Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 19 Agustus 2014

PENDIDIKAN NATIVISME



PENDIDIKAN NATIVISME
By: A. Bachrul Ulum

Setiap manusia yang terlahir telah membawa bakatnya masing-masing, bakat tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah senjata yang nantinya dapat digunakan untuk mempertahankan diri dalam mengatasi arus deras ujian hidup yang menerpa setiap manusia dalam kehidupannya. (ABU)
Banyak pertanyaan mendasar yang timbul dari dalam benak pikiran kita mengenai apa itu pendidikan nativistik? Kata nativistik secara bahasa berasal dari kata latin, yaitu native yang memiliki makna yang asal; bawaan dari lahir; hidup sebagai penduduk asli. Secara istilah pendidikan nativistik bermakana paham pendidikan yang berasumsi bahwa setiap manusia yang lahir di dunia ini telah memiliki bakat masing-masing, dan proses pendidikan tidak memiliki daya apapun untuk dapat merubah bakat tersebut. seorang tokoh yang memperkenalkan ajaran nativis ini bernama Arthur Schopenhauer, berikut beberapa penjelasan mengenai bapak Arthur.
A.  Biografi
Bapak Arthur lahir di kota Denzig (jerman), beliau lahir pada tanggal 22 Februari 1788 dan beliau wafat pada tanggal 21 September 1860. Pak Arthur belajar di Universitas Berlin dan dia juga mendapatkan gelar doctor, namun gelar tersebut diperoleh pak Arthur dari universitas jena.
B.  Pemikiran Arthur Schopenhaur
Menurut bapak Arthur faktor pembawaan yang bersifat kodrati yang dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya di dunia ini merupakan sebuah dimensi yang tidak dapat diubah oleh alam sekitarnya (termasuk pendidikan), itulah yang disebut sebagai dimensi kepribadian. Menurut Abudin Nata, proses pendidikan nativistik hanya akan bermanfaat jika kegiatan pendidikan bertolak pada empat dasar teori disiplin mental, yaitu:[1]
1.    Teori Disiplin Mental Teistik
Teori ini menjelaskan bahwa setiap anak yang lahir pasti memiliki sejumlah daya mental, seperti:
a.    Berpikir,
b.    Menanggapi,
c.    Menanya,
d.   Menganalisa,
e.    Dll
Proses belajar mengajar pada tahap awal seharusnya berorientasi pada tujuan untuk melatih daya-daya tersebut. pandangan mengenai teori disiplin mental teistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi daya.
2.    Teori Disiplin Mental Humanistik
Setelah daya mental dari setiap anak telah dilatih agar dapat digunakan secara maksimal, maka setiap anak akan memiliki kebiasan terhadap kapasitas pemakaian daya yang dimilikinya dalam menjalani proses kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan dalam hal kapasitas pemakaian daya tersebut selanjutnya harus dilatih secara terus menerus dan dalam hal pelatihan ini seorang pendidik tidak dapat menyamaratakan kebiasaan pemakaian daya yang telah dimiliki oleh setiap peserta didiknya. Perilaku tersebut merupakan sebuah perwujudan dari prilaku humanis (memanusiakan manusia), dikarenakan pendidik tidak mendidik setiap peserta didiknya dengan landasan kemauan sepihak dari pendidik, namun pendidik juga mempertimbangkan mengenai potensi-potensi yang telah dimiliki oleh peserta didiknya.
Kebiasaan terhadap pemakaian daya manusiawi tersebut nantinya dapat dikatakan sebagai sebuah karakter. Pandangan mengenai teori disiplin mental humanistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi humanistik klasik yang telah digagas oleh Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa 427-322 SM.[2]
Apa yang membedakan antara teori disiplin mental teistik dan humanistik? Jawabnya adalah perbedaan tersebut ada pada objek yang dilatih. Teori disiplin mental teistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta didik ketika daya-daya tersebut masih berbentuk bagian-bagian, dan teori disiplan mental humanistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta didik ketika daya-daya tersebut telah menyatu menjadi suatu kesatuan.
3.    Teori Naturalis
Dalam pandangan nativisme, dari dalam diri setiap manusia terdapat suatu ’inti’ pribadi yang mendorong manusia tersebut untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas.
