasar dari bumi dan juga ruh manusia.
Dan jiwa ke 10 itulah yang menggerakkan roh.[19]
Menurut
Ibnu Sina jika manusia telah meninggal maka hanya raganya saja yang tidak
aktif, tetapi rohny kan tetap hidup, dan roh yang abadi itu akan mengalami
sikasa dan kesenagan,[20]
3.
Alam
Ibnu Sina, sebagaimana juga al-farabi menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat
materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi,
Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah
ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi.
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan
renungan ibnu sina (juga al- Farabi), tetapi
berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran
dari Yang Esa (The One). Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip
bahwa dari hanya yang satu yang melimpah.”Ini di islamkan oleh ibnu sina (juga
Al- Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi.Hal ini memungkinan
karena dalam al-quran tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan
alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian,
walaupun prinsip ibnu sina dan Plotinus
sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh arena itu, dapat dikatakan Yang Esa
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang
aktif.Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah
ketika allah (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan terhadap
zatnya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari
akal pertama ini memancarlah Akal kedua, Jiwa pertama dan langit pertama.
Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tida
dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa kesepuluh,
bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara,
api, dan tanah.[21]
Berlainan dengan Al-farabi, bagi Ibnu sina Akal
pertama mempunyai dua sifat: Sifat wajib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat munkin wujudnya jika ditinjau
dari hakikat dirinya. Dengan demikian , Ibnu sina membagi objek pemikiran
akal-akal menjadi tiga: Allah(Wajib al-wujud li Szatihi), dirinya akal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari allah, dan dirinya akal-akal
(mumkin al-wujud) di tinjau dari hakikatnya.
Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi dipancarkan
Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul allah tentang
zat-Nya sebagai sumber energi yang maha dasyhat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya
adalah ilmu allah tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya (al-udrat) yang
mencitakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui
Allah.[22]
Dari hasil ta’aqqul allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi
akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Law pean pinjem bukunya…..besok q bawakan……..
Berbeda dengan pendahulunya, Al-Farabi, bagi Ibnu
sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena
akal(imateri) tidak langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal-akal
adalah para malaikat, Akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh
adalah malaikat jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.[23]
Sebagaimana Al-farabi, Ibnu sina juga memajukan
emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah
tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung.
Jika allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam
pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.
Telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara
Plotinus dengan Ibnu sina (juga al-Farabi) ialah: bagi Plotinus alam ini hanya
terpancar dari yang satu(tuhan), yang mengesankan Allah tidak pencipta dan
tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari
memancarkan sinarnya. Sementara itu, dalam Islam, emanasi ini dalam rangka
menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah,
dalam agama islam termasuk ajaran pokok atau qath’I al-dalalah. Dengan
kata lain, kekhalikan allah ini pasti diimani sepenuhnya. Orang yang
mengingkari dapat membawa pada kekafiran.Atas dasar itulah, maka ibarat mentari
dengan sinarnya erupakan ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini kadim karea diciptakan oleh
Allah sejak kidam dan Azali.Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membdakan antara
kadimnya Allah dan alam.Perbedaan tersebut terletak pada sebab membuat alam
terwujud. Keberadan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi
zaman. Adupan dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan allah secara pancaran,
alam ini baharu. Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, Ia sebab semua yang
ada dan Ia pencipta alam.
4.
Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya
tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi.
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril.
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak
pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalam al Quran dan Hadist diistilahkan dengan al
Nafs atau al Ruh.
Sebagaimana yang terkandung pada al Shod ayat71-72:
اِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ اِنِّى خَالِقٌ بَشَرًامِنْ طِيْنٍ.
فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِى فَقَعُوالَهُ
سَاجِدِيْنَ.
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah
(71) Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku;
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (72)
Sebagaimana yang terkandung pula pada al Isro’ ayat 85:
وَيَسْاَلُونَكَ عَنُ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَا
اُوتِيْتُمْ مِنَ العِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا.
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit." (85)
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang
terdapat di bawah rembulan, memancar dari Akal Sepuluh. Secara garis besarnya,
pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian, yakni:
a. Fisika, membicarakan tentang jiwa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
manusia.
