Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 12 Februari 2014

Apa Islam itu?

NB : Mohon maaf, bahasa ilmiah yang kurang dapat dipahami oleh pembaca, pembaca dapat melihat definisinya di bagian akhir opini ini.




ISLAM???
Islam mungkin agama yang lebih sempurna secara konseptual. Namun, secara realisisai? Mungkin karena prilaku para penganutnyalah yang menjadikan Islam agama yang kurang sempurna.”
By: Ahmad Bahrul Ulum
           
            Kita ada. Apakah kita benar-benar ada? Apa objek kajian yang menjadi tolak ukur keberadaan kita, sehingga kita dikatakan ada. Benarkah kita memang benar-benar ada? Kita melihat, kita mendengar, kita bergerak, kita merasakan, apakah hanya dengan petunjuk-petunjuk tersebut yang kita jadikan alat sebagai tolak ukur keberadaan kita? Apakah petunjuk tersebut tidak terbatas? Jika terbatas, apa yang menjadi keterbatasannya?
            Ada beberapa hal yang kurang dapat dijangkau oleh indera manusia, sehingga indra dapat dikatakan sebagai petunjuk yang kurang tepat sasaran secara objektif dan totalitif jika kita hanya berpegang teguh pada petunjuk indera kita pribadi. Beberapa kekurangan indera adalah, Indera terbatas, benda yang jauh dari kita, terlihat kecil oleh kita. Indera menipu, pada orang yang sakit malaria, dirasakannya gula dengan rasa pahit. Objek menipu, terlihat pada fenomena alam, seperti fatamorgana, ilusi, dll. Objek dan Indra menipu tertipu, jika kita melihat kerbau dari satu sudut pandang, tidak akan memberikan gambaran kepada kita mengenai bentuk kerbau tersebut, dan kerbaunyapun tidak dapat memberikan gambaran dirinya sendiri sepenuhnya terhadap kita (Tafsir, 2012: 24). Dengan kelemahan-kelemahan indera tersebut, akankah kita masih mempertahankan pola fikir kita yang terlalu mengandalkan indera kita dalam mencari sebuah keberadaan kebenaran yang sebenar-benarnya?
            Manusia memiliki beberapa komponen yang ada didalam dirinya. Dalam diri manusia, terdapat nafsu, akal, hati, dan ruh yang terkurung dalam tubuh manusia yang sifatnya materi, yaitu dalam jasad dan ruh manusia (Achmad, tt: 64). Kemudian, komponen apa yang paling berperan dalam mendampingi manusia dalam menjalani proses kehidupannya?
            Alam memberikan petunjuk kepada kita, bahwa kehidupan ini tidak akan terlepas dari sebuah struktur. Dalam masyarakat, tingkatan-tingkatan pastilah ada, karena apa? Setiap komponen masyarakat memiliki fungsi, sehingga struktural akan selalu ada selama struktur tersebut berfungsi, inilah yang disebut teori struktural fungsional Ralf Dahrendrof yang dikaji dalam kajian sosisologi pendidikan (Damsar, 2011: 49), dan sesuatu dikatakan berfungsi jika ia bergerak atau menjadi objek yang menggerakkan, dan gerak itu ada, jika ada motif atau dorongan, setiap gerak menimbulkan konsekwensi gerak-gerak yang lainnya, yang menuju kearah positif maupun negative. Kemudian muncullah pertanyaan, siapa penggerak utama? Objek apa yang akan menjadi akhir dari konsekwensi gerak? Kapan itu terjadi? Sampai di mana upuaya kita dalam berpartisipasi dalam gerak tersebut?
            Kita memiliki beberapa petunjuk yang dibekalkan oleh Allah SWT kepada kita, sebagai pedoman terhadap landasan dari setiap apa yang kita kerjakan. Ada petunjuk indra (Hidayah al-Hawas), petunjuk akal (Hidayah al-‘Aql), petunjuk intuisi (Hidayah al-Wujdan), dan petunjuk Agama (Hidayah ad-Din). Terlayang sejenak dalam fikiran kita, petunjuk mana yang memiliki kualitas terbaik? Ada empat tingkatan kebenaran yang dapat kita ketahui (Syukur, 2010: 1):
1.    Kebenaran agama (Religious Turth), adalah kebenaran tertinggi, karena kebenaran ini menjadi wilayah kemahakuasaan Tuhan, diinformasikan melewati para utusan-Nya. Walaupun dengan akal kita, kita dapat menerjemahkan wahyu Allah SWT maupun menafsirkannya, namun hasil penafsiran kita masihlah bersifat relative.
2.    Kebenaran filsafat (Philosopichal Truth), adalah kebenaran yang diperoleh dari pemikiran atas apa yang ada dan mungkin ada secara mendasar, objektif, universal, bebas dan terkonsep secara terstruktur antar statement. Pada tingkatan inilah pencapaian tertinggi manusia dalam mencapai kebenaran yang dapat kita jangkau.
