Rekonstruksi Kemerdekaan Hidup;
Membangun Paradigma Baru, Dengan
Mengalir Dalam Dedikasi.
By: A. Bahrul Ulum
Hakikat dari sebuah proses belajar adalah ketika kita dapat mempelajari
diri kita sendiri, dengan cara mengelola budhi, menundukkan akal, dan
menjernihkan jiwa. karena dengan kemerdekaan diri kitalah kita dapat melakukan
segala bentuk prilaku yang kita inginkan, mengimajinasikan suatu cita yang kita
cintai, dan melindungi segenap harta yang kita miliki. Dan semua kegiatan
tersebut, secara praktis dapat kita kerjakan dikarenakan adanya diri kita
sendiri. (A.
B. U)
Malam itu, Sabtu, 04 Oktober
2014 seorang hamba sedang bertafakkur dibawah atap langit hitam yang tampak
berkilau oleh sinar bintang yang berkelip, diselimuti oleh dinginnya malam yang
menyelam sampai pada tulang belulang, kemudian yang tak terlewatkan adalah
adanya sebuah nyanyian berbagai macam serangga-serangga kecil yang salalu setia
menemani, dan dibebani dengan adanya sebuah pertanyaan yang sangat memberatkan
pikirannya, hamba tersebut mulai mempelajari mengenai apa itu kemerdekaan?
Apakah keadaan kita yang saat ini, merupakan keadaan orang yang telah merdeka?
Kita memang mengetahui sejarah kemerdekaan negeri ini, bagaimana proses
perjuangan negeri ini untuk mencapai suatu kemerdekaan sangatlah tak ternilai
jerih payahnya dan bunga dari perjuangan moyang kita di masa lalu telah
tersemai dengan adanya proses proklamasi yang dilaksanakan pada tanggal 17
Agustus 1945. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan besar di dalam pikirannya,
apakah dengan merdekanya negeri ini, juga berdampak pada merdekanya masyarakat
di negeri ini???
Apakah kemerdekaan itu?
Apakah ketika kita dapat hidup bebas sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita
dapat dikatakan telah merdeka? Apakah dengan bersikap semaunya sendiri, dapat
membawa kita menuju kenikmatan suatu kemerdekaan? Sikap semaunya sendiri itu
tidak sama dengan sikap tidak teratur. Sikap semaunya sendiri merupakan suatu
sikap yang muncul dikarenakan adanya suatu dorongan naluriah yang disebabkan
oleh alam kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu, merupakan alam
kehidupan yang memiliki budaya ketamakan perekonomian akut dan opresifitas kepada
suatu pemerintahan. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan, benarkah dengan kita
bersikap semaunya sendiri dapat membawa kita menuju sebuah kemerdekaan sejati?
Yaitu kemerdekaan yang dapat dimiliki oleh setiap individu, dan kelompok.
Kemerdekaan yang egaliter. Bukan kemerdekaan yang ada di dalam dunia ide
saja, dan kemerdekaan yang menjadi trending topik omong kosong saja.
Bagaimanakah kemerdekaan itu? Pernahkah kita berpikir tentang hal tersebut?
Menurut Socrates (470-399
SM), hakikat dari sebuah proses belajar adalah ketika manusia dapat mempelajari
tentang dirinya sendiri.[1]
Namun, mengapa yang menjadi objek belajar kita adalah diri kita sendiri?
Dikarenakan, menurut JJ. Rousseau diri kita merupakan sebuah makhluk yang
tercipta dengan tidak memiliki determinasi. Kita merupakan makhluk yang
merdeka, dan ada dua karakteristik yang
membedakan antara diri kita dengan makhluk yang lainnya, yaitu:
1.
Kebebasan berkehendak, kita bukanlah makhluk yang
didetermenasikan oleh insting. Kita dapat memilih, menolak, bergerak sesuai
dengan kehendak bebas yang kita miliki.
2.