Dorongan “inti” tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter anak yang telah dikembangkan berlandaskan teori disiplin mental humanistik. Jika karakter anak condong ke arah positive, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan mengarahkan seorang anak untuk berprilaku positive. Dan juga sebaliknya, jika karakter anak condong ke arah negative, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan mengarahkan seorang anak untuk berprilaku negative.
Dikarenakan setiap anak pasti memiliki dorongan yang bersifat intrinsik yang muncul dari dalam dirinya sendiri yang mengakibatkan anak tersebut berprilaku aktif dan memiliki kemauan bebas, dan keberhasilan sebuah proses pendidikan dalam pandangan nativisme sangat dipengaruhi oleh karakter anak itu sendiri, maka tugas seorang pendidik dalam merespon segala bentuk pengembangan karakter seorang anak dalam hal positive maupun negative adalah dengan menciptakan sebuah atmosfir belajar yang baik, dan seorang anak dibiarkan belajar secara natural (alami). Namun, kenaturalan yang ada pada lingkungan pendidikan tersebut telah dibentuk menjadi kenaturalan yang positive. Meskipun seorang anak telah terlahir dengan karakter yang condong kearah negative, namun bagaimana negativitas tersebut dapat berkembang, jika dia hidup dan berproses dalam sebuah lingkungan yang positive?
Menurut aliran nativis kunci keberhasilan dalam sebuah proses pendidikan tidak terletak pada pendidikan ataupun lingkungan itu sendiri, namun terletak pada potensi bawaan yang dimiliki oleh anak didik itu sendiri. Akan tetapi, mengapa dalam pandangan nativis seorang anak juga harus dididik natural? Dikeranakan ketika seorang anak telah memiliki bawaan yang condong kearah negativitas dan seorang pendidik malah terus menekannya dengan kepositivan secara tidak alami, maka ketertekanan mental yang dirasakan anak tersebut menurut Jean Jacques Rosseau malah akan mendorong serang anak agar melakukan sikap-sikap negative yang lebih besar, dan juga dikerenakan dorongan intrinsik yang dimiliki oleh setiap anak telah berdampak pada keaktifan prilaku setiap anak tersebut dan munculnya kemauan dari setiap anak untuk bebas.
4.    Teori Apersepsi
Keberhasilan sebuah proses pendidikan menurut paham nativisme adalah ketika pendidik berhasil menerapkan teori apersepsi, sehingga setiap peserta didik telah terbiasa memiliki sikap apersepsi dalam setiap geraknya. Apa yang dimaksud apersepsi tersebut? apersepsi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebuah sikap mengamati dalam sebuah kesadaran.[3] Jadi, ketika peserta didik telah memiliki sikap apersepsi, maka dalam setiap gerak peserta didik akan selalu dilaluinya dengan mempelajari sesuatu, karena peserta didik telah memiliki sebuah kesadaran yang terus mendorongnya agar selalu mengamati dan mempelajari segala hal yang ditemuinya.
C.  Kesimpulan
Tokoh dari aliran ini adalah Arthur Schopenhaur (Jerman: 1788-1860), beliau berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang sudah jadi, sehingga faktor pendidikan dan lingkungan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik dan yang jelek akan menjadi jelek. Aliran ini berpendapat sekalipun diperlukan pendidikan, pendidikan tersebut hanya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Hasil perkembangan anak tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.[4]
Pembawaan tidak akan berkembang dengan baik manakala tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berlangsung dengan baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya.


[1] Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 231.
[2] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UIP, 1980), hal. 87.
[3] Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 46.
[4] Juhri, Landasan dan Wawasan Pendidikan ( Lampung: Lemut UM Metro Press, 2009), hal. tt.

0 komentar:

Posting Komentar