KEISLAMAN PANCASILA;
“Reinterpretasi Makna
Pancasila Sebagai Ideologi Negara Dalam Perspektif Islam”
Oleh : A. Bahrul Ulum
Secara rasional manusia mungkin dapat mengerti suatu
kebenaran, namun karena tidak benar-benar mempercayainya, mereka tidak akan
bertindak sesuai dengan kebenaran tersebut. (Ayatollah Khomeini)
Oleh sebab itu, jika kalian ingin mengetahui teori dan
metodologi revolusi, kalian harus ambil bagian dalam gerakan revolusi, karena
pengetahuan sejati hanya akan diperoleh melalui pengalaman langsung. (Mao
Tse Tung)
Selama beberapa
tahun terakhir ini kita dapat mengamati adanya gerakan-gerakan baru dari
beberapa organisasi Islam yang ada di Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi Negara. Adanya pemikiran tersebut dikarenakan adanya asumsi bahwa selamanya
konseptualisasi hukum yang digagas oleh manusia tidak akan pernah meraih
kesuksesan dalam menyelesaikan seluruh problematika yang ada, karena tidak akan
ada sesuatu yang tidak sempurna melahirkan sesuatu yang sempurna dan
dikarenakan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka semua landasan gerak
manusia seharusnya dilandaskan pada hukum-hukum yang telah di tetapkan oleh
Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka menginginkan adanya sebuah revolusi sistematik
dalam sistem kenegaraan Indonesia, yang mulanya Indonesia merupakan Negara yang
berasas demokrasi dirubah menjadi Negara yang berasas teokrasi, dengan
menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar hukumnya, bukan undang-undang
dasar 1945, Islam sebagai ideologi kenegaraannya dan kholifah sebagai
pemimpin kedaulatannya di bawah payung Khilafah Islamiyyah.
Menurut
Soehino, pada dasarnya konsep Negara teokrasi tersebut sudah ada sejak abad
ke-3 M dan berkembang sampai abad ke-15 M. Namun, pada masa selanjutnya mulailah adanya
pergeseran asas kenegaraan dari asas teokrasi menuju asas demokrasi, dari asas
ketuhanan menuju asas kerakyatan yang digunakan sebagai landasan legitimasi
kekuasaan suatu Negara (Soehino, 2005: 150). Oleh sebab itu, pancasila dapat
dikatakan sebagai suatu ideologi baru, dikarenakan lahirnya pancasila merupakan
sebuah sintesa (penggabungan) dari berbagai asas yang ada, dikarenakan
Indonesia merupakan sebuah Negara multikultural, oleh sebab itu, untuk
melindungi kemultikulturalan tersebut Indonesia perlu merumuskan sebuah ideologi
kenegaraan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Inilah yang
merupakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang berwatak
pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini,
seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, dan lain-lain (Gus Dur, 2011: 91). Kemudian,
dengan adanya landasan ijtihad tersebut, apakah pancasila merupakan sebuah ideologi
yang buruk?
Dewasa ini,
beberapa golongan yang tergolong dalam organisasi Islam transnasional
mengatakan bahwa pancasila merupakan sebuah ideologi Negara yang tidak Islami,
benarkah demikian? Apa yang menjadi ukuran standar evaluasi dari adanya
penilaian tersebut? oleh sebab itu, mari
kita mengkaji pancasila dalam perspektif al-Qur’an agar kita dapat menguji
kebenaran dari penilaian tersebut.
1.
Ketuhanan yang maha esa
Dalam surat an-Nahl ayat 22 Allah
SWT berfirman:
Artinya: Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat,
hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah
orang-orang yang sombong.
Kemudian, dalam surat
al-Baqarah ayat 163 Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.[1]
Kemudian, dalam surat
al-ikhlas ayat 01 Allah SWT berfirman:
Artinya: Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.[2]
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Dalam surat an-Nahl ayat 90 Allah
SWT berfirman:
Artinya: Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
3.
Persatuan
Indonesia
Dalam surat al-Imran ayat 103 Allah
SWT berfirman:
Artinya: Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.
4.
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Dalam surat Shad ayat 20 Allah SWT
berfirman:
Artinya: Dan Kami
kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan
kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.[3]
Kemudian, dalam surat al-Imran ayat
159 Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[4] Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam surat al-Maidah ayat 8 Allah
SWT berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kemudian, dalam surat an-Nisa’ ayat
135 Allah SWT berfirman:
Artinya: Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Jika ia[5] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Setelah mengkaji ke-5 sila tersebut
dalam perspektif al-Qur’an, kita mengetahui bahwa seungguhnya setiap sila dari
ke-5 sila tersebut tidak ada satupun yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman
dan tidak ada satupun sila yang memiliki nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai
al-Qur’an. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwasannya selama ini tuduhan terkait
ketidak Islamiannya konsep pancasila merupakan sebuah tuduhan yang keliru.
Kemudian, Jamaluddin
al-afghani, seorang tokoh pembaharu Islam pada abad ke-19 berpendapat
bahwasanya bentuk pemerintahan yang menganut sistem demokrasi merupakan salah
satu alternative bagi terwujudnya pemerintahan absolute dan otokratis yang
selama ini diperaktikkan oleh sebagian pemerintah Islam (Nasution, 1975: 56).
