NB : Mohon maaf, bahasa ilmiah yang kurang dapat dipahami oleh pembaca, pembaca dapat melihat definisinya di bagian akhir opini ini.
ISLAM???
“Islam
mungkin agama yang lebih sempurna secara konseptual. Namun, secara realisisai?
Mungkin karena prilaku para penganutnyalah yang menjadikan Islam agama yang
kurang sempurna.”
By: Ahmad Bahrul Ulum
By: Ahmad Bahrul Ulum
Kita ada. Apakah kita benar-benar
ada? Apa objek kajian yang menjadi tolak ukur keberadaan kita, sehingga kita
dikatakan ada. Benarkah kita memang benar-benar ada? Kita melihat, kita
mendengar, kita bergerak, kita merasakan, apakah hanya dengan petunjuk-petunjuk
tersebut yang kita jadikan alat sebagai tolak ukur keberadaan kita? Apakah
petunjuk tersebut tidak terbatas? Jika terbatas, apa yang menjadi
keterbatasannya?
Ada beberapa hal yang kurang dapat
dijangkau oleh indera manusia, sehingga indra dapat dikatakan sebagai petunjuk
yang kurang tepat sasaran secara objektif dan totalitif jika kita hanya
berpegang teguh pada petunjuk indera kita pribadi. Beberapa kekurangan indera
adalah, Indera terbatas, benda yang jauh dari kita, terlihat kecil oleh
kita. Indera menipu, pada orang yang sakit malaria, dirasakannya gula
dengan rasa pahit. Objek menipu, terlihat pada fenomena alam, seperti
fatamorgana, ilusi, dll. Objek dan Indra menipu tertipu, jika kita
melihat kerbau dari satu sudut pandang, tidak akan memberikan gambaran kepada
kita mengenai bentuk kerbau tersebut, dan kerbaunyapun tidak dapat memberikan
gambaran dirinya sendiri sepenuhnya terhadap kita (Tafsir, 2012: 24). Dengan
kelemahan-kelemahan indera tersebut, akankah kita masih mempertahankan pola
fikir kita yang terlalu mengandalkan indera kita dalam mencari sebuah keberadaan
kebenaran yang sebenar-benarnya?
Manusia memiliki beberapa komponen
yang ada didalam dirinya. Dalam diri manusia, terdapat nafsu, akal, hati, dan
ruh yang terkurung dalam tubuh manusia yang sifatnya materi, yaitu dalam jasad
dan ruh manusia (Achmad, tt: 64). Kemudian, komponen apa yang paling berperan
dalam mendampingi manusia dalam menjalani proses kehidupannya?
Alam memberikan petunjuk kepada
kita, bahwa kehidupan ini tidak akan terlepas dari sebuah struktur. Dalam
masyarakat, tingkatan-tingkatan pastilah ada, karena apa? Setiap komponen
masyarakat memiliki fungsi, sehingga struktural akan selalu ada selama struktur
tersebut berfungsi, inilah yang disebut teori struktural fungsional Ralf
Dahrendrof yang dikaji dalam kajian sosisologi pendidikan (Damsar, 2011: 49),
dan sesuatu dikatakan berfungsi jika ia bergerak atau menjadi objek yang
menggerakkan, dan gerak itu ada, jika ada motif atau dorongan, setiap gerak
menimbulkan konsekwensi gerak-gerak yang lainnya, yang menuju kearah positif
maupun negative. Kemudian muncullah pertanyaan, siapa penggerak utama? Objek
apa yang akan menjadi akhir dari konsekwensi gerak? Kapan itu terjadi? Sampai
di mana upuaya kita dalam berpartisipasi dalam gerak tersebut?
Kita memiliki beberapa petunjuk yang
dibekalkan oleh Allah SWT kepada kita, sebagai pedoman terhadap landasan dari
setiap apa yang kita kerjakan. Ada petunjuk indra (Hidayah al-Hawas),
petunjuk akal (Hidayah al-‘Aql), petunjuk intuisi (Hidayah al-Wujdan),
dan petunjuk Agama (Hidayah ad-Din). Terlayang sejenak dalam fikiran
kita, petunjuk mana yang memiliki kualitas terbaik? Ada empat tingkatan
kebenaran yang dapat kita ketahui (Syukur, 2010: 1):
1.