3.    Kebenaran ilmu (Intelligible Truth), kebenaran yang dapat dicapai melalui ilmu pengetahuan, yang memiliki objek empiris (dapat ditangkap oleh indera manusia), berparadigma Sains, yang menggunakan metode penelitian ilmiah dengan kriteria rasional-empiris (Tafsir, 2012: 11).
4.    Kebenaran inderawi (Sensible Truth), adalah kebenaran yang memiliki kualitas terendah, jika dipakai secara mandiri.
            Kita tahu. Apakah dengan kita mengetahui maka kita dikatakan ada? Setelah kita tahu, maka langkah apa yang selanjutnya akan kita ambil? Petunjuk apakah yang akan kita pakai? Dan kebenaran yang mana yang akan kita perioritaskan?
            Kebenaran agama adalah kebenaran tertinggi, apa itu agama? Ada agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dll. Apakah semua agama tersebut sama? Apa yang diajarkan dalam agama? Apa tujuan diturunkanya agama?
            Kita terlampau sering secara sadar maupun tidak sadar mempelajari tentang agama. Apa itu agama? Menurut karl mark, agama adalah candu masyarakat (Santoso, 2012: 306), apakah benar? Bagaimana dengan Islam? Apa itu Islam? Dalam kajian sebelumnya kita telah mempelajarai beberapa hal tentang Islam. Kita telah mempelajari tentang nilai dasar pergerakan islam, yang berorientasi kepada tiga hubungan komunikasi, yaitu hubungan dengan Allah SWT, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Tetapi, apakah baiknya sebelum kita berhubungan dengan tiga objek tersebut, kita lebih dahulu berhubungan dengan diri kita sendiri? Yaitu dalam hal mensinergikan antara keyakinan kita, pemikiran kita, tingkah laku kita, beserta tujuan hidup kita? Atau, apakah dengan melakukan hubungan dengan tiga objek tersebutlah yang akan menjadikan kita memiliki sinergitas kerja terhadap komponen-komponen dalam struktur tubuh kita?
            Kita mempelajari manhaj al-fikr, atau metode berfikir, yang mengajarkan kepada kita tentang tata cara penggalian kebijakan secara maslahah, yang didalamnya terdapat kaidah Tasmmuh (toleran), Tawazzun (keseimbangan), Tawassuth (moderat), dan Ta’addul (keadilan). Tapi, apakah benar-benar metode tersebut kita jadikan sebagai instrument dalam pengeluaran kebijakan-kebijakan?
            Dalam Islam telah diajarkan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia adalah sebagai penyempurna akhlak yang mulia (H.R Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari) (Tualeka, 2011: 9). Dalam Alkitab juga tertulis, pada surat Amsal 21: 17 bahwa orang yang suka bersenang-senang akan berkekurangan, orang yang gemar kepada minyak dan anggur tidak akan menjadi kaya. Kemudian dalam agama Budha, juga tertulis dalam maha sutta dikatakan, “Ararti Virarti papa, majjapanaccasannamo, appamado ca dhammesu, etammnggalamuttaman”. Yang bermakna, menjahui, tidak melakukan kejahatan, menghindari minuman keras, tekun melaksanakan dharma, itulah berkah utama. (paritta suci, 30). Dalam berbagai pernak pernik keindahan ragam keyakinan, kita lihat sebuah persamaan dalam satu perjuangan, yaitu etika. Mengapa etika?mengapa bukan ritual ibadah? Apa tujuan sang penggerak utama menurunkan ragam pengetahuan agama di dunia?
            Dalam agama, ada beberapa komponen yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu hukum Syariah yang berisi tentang aqidah dan ibadah yang bersifat tauqify (ketetapan), dan hukum mu’amalah yang berisi tentang aturan berhubungan dengan sesama manusia dan mengelola alam (Syukur, 2010: 3). Dalam konteks hukum syariah, mungkin setiap agama memiliki tata cara yang berbeda, Ada beragam cara dalam menuju IAIN Sunan Ampel Surabaya, jika kita berangkat dari kota geresik, maka kita melewati jalur Timur, Jika kita dari Kediri, maka kita akan melewati jalur barat, jika kita dari malang maka kita akan melewati jalur selatan, dan masih banyak jalur-jalur yang lain yang kemudian jika kita ingin mengetahui jalan yang tercepat dan tertepat, maka kita harus tahu dahulu, kita klarifikasi dan analisis dahulu, dalam hal apa? Dalam hal siapa kita (identifikasi diri), dimana kita (lokasi), dan apa tujuan kita (orientasi), agar kita mudah menemukan jalan-jalan pintas yang pantas.