Kesempurnaan, kita merupakan makhluk yang secara gradual
mampu mengembangkan dasar-dasar potensi kompetensi yang kita miliki,
sehingga dengan melewati sebuah proses pembelajaran, kita dapat mengungguli
setiap makhluk yang ada.[2]
Oleh sebab itu, dikarenakan
kemerdekaan merupakan sebuah fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia sejak
mereka dilahirkan, maka kita seharusnya sebagai manusia dapat mempelajari makna
kemerdekaan hidup, dan mencari pengetahuan terhadap bagaimana cara kita
mencapainya.
Kemudian, dalam konteks yang
lain, Plato (427-327 SM) berpendapat bahwa manusia hidup dengan memiliki dua
komponen, yaitu komponen yang material dan non-material. Menurutnya, raga
manusia merupakan sebuah entitas yang material sedangkan jiwa manusia
merupakan sebuah entitas yang non-material. Kemudian, beliau memperinci
penjelasannya dengan mengatakan bahwa jiwa manusia itu keberadaannya tersusun
dari tiga komponen, yaitu:
1.
Ruh (yang condong mengarahkan manusia untuk berbuat
kebaikan),
2.
Nafs (yang condong mengarahkan manusia untuk berbuat
keburukan), dan
3.
Akal (yang dapat mengendalikan ruh dan nafsu).[3]
Namun, yang menjadi sebuah
pertanyaan adalah akal yang bagaimanakah yang dapat mengendalikan antara gerak
ruh dan nafs? Buktinya, banyak manusia yang hidup dengan mengumbar nafsunya
padahal mereka berakal, contoh: para koruptor, para pelaku free sex, para
pecandu narkoba, banyak realita mahasiswa yang saling menyontek dalam ujian,
atau kuliah karena ingin mendapat ijazah dan kerja, atau mahasiswa memilih
dosen yang dapat memberikan nilai baik dan lain-lainnya.
Dalam konteks tersebut,
hamba berpendapat secara subjektif bahwasannya banyaknya manusia yang berbuat
keburukan adalah dikarenakan kalahnya dirinya dalam peperangan yang bernama
perang penundukkan akal. Antara siapa VS siapa peperangan tersebut? yaitu
antara Iman VS Setan. Mengapa Setan diikut sertakan dalam hal ini? (Bukannya hamba
mengikutsertakan Setan dikarenakan hamba ingin mengkambing hitamkan Setan dalam
terjadinya carut marutnya peradaban manusia). Namun, Setan menurut hamba dengan
mengutip pendapat dari Fazlur Rahman[4]
adalah makhluk yang Impersonal. Setan lebih merupakan semacam energi negative
atau kekuatan jahat, dan kekuatan tersebut dapat eksis di mana saja dan dalam
objek apa saja. Sehingga apapun hal tersebut, jika hal tersebut dilekati oleh Setan
maka akan berpotensi untuk cenderung menuju suatu negativitas.[5]
Jadi, Manusia dapat menjadi Setan dan Jin pun juga dapat menjadi Setan.
Namun, menurut al-Khubuwy,
Setan dalam bentuk manusia lebih berbahaya daripada Setan dalam bentuk Jin.
Dikarenakan Setan dalam bentuk Jin hanya membisiki saja, namun, Setan dalam
bentuk manusia terus saling berinteraksi dengan sesamanya untuk saling membantu
dan merobohkan satu sama lain.[6]
Jika memang seperti itu, bagaimana cara kita agar Iman kita dapat mengalahkan
Setan di dalam perang tersebut? menurut Fazlur Rahman, jika manusia tidak
menginginkan beraliansi kuat dengan Setan, maka yang harus dilakukan manusia
adalah bersekutu dengan Allah SWT dengan cara mengerjakan budhi-budhi baik, dan
terus mengembangkan sikap dan kecenderungan-kecenderungan menuju arah yang
positiv.[7]
Kemudian, komponen apakah
yang ada dalam jiwa manusia yang dapat membedakan antara budhi negative dan
budhi positive? jawabnya adalah akal. Bagaimana cara akal dapat mengetahui dan
membedakan antara hal yang baik dengan hal yang buruk? Jawabnya adalah dengan
bantuan pengetahuan. Dan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang sempurna
menurut JJ. Rousseau, maka kita sebagai manusia pasti dapat memenangkan
peperangan antara Iman VS Setan yang terjadi di dalam diri kita, jika kita mau
untuk melakukannya. Jadi, kuncinya ada pada kemauan diri kita sendiri.
