KOSONG,
PUTIH, BERSIH.
By:
A. Bahrul Ulum
Manusia dalam menganalisa akan sangat
sulit untuk bersikap objektif. Namun, subjetifitas manusia selalu berperan
dominan dalam menentukan sebuah nilai dari suatu relaitas konkrit maupun
abstrak. Jika manusia mulai terlepas dari sikap subjetifitasnya, maka manusia
akan menemukan dialektika antara kosong, putih, dan bersih.
(ABU)
KOSONG;
Menurut Berkeley, pada realitasnya dunia itu tidak ada. Dunia ini manusia
anggap ada karena manusia memiliki indera, apa jadinya jika manusia tidak
memiliki indera? Manusia dapat mengenal lingkungannya karena manusia memiliki
indera. Pada akhirnya jika manusia memang benar-benar berfikir, maka manusia
akan menemukan keraguan mengenai kebenaran realitas keberadaan. kita ada atau
tidak? Apakah kita benar-benar ada? (garder, 2012: 441)
Menurut
Hegel, dunia itu bergerak dengan dialektikanya. Pergerakan dunia menerut Hegel
tidak akan lepas dari gerak tesa
(pendapat), antitesa (lawan pendapat), dan sintesa (penengahan pendapat) yang
pada akhirnya memunculkan tesa (pendapat) baru (Tafsir, 2012: 153). Apa makna
yang tersirat dibalik pendapat hegel
tersebut? Kita akan menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat realita sejarah
dunia yang berkembangan pada zaman klasik. Menurut Ahmad Tafsir, perkembangan
dunia diwarnai oleh pertarungan antara dua kekuatan, yaitu akal dan hati. Siapa
subjeknya? Manusia. Sejak zaman klasik, diawali dari Thales (624-548 SM) yang
membuka pintu gerbang pemakaian akal sebagai alat mencari kebenaran dari
keadaan manusia sebelumnya, yang menggunakan mitos-mitos dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan manusia, dengan pertanyaannya tentang dunia, apa
sebenarnya bahan alam semesta ini? Air (Poedjawijatna, 1997: 23), menurutnya. Kemudian
muncul tokoh lain yaitu Zeno (336-264 SM), yang dikatakan menjadi bapak sofisme
karena zeno berhasil mengguncangan kemapanan pandangan orang awam karena buah fikirannya
(disini peran akal mulai menunjukkan dominasi yang berlebihan). Sehingga muncul
perlawanan dari Sokrates (470-399 SM), yang memperjuangkan nilai-nilai
moralitas yang telah carut marut akibat terlalu mendominasinya peran akal,
sehingga mengesampingkan peran hati dalam proses menjalani kehidupan, dan pada
akhirnya ditengahi oleh Aristoteles (384-322 SM) yang berhasil menyeimbangkan
peran antara akal dan hati dengan penemuan logika klasiknya (disini pada
akhirnya peran akal dan hati mulai seimbang). Jika kita mencoba mengkritisi
perubahan dunia dengan dialektikanya, maka kita akan menemukan kekosongan pada
sudut pandang yang paling universal. Mengapa? Karena kita telah menangkap hukum
alamiah pergerakan dunia ini.
Namun,
menurut Bertrand Russell (Russell, 2007: V), sejarahpun tidak dapat seutuhnya
dipercaya. Mengapa? Karena manusia mengeluarkan tesis, mayoritas karena
memiliki kebutuhan. Kebutuhan akan apa? Lolos terhadap proses seleksi alam dan
menunjukkan eksistensinya demi mencapai sebuah kemapanan dalam hidup. Sedangkan
dalam meneliti, manusia juga terikat oleh keterbatasan waktu yang mereka miliki,
disamping dua faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga menurut dee sikap
subjektifitas penulis dalam menentukan sebuah tesis sangat mempengaruhi
terhadap prodak yang penulis lahirkan (dee, 2001: 212). Kemudian karena setiap
ilmuan memiliki bentuk dan karakter pola fikir yang berbeda-beda karena
berbagai latar belakang pendidikan serta kondisi sosio kultural pada tempat
mereka hidup dan berinteraksi, kemudian dibebani dengan semangat menunjukkan
eksistensi dirinya dan kerja kerasnya dalam perjuangan menghadapi proses sleksi
alam, akhirnya menjadikan perang argument dan pendapat itu menjadi hidup.
Sehingga, seiring berjalannya waktu, penilaian manusia akan lebih dominant
untuk menilai kebenaran berdasarkan kesepakatan mayoritas dengan mengevaluasi
dengan ukuran nilai kuantitas, karena semua argument dapat dianggap
berkualitas. Dan semua dinamika tersebut terlahir dari latar belakang kehidupan
manusia yang secara alamiah telah hidup dalam kelompok-kelompok, tempat
tertentu dan terlahir pada dimensi waktu yang berbeda beda.