            Namun berbeda jika kita menganalisis bagian mu’amalahnya, secara subtansial dan esensial mungkin mayoritas (kebanyakan) agama-agama di dunia memiliki tujuan membentuk tatanan sosial yang lebih baik dalam suatu populasi penduduk dengan menggunakan etika, memperjuangkan kestrataan social, dan mengelola alam dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal ini mungkin tidak dapat dipungkiri, karena realitasnya telah ada pendapat beberapa tokoh yang menyatakan bahwa ketentraman dunia akan ada jika ada suatu keseimbangan dan keadilan, dan antara zaman skolastik dan modern, mungkin dunia ini lebih teratur dan stabil maupun terpimpin secara damai lebih baik pada zaman skolastiknya dari pada moderennya, tapi apa daya? Apakah kita dapat mengembalikan sesuatu yang telah berlalu? Seperti itulah sedikit gambaran pemikiran kaum sosialis konservativ religious pada masa renaissance seperti Luis de Bonald (1754-1840 M), de Maistre, henri Saint-Simon (1760-1825), dan mungkin masih banyak tokoh-tokoh yang lain (Ritzer, 2011: 14-15). Agama diajarkan melalui dogma-dogma, namun mengapa kita tidak dapat menjadi orang yang toleran terhadap sesama manusia yang berbeda agama? Bukankah kita adalah sesama manusia yang terdoktrin? Dan bukankah semua dogma mengajajarkan hal yang hampir sama? Terhadap konsep kekafiran dan keimanan, surga dan neraka, dll.
            Kita bersama-sama telah banyak berfikir tentang agama, apakah hikmah yang dapat kita ambil? Apakah dari petunjuk berupa hikmah-hikmah tersebut dapat merubah sedikit dari beberapa perilaku kita, pola fikir kita, fanatisme keyakinan kita, dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesimpulannya, agama mungkin bukanlah sebuah aturan yang rumit dan mengekang, sehingga setiap penganutnya menjadi susah untuk merealisasikannya, kita punya otoritas hak individu secara mandiri terhadap hal apapun yang kita lakukan, karena kembalinya konsekwensi dari apa yang kita kaerjakan mungkin akan selalu diawali dari diri kita.
            Bermain sepak bola itu dapat menjadi pekerjaan agama, membuang sampah pada tempatnya itu bisa menjadi pekerjaan agama, dan senyumpun dapat menjadi pekerjaan agama, jika kita tahu akan identifikasi diri, identifikasi tempat, dan identifikasi orientasi. Galilah pengetahuan dari setiap amal yang engkau kerjakan, yaitu dengan menggunakan metode mode apresepsi Schopenhauer (1788-1860), yaitu dengan cara tanamkan kesadaran bahwa engkau membutuhkan pengetahuan dan selau ingin tahu terhadap setiap hal yang engkau kerjakan (Abudin nata, 2012: 231). mulailah dari sekarang, realisasikan, realisasikan, dan realisasikan dari apa yang engkau ketahui walaupun sedikit maupun berat, karena dari yang sedikit itulah timbul yang banyak, dan dari yang berat itulah timbul yang ringan.
            Adanya perintah mengerjakan amal ibadah syar’i secara tauqify itu adalah lahan latihan belajar untuk diri kita, agar kita selalu belajar untuk membudak dan mencampakkan diri, mengapa demikian? Karena dengan adanaya perintah mengerjakan ibadah syar’i, maka ada suatu kepastian terhadap  wadah kita mengabdi dan berkomunikasi dengan suatu objek yang mungkin belum kita kenal, dan keberadaannya diluar otoritas dimensi yang kita ketahui saat ini. Maka konsekwensi logisnya adalah siapa saja yang istiqamah beribadah, maka dia akan menjadi sosok manusia yang selalu menjadi peribadi yang teguh pendirian serta giat bekerja dan memegang teguh idealismenya dengan tidak mudah terpicu emosinya.
            Jadi timbullah pertanyaan-pertanyaan terakhir sebagai penutup yaitu, Apa yang baiknya kita perjuangkan untuk kita ketahui? (jawabnya: Metafisika), apa yang sebaiknya kita realisasikan? (jawabnya: Etika), Sampai di mana harapan kita? (jawabnya: Agama), dan siapa kita? (jawabnya: …). Terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