1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية)
mempunyai tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada
tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2) Jiwa binatang (النفس الحيوانية)mempunyai
dua daya: gerak dan menangkap. Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua
bagian:
a) Menangkap dari luar (المدركة من الخارج)
dengan panca indra.
b) Menangkap dari dalam (المدركة من الداخل)
dengan indra-indra batin, yang terdiri atas lima indra, yakni:
(1) Indra bersama (الحس المشترك),
yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
(2) Representasi (القوة الخيال)
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama.
(3) Imajinasi (القوة المتخيلة)
yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal.
(4) Estimasi (القوة الوهمية)
yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
(5) Rekoleksi (القوة الحافظة)
yang menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya
daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak, tetapi telah
dapat bekerja dan bertindak erta telah merasakan sakit dan senang seperti
manusia.
3) Jiwa manusia, yang disebut juga(القوة
الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة)
dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya
dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai
berikut:
a) Akal Materiil (العقل الهيولانى)
yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun
sedikit.
b) Akal Al-malakat (العقل الملكة)
yang telah mlai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
c) Akal Aktual (العقل بالفعل)
yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d) Akal Mustafad (العقل المستفاد),
yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya
upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif.
b. Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:
1) Wujud Jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat
dalil, yakni:
a) Dalil Alam Kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan.
Gerak terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda
disebabkan adanya dorongan dari luar.
2) Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang
sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan
hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu, yang
berlawanan dengan alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal,
menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke
bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan
unsur jisim.
b) Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada
hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang
lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya.
Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu
yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya
adalah jiwa.
c) Dalil Kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad
manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai
sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah
mengalami perubahan,seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan
bagian jasad yang lain selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat
kontinue (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai
sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur kita
tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
d) Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat
mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak
mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Ringkasnya adalah sebagai
berikut.
Andaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai
wujud sempurna, kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup, maka ia
tidak akan melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak
merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di
saat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi
organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari dirinya. Dengan demikian, berarti
penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan
dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikianlan dalil-dalil
yang dikemukakan oleh Ibnu Sina sebagai bukti tetang adanya jiwa. Menurut Ibnu
Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih
berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir.
2) Hakikat Jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan Aristoteles
yang berbunyi: “Kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak
memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran
tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles,
manusia sebagai layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur: materi (مادة) dan form (صورة). Materi adalah jasad
menusia dan form adalah jiwa manusia. Form yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan
awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya materi atau jasad akan membawa
hancurnya form atau jiwa.
Jstru
itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa
dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan
substansi rohani, tidak tersusun dari matei-materi sebagaimana jasad. Kesatuan
antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada
hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa
adalah substansi yang berdiri sendiri (النفس جوهر قائم
بذاته).
Untuk
mendukung pendapatnya, Ibnu Sina mengemukakan beberapa argumen berikut:
a) Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran () dan ini tidak dapat
dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran
hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
b) Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak () dan juga zatnya
tanpa alat. Sementara itu, indra dan khayal hanya dapat mengetahui yang konkret
() dengan alat. Jadi jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan indra dan
khayal.
c) Jasad atau organnya jika melakukan kerja berat atau berulang
kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak. Sebaliknya, jiwa jika
dipergunakan terus-menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat
membuatnya lemah atau rusak.
d) Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia
tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sebaliknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin
kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya
merupakan dua substansi yang berbeda.
3) Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato
telah membicarakan hubungan antara jiwa dan jasad. Aristoteles menggembarkan
hubungan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya, Plato seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, hubungan antara keduanya bersifat accident karena jiwa
dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Ibnu Sina kelihatannya menerima penekanan
Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, namun hubungannya
bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam
hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan pendapat Plato bahwa hubungan
keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada
jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan
antara jiwa dan jasad, keduanya saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad
adlah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan merupakan syarat mutlak
terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad
yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa
tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
4) Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa
manusia diciptakan setiap kali jasadd yang akan ditempatinya telah diadakan.
