TEORI-TEORI
SOSIOLOGI MAKRO DAN MIKRO
By: A. Bahrul Ulum
Salah
satu pendekatan dalam sosiologi adalah pembahasan mengenai teori-teori
sosiologi itu sendiri. Teori dapat digunakan sebagai alat analisis terhadap
fenomena-fenomena sosial. Jadi, teori bukanlah tujuan dari sebuah proses
analisa sosial.
Dalam
pembahasan ini kita hanya akan membahas mengenai 4 teori saja, yaitu 2 teori
sosiologi makro, dan 2 teori sosiologi mikro. Pada pembahasan teori sosiologi
makro akan dibahas mengenai teori interaksionisme simbolik, dan teori
pertukaran. Dan pada pembahasan sosiologi mikro, akan dibahas teori struktural
fungsional, dan struktural konflik. Jika yang ingin kita lakukan adalah
menganalisis pada tataran yang luas maka baiknya kita mendahulukan penggunaan
teori sosiologi makro, dan jika kita menganalisis pada tataran individu, maka
baiknya kita mendahulukan penggunaan teori sosiologi mikro. Berikut
penjelasannya:
A. Teori
Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional ini akan
menjelaskan mengenai bagaimana berfungsinya suatu struktur. Tidak dapat dipungkiri
lagi bahwasannya setiap struktur (seperti persahabatan, organisasi, dll) akan
tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi.
Asumsi dasar teori struktural fungsional
ini meurut Ralf Dahrendorf adalah:[1]
1. Setiap
masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif,
mantap, dan stabil. (menurut teori ini elemen=individu)
2. Elemen-elemen
yang terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik.
3.Setiap
elemen dalam struktur tersebut memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada
bertahannya struktur tersebut sebagai suatu sistem.
4.Setiap
struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai diantara para
anggotanya. (konsensus nilai, berasal baik dari kesepakatan yang telah ada
dalam suatu masyarakat, (seperti: adat istiadat, norma-norma abstrak, dll)
maupun ada dikarenakan adanya pembuatan kesepakatan baru)
B. Teori
Struktural Konflik
Teori struktural konflik ini menjelaskan
bagaimana latar belakang terjadinya konflik dalam setiap struktur. Teori
struktural konflik ini melihat bahwasannya dalam setiap struktur, pasti
memiliki elemen yang berbeda-beda. Dan dari setiap elemen tersebut pasti
memiliki motif, maksud, kepentingan, dan tujuan yang berbeda-beda. Dan
perbedaan inilah yang melatar belakangi terjadinya disintegrasi, konflik, dan
perpecahan.
Asumsi dasar teori struktural konflik
ini menurut Ralf Dahrendorf, adalah:[2]
1. Setiap
masyarakat, dalam setiap hal, akan tunduk pada proses perubahan, dan prubahan
social ada dimana-mana. (perubahan akan tetap selalu ada dimana-mana, karena
setiap elemen dari sebuah struktur pasti memiliki motif-motif yang berbeda, dan
setiap elemen tersebut pasti ingin memperjuangkan motifnya masing-masing)
2. Setiap
masyarakat, dalam setiap hal, memperlihatkan pertikaian dan konflik, konflik
social akan selalu ada dimanapun. (selama ada perbedaan, maka akan ada konflik)
3. Setiap
elemen dalam suatu masyarakat pasti menyumbangkan disintegrasi dan perubahan.
4. Adanya
sebuah struktur, ada yang didasarkan pada paksaan dari beberapa elemen atas
elemen yang lain. (kemampuan memaksa muncul dan bisa dilakukan jika memiliki
kebutuhan dasar, dan akan selalu lebih kuat power dari paksaan tersebut jika
kebutuhannya bersifat langka)
C. Teori
Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik ini
memahami suatu realitas sebagai suatu proses interaksi yang dipenuhi oleh
simbol-simbol. Setiap elemen secara aktif mengonstruksikan tindakannya dalam
proses interaksi dimana individu akan selalu berusaha menyesuaikan diri, dan
mencocokkan berbagai macam tindakannya dengan mengambil peran dengan komunikasi
simbol,[3]
Asumsi dasar teori interaksionisme
simbolik ini, menurut Turner adalah:
1. Manusia
adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol. (tindakan sosial
dipahami sebagai suatu tindakan individu yang memiliki makna subjektif bagi
dirinya dan dikaitkan dengan orang lain), (dalam proses sosialisasi terdapat
proses pemberian makna sehingga menghasilkan simbol-simbol).
2. Manusia
menggunakan symbol untuk saling berkomunikasi.
3. Manusia
berkomunikasi melalui pengambilan peran/role taking. (proses pengambilan
peran yang dapat dilakukan dengan mudah adalah dengan cara menempatkan dirinya
dalam kerangka berfikir orang lain yang bertujuan agar mudah mendapatkan
respon).
4. Masyarakat
terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berfikir,
mendefinisikan, melakukan refleksi diri, dan melakukan evaluasi.
D. Teori
Pertukaran
Teori pertukaran ini melihat dunia
sebagai arena pertukaran,[4]
seperti pemberian hadiah, jual beli, berorganisasi, dll. asumsi dasar teori
pertukaran menurut George Caspar Homans, Peter M. Blau, Richard Emerson, dan
Harold H. Kelly, adalah:
1. Manusia
adalah makhluk rasional, dalam berinteraksi normalnya manusia selalu
memperhatikan untung rugi.
2. Perilak
pertukaran social terjadi apabila:
a. Perilaku
tersebut berorientasi pada tujuan yang hanya dapat tercapai dengan interaksi
dengan orang lain.
b. Perilaku
tersebut bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian-pencapaian tujuan
yang diinginkan.
3. Transaksi-transaksi
pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat dalam pertukaran tersebut
memperoleh keuntungan dari pertukaran itu.
0 komentar:
Posting Komentar