NB: saya harap, bacalah kembali materi ini mulai paragraph utama, dan pada proses mebaca yang ke-2 apakah pembaca telah berubah jawabannya dari jawaban-jawaban yang pertama engkau utarakan tadi? atau mungkin pembaca sudah dapat menjawab beberapa poin yang tadi belum terjawab. Dan berusaha jawablah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat engkau jawab dengan carilah pengetahuan terhadapanya.

Makna Kosakata Ilmiah
Konseptual      : Menurut ide pokok/dasar.
Realisasi          : Pengwujudnyataan; pelaksanaan sesuatu hingga menjadi kenyataan.
Objek              : Sasaran; tujuan; hal; yang menjadi pokok masalah.
Totalitif           : Keseluruhan.
Materi              : Benda; bahan studi, isi yang membentuk benda-benda fisik.
Relative           : Tidak pasti; tidak mutlak; tidak tetap.
Paradigma       : Pedoman; dipakai untuk menunjukkan gugusan system pemikiran.
Rasional          : Masuk akal; sesuai dengan nalar; menurut pikiran sehat.
Empiris            : Berdasarkan pengalaman dan penghayatan.
Perioritaskan   : Dahulukan.
Orientasi          : Peninjauan.
Instrument       : Alat.
Subtansi          : Isi pokok; hakikat.
Esensi              : Inti sari; ciri umum yang melekat pada objek.
Strata               : Tingkatan; lapisan; jenjang.
Konservatif     : Tertutup dari pengaruh; pembaharuan.
Renaisans        : kebangkitan kembali.
Dogma                        : pokok ajaran agama yang harus diterima, dan diyakini kebenarannya.

Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Timur dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012)
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakaerta: Kencana, 2011)
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul: Kreasi Wacana, 2011)
Hamzah Tualeka, dkk, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN SA Press, 2011)
Listiono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)
M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam (Semarang: Pustaka Nun, 2010)
Mudlor Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: Al Ikhlas, tt)

0 komentar:

Posting Komentar