Kemudian, apa hubungannya
antara budhi baik dengan kemerdekaan hidup? Budhi baik hanya akan dapat muncul
jika manusia mendedikasikan dirinya kepada Allah SWT, lewat pengetahuan-pengetahuan
yang harus kita cari dan amalkan, jadi, jangan mencari pengetahuan saja
sehingga kita terjebak pada jaring-jaring kerumitan konseptual. Namun, Carilah
pengetahuan kemudian langsung amalkan, atau bagi yang terlanjur kita amalkan namun
belum kita ketahui pengetahuan tentang amal tersebut maka carilah
pengetahuannya. dikarenakan ibarat amal adalah sebuah bangunan, maka
pengetahuan adalah gerbang masuk menuju bangunan tersebut. dan jika manusia
sudah mulai merubah budhinya menjadi budhi yang baik, maka jiwa manusia akan
menjadi jiwa yang semakin membersih dan jika jiwa manusia telah semakin
membersih maka yang akan terjadi adalah akan berkurangnya para koruptor, free
sex, pecandu narkoba, mahasiswa nyontek dalam ujian, mahasiswa belajar
karena ingin mendapat ijazah dan kerja, mahasiswa memilih dosen yang dapat
memberikan nilai baik, dll. dikarenakan masalah-masalah tersebut muncul karena
ketidak merdekaannya akal manusia karena mereka telah beraliansi dengan Setan.
Jadi, kemerdekaan bukanlah
suatu masalah sistemik saja, namun kemerdekaan juga merupakan suatu masalah paradigmatik.
Dalam bahasa sederhananya, pembahasan kemerdekaan bukanlah pembahasan terkait
peraturan-peraturan hidup bernegara yang telah ada saja, namun pembahasan
kemerdekaan adalah pembahasan mengenai bagaimana cara manusia itu memandang,
berbuat dan bertujuan dalam menjalani kehidupannya.
JANGAN MENGKAMBING HITAMKAN
MAKHLUK LAIN UNTUK MENUTUPI KESALAHAN KITA, KARENA JANGAN-JANGAN KARENA
KEBERADAAN KITALAH YANG TELAH MENIMBULKAN KEKACAUAN DAN KERUSAKAN DI DUNIA INI,
RENUNGKANLAH HAL TERSEBUT.
Malang, Minggu 05 oktober
2014
[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Rosda Karya, 2012),
hal. 7.
[2]
Man Has No Determination; He Is Thr Free Animal. Tema tersebut terdapa pada
buku Allan Bloom, JJ. Rousseau; Dalam History of Political Philosophy, hal.
564.
[3]
Ibid., Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan,,, hal. 10.
[4]
Fazlur Rahman merupakan tokoh pembaruan Islam di zaman modern, beliau lahir di
Pakistan pada tahun 1919 M dan meninggal di Chicago USA pada tanggal 26 Juli
1988, beliau dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sangat religius dan
bermazhab hanafi, suatu mazhab Sunni yang lebih bercorak rasionalistis
dibandingkan dengan tiga mazhab Sunni lainya.
[5]
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, 1996), hal. 185.
[6]
Utsman bin Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khubuwy, Durratun Nasihiin, hal.
215.
[7]
Ibid.,Fazlur Rahman,,,,hal. 185.
0 komentar:
Posting Komentar