Menurut
beliau, sistem pemerintahan yang demokratis merupakan sebuah sistem yang
menghendaki terbentuknya lembaga perwakilan rakyat dalam sebuah kepemerintahan.
Lembaga inilah yang kemudian bertugas menyampaikan setiap aspirasi rakyat kepada
pemerintah.
Sehingga, setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat sesuai dan tidak bertentangan
dengan aspirasi rakyat. Dalam bahasa lain, lembaga ini menjadi control bagi
pemerintah untuk menetapkan suatu kebijakan. Namun, seluruh warga Negara yang
hidup dalam satu lingkungan pemerintahan juga harus tunduk kepada Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian, upaya pemerintahan yang absolut dapat teratasi dengan
adanya lembaga perwakilan rakyat dan UUD tersebut (Pulungan, 1994: 287).
Sehingga dengan kata lain, jamaluddin al-afghanipun sepakat dengan konsep
pemerintahan Negara Republik Indonesia ini.
Jadi, secara
ideologis tidak ada kekeliruan dalam konsep pembangunan Negara Indonesia dan
kita sebagai masyarakat Indonesia seharusnya dapat menjaga keutuhan NKRI dengan
berbagai metode dan strategi, diantaranya ialah kita seharusnya dapat menjadi
manusia yang lebih kolektif dalam menerima informasi dan lebih bijak dalam menyikapi
setiap perbedaan yang ada. Jangan mengArabisasikan Indonesia, namun mari bersama-sama
mengislamisasikan Indosesia. Salam NKRI.
DAFTAR
PUSTAKA
Gus Dur, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2011)
Soehino, Ilmu
Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005)
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
J. Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Grafindo
Persada, 1994)
[1]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat
tersebut di atas (S. 2: 163), kaum musyrikin kaget dan bertanya-tanya.
"Apakah benar Tuhan itu tunggal? Jika benar demikian, berikanlah kepada
kami bukti-buktinya!" Maka turunlah ayat berikutnya (S. 2: 164) yang
menegaskan adanya bukti-bukti keesaan Tuhan.
(Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur di dalam Sunannya, al-Faryabi di dalam Tafsirnya, dan al-Baihaqi d idalam Kitab Syu'bul Iman yang bersumber dari Abidl-Dluha. As-Sayuthi berpendapat bahwa Hadits ini mu'dlal, tetapi ada syahid (penguatnya)).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah turun ayat ini (S. 2: 163) kepada Nabi SAW di Madinah, kafir Quraisy di Mekah bertanya. "Bagaimana Tuhan Yang Tunggal dapat mendengar manusia yang banyak?" Maka turunlah ayat berikutnya (S. 2: 164) yang menegaskan adanya bukti-bukti keesaan Tuhan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu-Syaikh di dalam kitab al-'Izhmah yang bersumber dari 'Atha'.)
(Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur di dalam Sunannya, al-Faryabi di dalam Tafsirnya, dan al-Baihaqi d idalam Kitab Syu'bul Iman yang bersumber dari Abidl-Dluha. As-Sayuthi berpendapat bahwa Hadits ini mu'dlal, tetapi ada syahid (penguatnya)).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah turun ayat ini (S. 2: 163) kepada Nabi SAW di Madinah, kafir Quraisy di Mekah bertanya. "Bagaimana Tuhan Yang Tunggal dapat mendengar manusia yang banyak?" Maka turunlah ayat berikutnya (S. 2: 164) yang menegaskan adanya bukti-bukti keesaan Tuhan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu-Syaikh di dalam kitab al-'Izhmah yang bersumber dari 'Atha'.)
[2]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum musyrikin
meminta penjelasan tentang sifat-sifat Allah kepada Rasulullah saw. dengan
berkata: "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Ayat ini (S.
112:1-4) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai tuntunan untuk menjawab
permintaan kaum musyrikin.
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari Abi Aliyah yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab. Diriwayatkan pula oleh at-Thabarani dan Ibnu jarir yang bersumber dari Jabir bin Abdillah dan dijadikan dalil bahwa surat ini Makkiyah.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi menghadap kepada Nabi saw. dan diantaranya Ka'bubnul 'asyraf dan Hay bin Akhtab. Mereka berkata: "Hai Muhammad, lukiskan sifat-sifat Tuhan yang mengutusmu." Ayat ini (S.112:1-4) turun berkenaan dengan peristiwa itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Sa'id bin Jubair. Dengan riwayat ini Sa'id bin Jubair menegaskan bahwa surat ini Madaniyyah.)
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari Abi Aliyah yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab. Diriwayatkan pula oleh at-Thabarani dan Ibnu jarir yang bersumber dari Jabir bin Abdillah dan dijadikan dalil bahwa surat ini Makkiyah.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi menghadap kepada Nabi saw. dan diantaranya Ka'bubnul 'asyraf dan Hay bin Akhtab. Mereka berkata: "Hai Muhammad, lukiskan sifat-sifat Tuhan yang mengutusmu." Ayat ini (S.112:1-4) turun berkenaan dengan peristiwa itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Sa'id bin Jubair. Dengan riwayat ini Sa'id bin Jubair menegaskan bahwa surat ini Madaniyyah.)
[3]
Yang dimaksud hikmah di sini ialah kenabian, kesempurnaan
ilmu dan ketelitian amal perbuatan.
[4]
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah
lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[5]
Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.
0 komentar:
Posting Komentar