PENDIDIKAN NATIVISME
By: A. Bachrul Ulum
Setiap manusia yang terlahir telah membawa bakatnya masing-masing, bakat
tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah senjata yang nantinya dapat digunakan
untuk mempertahankan diri dalam mengatasi arus deras ujian hidup yang menerpa setiap
manusia dalam kehidupannya. (ABU)
Banyak pertanyaan mendasar
yang timbul dari dalam benak pikiran kita mengenai apa itu pendidikan
nativistik? Kata nativistik secara bahasa berasal dari kata latin, yaitu native
yang memiliki makna yang asal; bawaan dari lahir; hidup sebagai penduduk asli. Secara
istilah pendidikan nativistik bermakana paham pendidikan yang berasumsi bahwa
setiap manusia yang lahir di dunia ini telah memiliki bakat masing-masing, dan proses
pendidikan tidak memiliki daya apapun untuk dapat merubah bakat tersebut.
seorang tokoh yang memperkenalkan ajaran nativis ini bernama Arthur
Schopenhauer, berikut beberapa penjelasan mengenai bapak Arthur.
A. Biografi
Bapak Arthur lahir di kota Denzig (jerman), beliau
lahir pada tanggal 22 Februari 1788 dan beliau wafat pada tanggal 21 September
1860. Pak Arthur belajar di Universitas Berlin dan dia juga mendapatkan gelar
doctor, namun gelar tersebut diperoleh pak Arthur dari universitas jena.
B. Pemikiran
Arthur Schopenhaur
Menurut bapak Arthur faktor pembawaan yang bersifat
kodrati yang dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya di dunia ini
merupakan sebuah dimensi yang tidak dapat diubah oleh alam sekitarnya (termasuk
pendidikan), itulah yang disebut sebagai dimensi kepribadian. Menurut Abudin Nata,
proses pendidikan nativistik hanya akan bermanfaat jika kegiatan pendidikan
bertolak pada empat dasar teori disiplin mental, yaitu:[1]
1.
Teori Disiplin Mental Teistik
Teori ini menjelaskan bahwa setiap anak yang lahir
pasti memiliki sejumlah daya mental, seperti:
a.
Berpikir,
b.
Menanggapi,
c.
Menanya,
d.
Menganalisa,
e.
Dll
Proses belajar mengajar pada tahap awal seharusnya
berorientasi pada tujuan untuk melatih daya-daya tersebut. pandangan mengenai
teori disiplin mental teistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi
daya.
2.
Teori Disiplin Mental Humanistik
Setelah daya mental dari setiap anak telah dilatih
agar dapat digunakan secara maksimal, maka setiap anak akan memiliki kebiasan
terhadap kapasitas pemakaian daya yang dimilikinya dalam menjalani proses
kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan dalam hal kapasitas pemakaian daya tersebut
selanjutnya harus dilatih secara terus menerus dan dalam hal pelatihan ini
seorang pendidik tidak dapat menyamaratakan kebiasaan pemakaian daya yang telah
dimiliki oleh setiap peserta didiknya. Perilaku tersebut merupakan sebuah
perwujudan dari prilaku humanis (memanusiakan manusia), dikarenakan pendidik
tidak mendidik setiap peserta didiknya dengan landasan kemauan sepihak dari
pendidik, namun pendidik juga mempertimbangkan mengenai potensi-potensi yang
telah dimiliki oleh peserta didiknya.
Kebiasaan terhadap pemakaian daya manusiawi tersebut nantinya
dapat dikatakan sebagai sebuah karakter. Pandangan mengenai teori disiplin
mental humanistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi humanistik
klasik yang telah digagas oleh Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa
427-322 SM.[2]
Apa yang membedakan antara teori disiplin mental
teistik dan humanistik? Jawabnya adalah perbedaan tersebut ada pada objek yang
dilatih. Teori disiplin mental teistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta
didik ketika daya-daya tersebut masih berbentuk bagian-bagian, dan teori
disiplan mental humanistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta didik ketika
daya-daya tersebut telah menyatu menjadi suatu kesatuan.
3.
Teori Naturalis
Dalam pandangan nativisme, dari dalam diri setiap manusia
terdapat suatu ’inti’ pribadi yang mendorong manusia tersebut untuk mewujudkan
diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang
menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas.