Sehingga
kesimpulannya, sulit dimengerti dan susah didapat terhadap suatu kebenaran yang
absolute (mutlak; tak terbatas; tak bersyarat). Sedangkan manusia hidup
memiliki potensi paedagogis (mendidik dan dapat didik) (daradjat, 2008:
16), berarti manusia selama ini telah dikonstruk (dibangun) sejak dini dengan
sebuah pemahaman terhadap kebenaran yang masih bersyarat belum kebenaran yang
absolute. Kemudian, siapa yang bertanggung jawab terhadap kondisi dunia yang
seperti ini? Akankah kita masih ingin menyalahkan satu sama lain? Bukankah
faktor terbesar pemahaman dan keyakinan manusia terbentuk adalah dari lokasi dan
waktu manusia dilahirkan, sedangkan apakah manusia memiliki hak untuk memilih
tempat dan waktu dia di lahirkan?
Pembahasan
mengenai kosong ini akan diklimakskan dengan pendapat dari xenopohones (570-475
SM) yaitu kebenaran pengetahuan itu relative, karena keterbatasan waktu hidup
dan keinginan manusia yang cenderung berkembang untuk mengetahui hal-hal yang
belum ia ketahui yang menjadikan kebenaran pengetahuan itu relative. Kant
(1724-1804 M) juga berpendapat bahwa manusia memandang segala sesuatu dengan
menggunakan kaca matanya. Kaca mata disini diartikan sebagai sudut pandang yang
manusia pahami. Sehingga, kiranya akankah pendapat manusia pada umumnya juga
tidak bersifat subjektif dan relative? Kemudian, jika manusia telah mencapai
pemahaman dengan sudut pandang analisis yang universal ini, akankah manusia
masih ingin menjadikan dirinya sebagai makhluk yang fanatik? Makhluk yang
egois?
Jika
kita memaksimalkan diri untuk selalu bekerja keras tidak hanya dengan berfikir
saja, namun juga dengan mengaplikasikan (menerapkan) pengetahuan kita dalam
kehidupan nyata, dengan meyakini dan melatih diri untuk menjadi dan menuju sosok
yang ideal secara nilai moral positive realistis (kepatuhan terhadap fakta,
kepada apa yang nampak terjadi, bukan kepada apa yang diinginkan dan diharapkan
secara pribadi) dan bukan berhenti pada tataran konsep nilai moral teoritis
(berdasarkan teori), maka tidak akan terlahir nietze-nietze selanjutnya dalam
dinamika hidup ini, ketika manusia menemukan kekosongan. Karena dengan
pemahaman terhadap semangat juang tersebut, manusia akan menjadi makhluk yang
aplikatif dan tidak terjebak kerumitan pada tataran konsep belaka.
“kosong
adalah isi, dan isi adalah kosong; keterbatasan manusia dalam berfikir dan
menginderalah yang menjadikan adanya kata-kata kosong dalam kehidupan, sehingga
karena keegoisannya manusia seakan melalaikan diri terhadap adanya suatu
otoritas lain di luar dimensi yang mereka huni saat ini.”
PUTIH;
Apa cinta itu? Cinta adalah rasa ingin mengalami, cinta itu suatu objek yang
metafisik, karenanya cinta akan sangat susah diukur secara kuantitatif. Dan
cinta adalah energi dasar dan tunggal (dee, 2001: 148).
Apa
yang menjadi sumber terbentuknya alam ini? Dari mana alam ini berasal? Plotinus
menjawab dengan teori emanasinya (pemancarannya). Menurut Plotinus, yang Esa
adalah yang menjadi sebab utama adanya alam ini, Hatta menjelaskannya sebagai
berikut. Yang Esa adalah semuanya, namun dasar yang banyak, tidaklah mungkin
yang banyak itu, dasar yang banyak pastilah yang tunggal, dan yang tunggal
adalah penggerak utama yang menjadikan adanya yang banyak. Penggerak utama berada
di luar alam nyata. Namun, memang Tuhan tidak berada di dalam alam, tapi alam
berada di dalam Tuhan, hubungannya seperti hubungan benda dengan bayangannya,
semakin jauh yang mengalir itu dari yang asal, maka semakin kurang sempurnanya
ia (Tafsir: 2012, 70-71).
Ikhwan
al-shafa’ dalam menjawab dua pertanyaan tersebut, menggunakan landasan filsofi dari
filsafat Pythagoras, karena menurut mereka ilmu bilangan adalah “lidah” yang
mempercakapkan tauhid. Mereka berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber yang
pertama, di simbolkan dengan angka satu, jika angka satu rusak, maka rusaklah
semua angka yang ada. Angka dua ada setelah adanya angka satu, maka dari itu
dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan.
Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu
lebih dahulu adanya daripada angka dua dan seterusnya. Sehingga, keutamaan itu
terletak ada pada angka satu, sebagai landasan utama adanya keberadaan
angka-angka yang lain, sehingga jika angka satu tersebut dikatakan tidak ada,
maka tidak akan ada pula angka-angka yang lainnya (Zar: 2012: 146-147).
Ibn
‘Arabi juga berpendapat bahwa sesungguhnya pada keanekaragaman wujud makhluk
dalam alam semesta ini terdapat keekaan, apa mksud dari pernyataan Ibn ‘Arabi
tersebut? Menurutnya, di dalam dunia ini banyak sekali keberagaman makhluk.
Bagaimana proses terjadinya keberagaman tersebut? Proses terjadinya keberagaman
tersebut adalah berawal dari keekaan wujud Tuhan yang berkaca untuk melihat
dirinya sendiri, dengan banyak sekali kaca yang memiliki perbedaan jenis,
letak, dan ukuran. Sehingga menghasilkan keanekaragaman bentuk tuhan yang
terlihat dalam kaca tersebut,sehingga pada akhirnya juga menghasilkan
keanekaragaman wujud makhluk di dunai ini, karena pada dasarnya kembali pada
teori yang di jelaskan sebelumnya, bahwa awal mula adanya keanekaragaman ini
adalah berawal dari yang Eka {Anshori: 2004: 100-101). Pada tingkatan isi,
individu hanyalah ilusi. Pada satu titik kita semua adalah satu organism. Roh
dan materi dibangun dari satu unsure yang serupa, dwiaspek dalam ketunggalan.
Psikologi kuantum menyebutnya sinkronitas, suatu komunikasi yang terjadi dalam
kesadaran, dan digerakkan oleh satu Maharencana. Dan segalanya tersebut ada
dalam diri kita. Siapa kita?
Dari
beberapa pendapat dalam paragraph sebelumnya, telah memberikan sedikit gambaran
kepada kita mengenai pesan yang ingin disampaikan dari terma (istilah) putih
tersebut. Pemakaian istilah putih tersebut dimaksudkan sebagai pengingat
kembali terhadap sumber adanya semua makhluk, yang tujuannya adalah:
1.
Sebagai landasan
picu untuk memunculkan sifat kasih sayang terhadap semua makhluk yang ada pada
alam raya ini, agar tidak terjadi eksploitasi (pengisapan) alam yang
berelebihan akibat perilaku manusia yang lebih mengutamakan eksplorasi
(perwujudan) dari rasa kehirsuannya (keinginan yang berlebih-lebihan terhadap perwujudan
keinginan duniawi).
2.
Menumbuhkan
semangat untuk berpikir positive dalam melihat fenomena (suatu fakta dan
gejala-gejala) gejolak pergerakan alam yang mendramatisir, karena pada
hakikatnya kita semua bersumber dari yang putih, maka seharusnya kita membawa
semangat kembali kepada fitrah kita masing-masing, dan melandasi semangat
perjuangan pergerakan kita dengan dasar kasih sayang untuk menghadirkan dunia-Nya
dalam dunia ini.
BERSIH; bagaimana
idealnya hidup? Apakah kebahagiaan sejati akan datang ketika kita memiliki
banyak uang? Status sosial yang baik? Atau pendamping hidup dengan pemaksimalan
kriteria yg dievaluasi dari penialaian dan pengukuran estetik?
Ketika manusia dapat merelakan hal yang paling mereka
sukai dan mereka cintai maupun mereka cita-citakan untuk mereka berikan kepada
sasaran yang lebih membutuhkan, dan sasaran yang menginginkan, maupun sasaran
yang mereka nilai lebih tepat dari mereka sendiri secara kualitas, maka maka
manusia akan menemukan keindahan dan kebahagiaan yang sukar terukur secara kualitatif.
Karena ketika manusia sudah memiliki jiwa yang besar, maka dia akan mampu
menampung segala beban, amanah, kotoran, perjuangan, dll walaupun sebanyak
bilangan makhluk di diunia. Dan berjiwa besar adalah suatu kekayaan yang sukar
mendapatkannya, mahal harganya sekaligus keras perjuangan pencapaiannya (dee,
2001: …..)