Kebenaran agama (Religious
Turth), adalah kebenaran tertinggi, karena kebenaran ini menjadi wilayah
kemahakuasaan Tuhan, diinformasikan melewati para utusan-Nya. Walaupun dengan
akal kita, kita dapat menerjemahkan wahyu Allah SWT maupun menafsirkannya,
namun hasil penafsiran kita masihlah bersifat relative.
2.
Kebenaran filsafat (Philosopichal
Truth), adalah kebenaran yang diperoleh dari pemikiran atas apa yang ada
dan mungkin ada secara mendasar, objektif, universal, bebas dan terkonsep
secara terstruktur antar statement. Pada tingkatan inilah pencapaian
tertinggi manusia dalam mencapai kebenaran yang dapat kita jangkau.
3.
Kebenaran ilmu (Intelligible
Truth), kebenaran yang dapat dicapai melalui ilmu pengetahuan, yang
memiliki objek empiris (dapat ditangkap oleh indera manusia), berparadigma
Sains, yang menggunakan metode penelitian ilmiah dengan kriteria rasional-empiris
(Tafsir, 2012: 11).
4.
Kebenaran inderawi (Sensible
Truth), adalah kebenaran yang memiliki kualitas terendah, jika dipakai
secara mandiri.
Kita tahu. Apakah dengan kita
mengetahui maka kita dikatakan ada? Setelah kita tahu, maka langkah apa yang
selanjutnya akan kita ambil? Petunjuk apakah yang akan kita pakai? Dan
kebenaran yang mana yang akan kita perioritaskan?
Kebenaran agama adalah kebenaran
tertinggi, apa itu agama? Ada agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu,
dll. Apakah semua agama tersebut sama? Apa yang diajarkan dalam agama? Apa tujuan
diturunkanya agama?
Kita terlampau sering secara sadar
maupun tidak sadar mempelajari tentang agama. Apa itu agama? Menurut karl mark,
agama adalah candu masyarakat (Santoso, 2012: 306), apakah benar? Bagaimana
dengan Islam? Apa itu Islam? Dalam kajian sebelumnya kita telah mempelajarai
beberapa hal tentang Islam. Kita telah mempelajari tentang nilai dasar
pergerakan islam, yang berorientasi kepada tiga hubungan komunikasi, yaitu
hubungan dengan Allah SWT, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan
alam. Tetapi, apakah baiknya sebelum kita berhubungan dengan tiga objek
tersebut, kita lebih dahulu berhubungan dengan diri kita sendiri? Yaitu dalam
hal mensinergikan antara keyakinan kita, pemikiran kita, tingkah laku kita,
beserta tujuan hidup kita? Atau, apakah dengan melakukan hubungan dengan tiga
objek tersebutlah yang akan menjadikan kita memiliki sinergitas kerja terhadap
komponen-komponen dalam struktur tubuh kita?
Kita mempelajari manhaj al-fikr,
atau metode berfikir, yang mengajarkan kepada kita tentang tata cara penggalian
kebijakan secara maslahah, yang didalamnya terdapat kaidah Tasmmuh (toleran),
Tawazzun (keseimbangan), Tawassuth (moderat), dan Ta’addul
(keadilan). Tapi, apakah benar-benar metode tersebut kita jadikan sebagai
instrument dalam pengeluaran kebijakan-kebijakan?
Dalam Islam telah diajarkan bahwa
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia adalah sebagai
penyempurna akhlak yang mulia (H.R Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari) (Tualeka,
2011: 9). Dalam Alkitab juga tertulis, pada surat Amsal 21: 17 bahwa orang yang
suka bersenang-senang akan berkekurangan, orang yang gemar kepada minyak dan
anggur tidak akan menjadi kaya. Kemudian dalam agama Budha, juga tertulis dalam
maha sutta dikatakan, “Ararti Virarti papa, majjapanaccasannamo, appamado ca
dhammesu, etammnggalamuttaman”. Yang bermakna, menjahui, tidak melakukan
kejahatan, menghindari minuman keras, tekun melaksanakan dharma, itulah berkah
utama. (paritta suci, 30). Dalam berbagai pernak pernik keindahan ragam
keyakinan, kita lihat sebuah persamaan dalam satu perjuangan, yaitu etika.