Dorongan “inti”
tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter anak yang telah dikembangkan
berlandaskan teori disiplin mental humanistik. Jika karakter anak condong ke
arah positive, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan mengarahkan
seorang anak untuk berprilaku positive. Dan juga sebaliknya, jika karakter anak
condong ke arah negative, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan
mengarahkan seorang anak untuk berprilaku negative.
Dikarenakan
setiap anak pasti memiliki dorongan yang bersifat intrinsik yang muncul dari
dalam dirinya sendiri yang mengakibatkan anak tersebut berprilaku aktif dan
memiliki kemauan bebas, dan keberhasilan sebuah proses pendidikan dalam
pandangan nativisme sangat dipengaruhi oleh karakter anak itu sendiri, maka
tugas seorang pendidik dalam merespon segala bentuk pengembangan karakter
seorang anak dalam hal positive maupun negative adalah dengan menciptakan sebuah
atmosfir belajar yang baik, dan seorang anak dibiarkan belajar secara natural
(alami). Namun, kenaturalan yang ada pada lingkungan pendidikan tersebut telah
dibentuk menjadi kenaturalan yang positive. Meskipun seorang anak telah
terlahir dengan karakter yang condong kearah negative, namun bagaimana
negativitas tersebut dapat berkembang, jika dia hidup dan berproses dalam
sebuah lingkungan yang positive?
Menurut aliran
nativis kunci keberhasilan dalam sebuah proses pendidikan tidak terletak pada
pendidikan ataupun lingkungan itu sendiri, namun terletak pada potensi bawaan
yang dimiliki oleh anak didik itu sendiri. Akan tetapi, mengapa dalam pandangan
nativis seorang anak juga harus dididik natural? Dikeranakan ketika seorang
anak telah memiliki bawaan yang condong kearah negativitas dan seorang pendidik
malah terus menekannya dengan kepositivan secara tidak alami, maka ketertekanan
mental yang dirasakan anak tersebut menurut Jean Jacques Rosseau malah akan
mendorong serang anak agar melakukan sikap-sikap negative yang lebih besar, dan
juga dikerenakan dorongan intrinsik yang dimiliki oleh setiap anak telah
berdampak pada keaktifan prilaku setiap anak tersebut dan munculnya kemauan
dari setiap anak untuk bebas.
4.
Teori Apersepsi
Keberhasilan
sebuah proses pendidikan menurut paham nativisme adalah ketika pendidik
berhasil menerapkan teori apersepsi, sehingga setiap peserta didik telah
terbiasa memiliki sikap apersepsi dalam setiap geraknya. Apa yang dimaksud
apersepsi tersebut? apersepsi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebuah
sikap mengamati dalam sebuah kesadaran.[3]
Jadi, ketika peserta didik telah memiliki sikap apersepsi, maka dalam setiap
gerak peserta didik akan selalu dilaluinya dengan mempelajari sesuatu, karena
peserta didik telah memiliki sebuah kesadaran yang terus mendorongnya agar
selalu mengamati dan mempelajari segala hal yang ditemuinya.
C. Kesimpulan
Tokoh dari
aliran ini adalah Arthur Schopenhaur (Jerman: 1788-1860),
beliau berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang sudah
jadi, sehingga faktor pendidikan dan lingkungan kurang berpengaruh terhadap
perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik dan yang jelek akan menjadi
jelek. Aliran ini berpendapat sekalipun diperlukan pendidikan, pendidikan
tersebut hanya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan potensi yang dibawa
sejak lahir. Hasil perkembangan anak tersebut ditentukan oleh pembawaan yang
sudah diperoleh sejak kelahiran. Oleh karena itu hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan
ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.[4]
Pembawaan tidak akan
berkembang dengan baik manakala tidak ada dukungan pendidikan dan atau
lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berlangsung
dengan baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya.
[1]
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 231.
[2]
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UIP, 1980), hal. 87.
[3]
Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, 2001), hal. 46.
[4]
Juhri,
Landasan dan Wawasan Pendidikan ( Lampung: Lemut UM Metro Press,
2009), hal. tt.
0 komentar:
Posting Komentar