Bagaimana cara kita agar dapat menjadi manusia yang
berjiwa besar? Secara teoritis jawaban sederhananya adalah, bersihkanlah hatimu
dari sifat-sifat yang buruk (takhally), hiasilah hatimu dengan
sifat-sifat yang baik (tahally), kemudian ketika engkau telah dapat
melaksanakan takhally dan tahally maka kita akan dapat merasakan tajally,
yaitu lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah), dan
memancarnya nur dari dalam jiwa yang selama ini tersembunyi, sehingga ia
tidak akan dapat melihat sesuatu, kecuali melihat pada hakikat siapa yang harus
kita cintai (Syukur: 2010, 166-185).
Apakah kita dapat melakukan hal tersebut? Selama kita
memiliki kemauan dan menanamkan perspekstif (harapan) positif maka prosentase
kita untuk mampu berubah baik. Karena Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali
salah satu potensi yang unik, yaitu manusia memiliki kemampuan untuk membalik
keadaan dari yang paling dibenci menjadi yang paling di sukai. Dan potensi
tersebut telah diberikan oleh Tuhan pada seluruh makhluk yang hidup dari
tataran mikro (kecil) maupun makro (besar) (dee, 2001, 278). Berbahagialah
manusia yang dapat mencintai, dan mengetahui siapa hakikat yang harus mereka
cintai. (ahmad bahru mafdloluddin shaalih al-mahbub rahmad ‘alam).
Pada hakikatnya, setiap manusia yang beragama apapun akan
merasakan keraguan terhadap apa yang mereka yaqini, karena mayoritas manusia
memilih agama adalah dari faktor keturunan dan dengan dididik secara fundamentalis
sejak dini. Maka dari itu, pada titik tertentu manusia akan mengalami keraguan.
Maka isi dari perjuangan beragama yang baik adalah ketika manusia mengalami
keraguan tersebut namun mereka tidak lari dari kenyataan dan menjadikan
agamanya hanya sebagai lambang status sosial saja. Akan tetapi manusia dengan
keraguannya tersebut baiknya berjuang untuk mencari solusi keraguan dari
keyaqinannya, dan dengan perjalanan tersebutlah Tuhan akan menuntun manusia
menemukan manis madunya beragama. kemudian pada suatu titik, agama jika
direlisasikan sejak dini oleh para penganutnya dengan ketulusan dan kesabaran,
maka manusia akan menemukan suatu permuaraan yang sama. Karena di dalam titik
tertentu, seluruh agama didunia ini sebenarnya memiliki kesinambungan antara
satu agama dengan agama yang lainnya (‘alam: tt: 3).
KOSONG,
Konsekwensi dari bernalar kritis akan menemukan kekosongan dalam puncak batasan
kesimpulan dari proses berfikirnya, jika dianalisa dari berbagai sudut pandang.
PUTIH, karena memahami hakikat sumber dan salah satu
bagian isi makhluk hidup, maka manusia akan menjadi pribadi yang toleran dan
bikjaksana yang digambarkan dengan ideology plural. Namun, mungkin suatu saat
akan muncul kritik tentang ketika manusia merasa dirinya plural maka saat itulah
dia menjadi pribadi yang kurang plural, kritik yang baik. Tetapi kami memberi
sub tema tersebut hanya dengan niatan untuk memberikan sedikit kemudahan
penggambaran kepada pembaca untuk menafsir-nafsirkan tema inti tersebut.
BERSIH, wujud dari semangat bertakhally, tahally,
dan tajally. Akan memberikan konsekwensi terwujudnya hubungan harmonis
antar sesama makhluk hidup.
NB: Sedikit gambaran
penjelasan materi ini, masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Mohon
koreksi dan kritiknya. Dan jika ada dari sahabat/sahabati yang memiliki
penafsiran berbeda, mhon disampaikan. Karena penafsiran sahabt/sahbti akan
semakin menambah luasnya cakrawala pengetahuan kami. Mhon ma’af, trimakasih.
Ahmad
bahru mafdloluddin shaalih al-mahbub rahmad ‘alam, tt, Jawahirul Asrori, Malang:
Ponpes Salafi Biba fadlir rah.
Ahmad Tafsir, 2012, Filsafat
Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Bertrand
Russell, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi
Lestari, 2001, Supernova (kesatria. Putri, dan bintang jatuh), Jogjakarta:
PT Bentang Pustaka.
Jostein
Gaarder, 2012, Dunia Sophie, Bandung: Mizan.
M.
Afif Ansori, 2004, Tasawwuf Falsafi, Jogjakarta: Gelombang pasang.
M. Amin Syukur, 2010, Pengantar
Studi Islam, Semarang: Pustaka Nun.
Poedjawijatna,
1997, Pembimbing kearah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta.
Sirajuddin
Zar, 2012, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zakiyah
Daradjat, 2008, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Kosong
(eksistensi wujud).
Putih
(landasan wujud),
Bersih
(tujuan pergerakan).
Surabaya, 18 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar