Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 14 Agustus 2015

Kosong, Putih, Bersih (Rekonstruksi pola pikir menuju dunia sufi)



KOSONG, PUTIH, BERSIH.
By: A. Bahrul Ulum

Manusia dalam menganalisa akan sangat sulit untuk bersikap objektif. Namun, subjetifitas manusia selalu berperan dominan dalam menentukan sebuah nilai dari suatu relaitas konkrit maupun abstrak. Jika manusia mulai terlepas dari sikap subjetifitasnya, maka manusia akan menemukan dialektika antara kosong, putih, dan bersih. (ABU)

KOSONG; Menurut Berkeley, pada realitasnya dunia itu tidak ada. Dunia ini manusia anggap ada karena manusia memiliki indera, apa jadinya jika manusia tidak memiliki indera? Manusia dapat mengenal lingkungannya karena manusia memiliki indera. Pada akhirnya jika manusia memang benar-benar berfikir, maka manusia akan menemukan keraguan mengenai kebenaran realitas keberadaan. kita ada atau tidak? Apakah kita benar-benar ada? (garder, 2012: 441)
Menurut Hegel, dunia itu bergerak dengan dialektikanya. Pergerakan dunia menerut Hegel tidak akan lepas dari  gerak tesa (pendapat), antitesa (lawan pendapat), dan sintesa (penengahan pendapat) yang pada akhirnya memunculkan tesa (pendapat) baru (Tafsir, 2012: 153). Apa makna yang tersirat dibalik  pendapat hegel tersebut? Kita akan menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat realita sejarah dunia yang berkembangan pada zaman klasik. Menurut Ahmad Tafsir, perkembangan dunia diwarnai oleh pertarungan antara dua kekuatan, yaitu akal dan hati. Siapa subjeknya? Manusia. Sejak zaman klasik, diawali dari Thales (624-548 SM) yang membuka pintu gerbang pemakaian akal sebagai alat mencari kebenaran dari keadaan manusia sebelumnya, yang menggunakan mitos-mitos dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia, dengan pertanyaannya tentang dunia, apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Air (Poedjawijatna, 1997: 23), menurutnya. Kemudian muncul tokoh lain yaitu Zeno (336-264 SM), yang dikatakan menjadi bapak sofisme karena zeno berhasil mengguncangan kemapanan pandangan orang awam karena buah fikirannya (disini peran akal mulai menunjukkan dominasi yang berlebihan). Sehingga muncul perlawanan dari Sokrates (470-399 SM), yang memperjuangkan nilai-nilai moralitas yang telah carut marut akibat terlalu mendominasinya peran akal, sehingga mengesampingkan peran hati dalam proses menjalani kehidupan, dan pada akhirnya ditengahi oleh Aristoteles (384-322 SM) yang berhasil menyeimbangkan peran antara akal dan hati dengan penemuan logika klasiknya (disini pada akhirnya peran akal dan hati mulai seimbang). Jika kita mencoba mengkritisi perubahan dunia dengan dialektikanya, maka kita akan menemukan kekosongan pada sudut pandang yang paling universal. Mengapa? Karena kita telah menangkap hukum alamiah pergerakan dunia ini.
Namun, menurut Bertrand Russell (Russell, 2007: V), sejarahpun tidak dapat seutuhnya dipercaya. Mengapa? Karena manusia mengeluarkan tesis, mayoritas karena memiliki kebutuhan. Kebutuhan akan apa? Lolos terhadap proses seleksi alam dan menunjukkan eksistensinya demi mencapai sebuah kemapanan dalam hidup. Sedangkan dalam meneliti, manusia juga terikat oleh keterbatasan waktu yang mereka miliki, disamping dua faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga menurut dee sikap subjektifitas penulis dalam menentukan sebuah tesis sangat mempengaruhi terhadap prodak yang penulis lahirkan (dee, 2001: 212). Kemudian karena setiap ilmuan memiliki bentuk dan karakter pola fikir yang berbeda-beda karena berbagai latar belakang pendidikan serta kondisi sosio kultural pada tempat mereka hidup dan berinteraksi, kemudian dibebani dengan semangat menunjukkan eksistensi dirinya dan kerja kerasnya dalam perjuangan menghadapi proses sleksi alam, akhirnya menjadikan perang argument dan pendapat itu menjadi hidup. Sehingga, seiring berjalannya waktu, penilaian manusia akan lebih dominant untuk menilai kebenaran berdasarkan kesepakatan mayoritas dengan mengevaluasi dengan ukuran nilai kuantitas, karena semua argument dapat dianggap berkualitas. Dan semua dinamika tersebut terlahir dari latar belakang kehidupan manusia yang secara alamiah telah hidup dalam kelompok-kelompok, tempat tertentu dan terlahir pada dimensi waktu yang berbeda beda.
Sehingga kesimpulannya, sulit dimengerti dan susah didapat terhadap suatu kebenaran yang absolute (mutlak; tak terbatas; tak bersyarat). Sedangkan manusia hidup memiliki potensi paedagogis (mendidik dan dapat didik) (daradjat, 2008: 16), berarti manusia selama ini telah dikonstruk (dibangun) sejak dini dengan sebuah pemahaman terhadap kebenaran yang masih bersyarat belum kebenaran yang absolute. Kemudian, siapa yang bertanggung jawab terhadap kondisi dunia yang seperti ini? Akankah kita masih ingin menyalahkan satu sama lain? Bukankah faktor terbesar pemahaman dan keyakinan manusia terbentuk adalah dari lokasi dan waktu manusia dilahirkan, sedangkan apakah manusia memiliki hak untuk memilih tempat dan waktu dia di lahirkan?
Pembahasan mengenai kosong ini akan diklimakskan dengan pendapat dari xenopohones (570-475 SM) yaitu kebenaran pengetahuan itu relative, karena keterbatasan waktu hidup dan keinginan manusia yang cenderung berkembang untuk mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui yang menjadikan kebenaran pengetahuan itu relative. Kant (1724-1804 M) juga berpendapat bahwa manusia memandang segala sesuatu dengan menggunakan kaca matanya. Kaca mata disini diartikan sebagai sudut pandang yang manusia pahami. Sehingga, kiranya akankah pendapat manusia pada umumnya juga tidak bersifat subjektif dan relative? Kemudian, jika manusia telah mencapai pemahaman dengan sudut pandang analisis yang universal ini, akankah manusia masih ingin menjadikan dirinya sebagai makhluk yang fanatik? Makhluk yang egois?
Jika kita memaksimalkan diri untuk selalu bekerja keras tidak hanya dengan berfikir saja, namun juga dengan mengaplikasikan (menerapkan) pengetahuan kita dalam kehidupan nyata, dengan meyakini dan melatih diri untuk menjadi dan menuju sosok yang ideal secara nilai moral positive realistis (kepatuhan terhadap fakta, kepada apa yang nampak terjadi, bukan kepada apa yang diinginkan dan diharapkan secara pribadi) dan bukan berhenti pada tataran konsep nilai moral teoritis (berdasarkan teori), maka tidak akan terlahir nietze-nietze selanjutnya dalam dinamika hidup ini, ketika manusia menemukan kekosongan. Karena dengan pemahaman terhadap semangat juang tersebut, manusia akan menjadi makhluk yang aplikatif dan tidak terjebak kerumitan pada tataran konsep belaka.
kosong adalah isi, dan isi adalah kosong; keterbatasan manusia dalam berfikir dan menginderalah yang menjadikan adanya kata-kata kosong dalam kehidupan, sehingga karena keegoisannya manusia seakan melalaikan diri terhadap adanya suatu otoritas lain di luar dimensi yang mereka huni saat ini.”
PUTIH; Apa cinta itu? Cinta adalah rasa ingin mengalami, cinta itu suatu objek yang metafisik, karenanya cinta akan sangat susah diukur secara kuantitatif. Dan cinta adalah energi dasar dan tunggal (dee, 2001: 148).
Apa yang menjadi sumber terbentuknya alam ini? Dari mana alam ini berasal? Plotinus menjawab dengan teori emanasinya (pemancarannya). Menurut Plotinus, yang Esa adalah yang menjadi sebab utama adanya alam ini, Hatta menjelaskannya sebagai berikut. Yang Esa adalah semuanya, namun dasar yang banyak, tidaklah mungkin yang banyak itu, dasar yang banyak pastilah yang tunggal, dan yang tunggal adalah penggerak utama yang menjadikan adanya yang banyak. Penggerak utama berada di luar alam nyata. Namun, memang Tuhan tidak berada di dalam alam, tapi alam berada di dalam Tuhan, hubungannya seperti hubungan benda dengan bayangannya, semakin jauh yang mengalir itu dari yang asal, maka semakin kurang sempurnanya ia (Tafsir: 2012, 70-71).
Ikhwan al-shafa’ dalam menjawab dua pertanyaan tersebut, menggunakan landasan filsofi dari filsafat Pythagoras, karena menurut mereka ilmu bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid. Mereka berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber yang pertama, di simbolkan dengan angka satu, jika angka satu rusak, maka rusaklah semua angka yang ada. Angka dua ada setelah adanya angka satu, maka dari itu dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan.  Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu adanya daripada angka dua dan seterusnya. Sehingga, keutamaan itu terletak ada pada angka satu, sebagai landasan utama adanya keberadaan angka-angka yang lain, sehingga jika angka satu tersebut dikatakan tidak ada, maka tidak akan ada pula angka-angka yang lainnya (Zar: 2012: 146-147).
Ibn ‘Arabi juga berpendapat bahwa sesungguhnya pada keanekaragaman wujud makhluk dalam alam semesta ini terdapat keekaan, apa mksud dari pernyataan Ibn ‘Arabi tersebut? Menurutnya, di dalam dunia ini banyak sekali keberagaman makhluk. Bagaimana proses terjadinya keberagaman tersebut? Proses terjadinya keberagaman tersebut adalah berawal dari keekaan wujud Tuhan yang berkaca untuk melihat dirinya sendiri, dengan banyak sekali kaca yang memiliki perbedaan jenis, letak, dan ukuran. Sehingga menghasilkan keanekaragaman bentuk tuhan yang terlihat dalam kaca tersebut,sehingga pada akhirnya juga menghasilkan keanekaragaman wujud makhluk di dunai ini, karena pada dasarnya kembali pada teori yang di jelaskan sebelumnya, bahwa awal mula adanya keanekaragaman ini adalah berawal dari yang Eka {Anshori: 2004: 100-101). Pada tingkatan isi, individu hanyalah ilusi. Pada satu titik kita semua adalah satu organism. Roh dan materi dibangun dari satu unsure yang serupa, dwiaspek dalam ketunggalan. Psikologi kuantum menyebutnya sinkronitas, suatu komunikasi yang terjadi dalam kesadaran, dan digerakkan oleh satu Maharencana. Dan segalanya tersebut ada dalam diri kita. Siapa kita?
Dari beberapa pendapat dalam paragraph sebelumnya, telah memberikan sedikit gambaran kepada kita mengenai pesan yang ingin disampaikan dari terma (istilah) putih tersebut. Pemakaian istilah putih tersebut dimaksudkan sebagai pengingat kembali terhadap sumber adanya semua makhluk, yang tujuannya adalah:
1.        Sebagai landasan picu untuk memunculkan sifat kasih sayang terhadap semua makhluk yang ada pada alam raya ini, agar tidak terjadi eksploitasi (pengisapan) alam yang berelebihan akibat perilaku manusia yang lebih mengutamakan eksplorasi (perwujudan) dari rasa kehirsuannya (keinginan yang berlebih-lebihan terhadap perwujudan keinginan duniawi).
2.        Menumbuhkan semangat untuk berpikir positive dalam melihat fenomena (suatu fakta dan gejala-gejala) gejolak pergerakan alam yang mendramatisir, karena pada hakikatnya kita semua bersumber dari yang putih, maka seharusnya kita membawa semangat kembali kepada fitrah kita masing-masing, dan melandasi semangat perjuangan pergerakan kita dengan dasar kasih sayang untuk menghadirkan dunia-Nya dalam dunia ini.
BERSIH; bagaimana idealnya hidup? Apakah kebahagiaan sejati akan datang ketika kita memiliki banyak uang? Status sosial yang baik? Atau pendamping hidup dengan pemaksimalan kriteria yg dievaluasi dari penialaian dan pengukuran estetik?
            Ketika manusia dapat merelakan hal yang paling mereka sukai dan mereka cintai maupun mereka cita-citakan untuk mereka berikan kepada sasaran yang lebih membutuhkan, dan sasaran yang menginginkan, maupun sasaran yang mereka nilai lebih tepat dari mereka sendiri secara kualitas, maka maka manusia akan menemukan keindahan dan kebahagiaan yang sukar terukur secara kualitatif. Karena ketika manusia sudah memiliki jiwa yang besar, maka dia akan mampu menampung segala beban, amanah, kotoran, perjuangan, dll walaupun sebanyak bilangan makhluk di diunia. Dan berjiwa besar adalah suatu kekayaan yang sukar mendapatkannya, mahal harganya sekaligus keras perjuangan pencapaiannya (dee, 2001: …..)
            Bagaimana cara kita agar dapat menjadi manusia yang berjiwa besar? Secara teoritis jawaban sederhananya adalah, bersihkanlah hatimu dari sifat-sifat yang buruk (takhally), hiasilah hatimu dengan sifat-sifat yang baik (tahally), kemudian ketika engkau telah dapat melaksanakan takhally dan tahally maka kita akan dapat merasakan tajally, yaitu lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah), dan memancarnya nur dari dalam jiwa yang selama ini tersembunyi, sehingga ia tidak akan dapat melihat sesuatu, kecuali melihat pada hakikat siapa yang harus kita cintai (Syukur: 2010, 166-185).