Mengapa etika?mengapa bukan ritual ibadah? Apa tujuan sang penggerak utama
menurunkan ragam pengetahuan agama di dunia?
Dalam agama, ada beberapa komponen
yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu hukum Syariah yang berisi
tentang aqidah dan ibadah yang bersifat tauqify (ketetapan), dan hukum mu’amalah
yang berisi tentang aturan berhubungan dengan sesama manusia dan mengelola alam
(Syukur, 2010: 3). Dalam konteks hukum syariah, mungkin setiap agama memiliki
tata cara yang berbeda, Ada beragam cara dalam menuju IAIN Sunan Ampel
Surabaya, jika kita berangkat dari kota geresik, maka kita melewati jalur
Timur, Jika kita dari Kediri, maka kita akan melewati jalur barat, jika kita
dari malang maka kita akan melewati jalur selatan, dan masih banyak jalur-jalur
yang lain yang kemudian jika kita ingin mengetahui jalan yang tercepat dan
tertepat, maka kita harus tahu dahulu, kita klarifikasi dan analisis dahulu,
dalam hal apa? Dalam hal siapa kita (identifikasi diri), dimana kita (lokasi),
dan apa tujuan kita (orientasi), agar kita mudah menemukan jalan-jalan pintas
yang pantas.
Namun berbeda jika kita menganalisis
bagian mu’amalahnya, secara subtansial dan esensial mungkin mayoritas (kebanyakan)
agama-agama di dunia memiliki tujuan membentuk tatanan sosial yang lebih baik
dalam suatu populasi penduduk dengan menggunakan etika, memperjuangkan
kestrataan social, dan mengelola alam dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal ini
mungkin tidak dapat dipungkiri, karena realitasnya telah ada pendapat beberapa
tokoh yang menyatakan bahwa ketentraman dunia akan ada jika ada suatu
keseimbangan dan keadilan, dan antara zaman skolastik dan modern, mungkin dunia
ini lebih teratur dan stabil maupun terpimpin secara damai lebih baik pada
zaman skolastiknya dari pada moderennya, tapi apa daya? Apakah kita dapat
mengembalikan sesuatu yang telah berlalu? Seperti itulah sedikit gambaran pemikiran
kaum sosialis konservativ religious pada masa renaissance seperti Luis de
Bonald (1754-1840 M), de Maistre, henri Saint-Simon (1760-1825), dan mungkin
masih banyak tokoh-tokoh yang lain (Ritzer, 2011: 14-15). Agama diajarkan
melalui dogma-dogma, namun mengapa kita tidak dapat menjadi orang yang toleran
terhadap sesama manusia yang berbeda agama? Bukankah kita adalah sesama manusia
yang terdoktrin? Dan bukankah semua dogma mengajajarkan hal yang hampir sama?
Terhadap konsep kekafiran dan keimanan, surga dan neraka, dll.
Kita bersama-sama telah banyak
berfikir tentang agama, apakah hikmah yang dapat kita ambil? Apakah dari petunjuk
berupa hikmah-hikmah tersebut dapat merubah sedikit dari beberapa perilaku
kita, pola fikir kita, fanatisme keyakinan kita, dalam kehidupan kita
sehari-hari. Kesimpulannya, agama mungkin bukanlah sebuah aturan yang rumit dan
mengekang, sehingga setiap penganutnya menjadi susah untuk merealisasikannya,
kita punya otoritas hak individu secara mandiri terhadap hal apapun yang kita
lakukan, karena kembalinya konsekwensi dari apa yang kita kaerjakan mungkin
akan selalu diawali dari diri kita.
Bermain sepak bola itu dapat menjadi
pekerjaan agama, membuang sampah pada tempatnya itu bisa menjadi pekerjaan
agama, dan senyumpun dapat menjadi pekerjaan agama, jika kita tahu akan
identifikasi diri, identifikasi tempat, dan identifikasi orientasi. Galilah
pengetahuan dari setiap amal yang engkau kerjakan, yaitu dengan menggunakan
metode mode apresepsi Schopenhauer (1788-1860), yaitu dengan cara tanamkan kesadaran
bahwa engkau membutuhkan pengetahuan dan selau ingin tahu terhadap setiap hal
yang engkau kerjakan (Abudin nata, 2012: 231). mulailah dari sekarang,
realisasikan, realisasikan, dan realisasikan dari apa yang engkau ketahui
walaupun sedikit maupun berat, karena dari yang sedikit itulah timbul yang
banyak, dan dari yang berat itulah timbul yang ringan.
Adanya perintah mengerjakan amal ibadah
syar’i secara tauqify itu adalah lahan latihan belajar untuk diri kita,
agar kita selalu belajar untuk membudak dan mencampakkan diri, mengapa
demikian? Karena dengan adanaya perintah mengerjakan ibadah syar’i, maka ada
suatu kepastian terhadap wadah kita
mengabdi dan berkomunikasi dengan suatu objek yang mungkin belum kita kenal,
dan keberadaannya diluar otoritas dimensi yang kita ketahui saat ini. Maka
konsekwensi logisnya adalah siapa saja yang istiqamah beribadah, maka dia akan
menjadi sosok manusia yang selalu menjadi peribadi yang teguh pendirian serta
giat bekerja dan memegang teguh idealismenya dengan tidak mudah terpicu
emosinya.
Jadi timbullah pertanyaan-pertanyaan
terakhir sebagai penutup yaitu, Apa yang baiknya kita perjuangkan untuk kita
ketahui? (jawabnya: Metafisika), apa yang sebaiknya kita realisasikan?
(jawabnya: Etika), Sampai di mana harapan kita? (jawabnya: Agama), dan siapa
kita? (jawabnya: …). Terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
NB:
saya harap, bacalah kembali materi ini mulai paragraph utama, dan pada proses mebaca yang ke-2 apakah pembaca telah berubah jawabannya dari jawaban-jawaban yang pertama engkau utarakan
tadi? atau mungkin pembaca sudah dapat menjawab beberapa poin yang tadi belum
terjawab. Dan berusaha jawablah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat engkau
jawab dengan carilah pengetahuan terhadapanya.
Makna
Kosakata Ilmiah
Konseptual : Menurut ide pokok/dasar.
Realisasi : Pengwujudnyataan; pelaksanaan
sesuatu hingga menjadi kenyataan.
Objek : Sasaran; tujuan; hal; yang
menjadi pokok masalah.
Totalitif : Keseluruhan.
Materi : Benda; bahan studi, isi yang
membentuk benda-benda fisik.
Relative : Tidak pasti; tidak mutlak; tidak
tetap.
Paradigma : Pedoman; dipakai untuk menunjukkan
gugusan system pemikiran.
Rasional : Masuk akal; sesuai dengan nalar;
menurut pikiran sehat.
Empiris : Berdasarkan pengalaman dan
penghayatan.
Perioritaskan : Dahulukan.
Orientasi : Peninjauan.
Instrument : Alat.
Subtansi : Isi pokok; hakikat.
Esensi : Inti sari; ciri umum yang
melekat pada objek.
Strata : Tingkatan; lapisan; jenjang.
Konservatif : Tertutup dari pengaruh; pembaharuan.
Renaisans : kebangkitan kembali.
Dogma : pokok ajaran agama
yang harus diterima, dan diyakini kebenarannya.
Abudin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Timur dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012)
Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012)
Damsar,
Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakaerta: Kencana, 2011)
George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul: Kreasi Wacana,
2011)
Hamzah
Tualeka, dkk, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN SA Press, 2011)
Listiono
Santoso, dkk, Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)
M.
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam (Semarang: Pustaka Nun, 2010)
Mudlor
Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: Al Ikhlas, tt)
0 komentar:
Posting Komentar