Pendapat ini sekaligus menolak konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah
ada di alam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini
diterima, seperti dikemukakan di atas, maka akan terjadi jiwa tanpa jasad, atau
adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa. Sementara itu, di akhirat akan
terjadi pembalasan secara kolektif.
Ibnu Sina kelihatannya lebih cenderung
berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Alquran. Menurutnya, jiwa
manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad.
Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan
(bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya ini dikekalkan oleh
Allah (). Jadi, jiwa adalah barang baru () karena diciptakan (punya awal) dan
kekal (tidak punya akhir).
Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil dalam
menetapkan kekealnya jiwa:
a) Dalil al Infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad
bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang
berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal walaupun jasad binasa.
Sementara itu, jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
b) Dalil al basathat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup
selalu da tidak mengenaal mati. Pasalnya, hidup merupakan sifat bagi jiwa, dan
mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana’ dan mati. Karenanya, jiwa
dinamakan juga dengan jauhar basith (hidup selalu).
c) Dalil al Musyabahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa
manusia, sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari Akal Fa’al (Akal
Sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena Akal Sepuluh ini merupakan
esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)-nya
kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.
Sesuai dengan isyarat di atas, secara
eksplisit Ibnu Sina mengatakan bahwa yang dibangkitkan di akhirat nanti hanya
rohnya. Pengingkaran pembangkitan jasmani inlah yang menimbulkan kritik tajam
Al Ghozali, bahkan para filosofnya ia hukum keluar dari Islam (kafir).
Pendapat ini mengandung arti bahwa pembalasan
di akhirat hanya disediakan untuk roh semata sedangkan jasad akan lenyap
seperti jasad hewan dan tumbuh-tumbuhan. Padahal, manusia yang diberi beban
oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad dan roh. Sebenarnya
terjadinya perbedsan interprestasi tentang hal ini disebabkan berbedanya
pemahaman ajaran dasar dalam Islam yang tidak akan membawa pada kekafiran,
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibnu
Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Di samping
sebagai dasar berpikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya yang terdapat
pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut
Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu, jiwa
tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan
dan tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat
fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia juga.
Demikianlah pembahasan tentang Ibnu Sina,
kendatipun kebanyakan pemikiran-pemikiran filsafatnya telah dikemukakan Al
Farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci dan
lengkap dengan gaya yang menarik. Karenanya tepat sekali penilaian yang
mengatakan bahwa di tangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam Timur mencapai
puncaknya yang tertinggi.
5.
Akal
- Akal Materiil (العقل الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
- Akal Al-malakat (العقل الملكة) yang telah mlai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Aktual (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Mustafad (العقل المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
[1]Muhammad
Athif Al-'Iraqy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma'arif,
1978), h. 70.
[2]Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1996), h.50.
[3]Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 94.
[4]Ahmad
Fuad al-Ahwani, Ibn Sina, (Kairo: Dar al-Ma'arif, ttd), h. 20.
[5]Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
h.115.
[6]Harun
Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), h. 29.
[7]Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Ter. R. Mulyadhi Kartanegara,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 191.
[8]Ahmad
Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 68.
[9]Ibid.,
Nurcholish Madjid, h. 33.
[10]Ibid.,
Muhammad Athif Al-'Iraqy, h.
[11]Hana
Al-Fakhury & Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Beirut:
Mu'assasat li al-Thaba'ah wa al-Nasyr, 1963), h. 443.
[12]Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran
Filsafat Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 62.
[13]Snin
di bawakan faid
[14]Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan, 2001), h. 65.
[15]Ibid
[16]Buku
yang menjelaskan emanasi secara jelas.
[17]Ibid
[18]Ibid.,
Majid Fakhry, h. 65.
[19]Sirajuddin
Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-qur'an, (Jakarta;
Rajawali Prees, 1994), h. 180.
[20]Loekisno
Choiril Warsito, dkk., Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press,
2011), h. 8.
[21]Ibnu
Sina, al-Najat, (kairo: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1938), h. 398.
[22]Harun
Nasution, Studia Islamika, No. 23 IAIN Jakarta, 1996, hlm 5.
[23]Ibid,
Harun Nasution., h. 30.
0 komentar:
Posting Komentar