            Apakah kita dapat melakukan hal tersebut? Selama kita memiliki kemauan dan menanamkan perspekstif (harapan) positif maka prosentase kita untuk mampu berubah baik. Karena Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali salah satu potensi yang unik, yaitu manusia memiliki kemampuan untuk membalik keadaan dari yang paling dibenci menjadi yang paling di sukai. Dan potensi tersebut telah diberikan oleh Tuhan pada seluruh makhluk yang hidup dari tataran mikro (kecil) maupun makro (besar) (dee, 2001, 278). Berbahagialah manusia yang dapat mencintai, dan mengetahui siapa hakikat yang harus mereka cintai. (ahmad bahru mafdloluddin shaalih al-mahbub rahmad ‘alam).
            Pada hakikatnya, setiap manusia yang beragama apapun akan merasakan keraguan terhadap apa yang mereka yaqini, karena mayoritas manusia memilih agama adalah dari faktor keturunan dan dengan dididik secara fundamentalis sejak dini. Maka dari itu, pada titik tertentu manusia akan mengalami keraguan. Maka isi dari perjuangan beragama yang baik adalah ketika manusia mengalami keraguan tersebut namun mereka tidak lari dari kenyataan dan menjadikan agamanya hanya sebagai lambang status sosial saja. Akan tetapi manusia dengan keraguannya tersebut baiknya berjuang untuk mencari solusi keraguan dari keyaqinannya, dan dengan perjalanan tersebutlah Tuhan akan menuntun manusia menemukan manis madunya beragama. kemudian pada suatu titik, agama jika direlisasikan sejak dini oleh para penganutnya dengan ketulusan dan kesabaran, maka manusia akan menemukan suatu permuaraan yang sama. Karena di dalam titik tertentu, seluruh agama didunia ini sebenarnya memiliki kesinambungan antara satu agama dengan agama yang lainnya (‘alam: tt: 3).
             KOSONG, Konsekwensi dari bernalar kritis akan menemukan kekosongan dalam puncak batasan kesimpulan dari proses berfikirnya, jika dianalisa dari berbagai sudut pandang.
            PUTIH, karena memahami hakikat sumber dan salah satu bagian isi makhluk hidup, maka manusia akan menjadi pribadi yang toleran dan bikjaksana yang digambarkan dengan ideology plural. Namun, mungkin suatu saat akan muncul kritik tentang ketika manusia merasa dirinya plural maka saat itulah dia menjadi pribadi yang kurang plural, kritik yang baik. Tetapi kami memberi sub tema tersebut hanya dengan niatan untuk memberikan sedikit kemudahan penggambaran kepada pembaca untuk menafsir-nafsirkan tema inti tersebut.
            BERSIH, wujud dari semangat bertakhally, tahally, dan tajally. Akan memberikan konsekwensi terwujudnya hubungan harmonis antar sesama makhluk hidup.

NB: Sedikit gambaran penjelasan materi ini, masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Mohon koreksi dan kritiknya. Dan jika ada dari sahabat/sahabati yang memiliki penafsiran berbeda, mhon disampaikan. Karena penafsiran sahabt/sahbti akan semakin menambah luasnya cakrawala pengetahuan kami. Mhon ma’af, trimakasih.

Ahmad bahru mafdloluddin shaalih al-mahbub rahmad ‘alam, tt, Jawahirul Asrori, Malang: Ponpes Salafi Biba fadlir rah.
Ahmad Tafsir, 2012, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Bertrand Russell, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi Lestari, 2001, Supernova (kesatria. Putri, dan bintang jatuh), Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Jostein Gaarder, 2012, Dunia Sophie, Bandung: Mizan.
M. Afif Ansori, 2004, Tasawwuf Falsafi, Jogjakarta: Gelombang pasang.
M. Amin Syukur, 2010, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nun.
Poedjawijatna, 1997, Pembimbing kearah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta.
Sirajuddin Zar, 2012, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zakiyah Daradjat, 2008, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.



Kosong (eksistensi wujud).
Putih (landasan wujud),
Bersih (tujuan pergerakan).











Surabaya, 18 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar