Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 28 Februari 2014

Sosiologi Auguste Comte

PELETAK FONDASI SOSIOLOGI
By: A. Bahrul Ulum

Penelusuran sejarah asal-usul atau perkembangan suatu bidang kajian ilmu atau cabangnya, biasanya akan terjebak pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang pertama kali membahas hal ini, dan pada akhirnya cenderung menonjolkan pelaku tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan proses yang cukup membahayakan.[1] Oleh sebab itu, untuk menghindari pengkultusan terhadap seorang tokoh saja, dan tokoh-tokoh yang lain tersembunyikan, maka akan lebih baiknya jika kita membahas banyak tokoh yang berjasa dalam membangun sebuah fondasi dalam ilmu sosiologi. Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam membangun fondasi ilmu sosiologi:
A.  Auguste Comte (1798-1857 M)
Auguste Comte lahir di Montpelier, Prancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Beliau terlahir dari keluarga kelas menengah, ayahnya bekerja sebagai petugas resmi pengumpul pajak lokal. Auguste Comte adalah seorang mahasiswa yang cerdas, walaupun dia tidak pernah mendapatkan ijazah sarjana, karena ia dan seluruh mahasiswa seangkatannya dari Ecole Polytechnique (Nama Perguruan Tinggi) dikeluarkan, karena gagasan politik dan pembangkangan mereka.
Auguste Comte dikatakan cerdas karena dia memiliki ingatan yang sangat kuat, sehingga dia dapat menggambarkan seluruh buku yang telah ia baca (walaupun cuman satu kali) tanpa melihat catatan sedikitpun. Auguste Comte juga memiliki kekuatan konsentrasi yang sangat baik, dia bekerja sebagai asisten pengajar pada tahun 1832 di Ecole Polytechnique dan ia mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai penguji ujian masuk pada perguruan tinggi tersebut pada tahun 1837.
Auguste Comte memiliki dua karya besar yang melambungkan namanya, berikut penjelasan mengenai karya Comte:
1.    Dua jilid buku yang berjudul Cours de Philosophie Positive, jilid pertama terbit pada tahun 1830, dan jilid kedua terbit pada tahun 1842, pada buku tersebut dijelaskan oleh Comte bahwa sosiologi merupakan ilmu tertinggi.
2.    Empat jilid buku yang berjudul Systeme de Politique Positive, karya tersebut berisi  penawaran Comte mengenai rencana reorganisasi masyarakat, dan karya tersebut beliau selesaikan pada tahun 1851.
Auguste Comte mempercayai bahwasannya pada akhirnya nanti, dunia akan dipimpin oleh sosiolog-pendeta, dia berpendapat seperti itu karena dia juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang kekatolikannya, yang pada akhirnya, Comte juga memiliki banyak penganut dari ajarannya di negara yang menjadi tempat kelahirannya yaitu Prancis, maupun Negara-negara lainnya. Auguste Comte meninggal pada tanggal 5 September 1857.
Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Ia berpendapat bahwasannya evolusi alamiah masyarakatlah yang akan menimbulkan perbaikan pada semua lini masyarakat, bukan dengan melakukan perubahan-perubahan revolusioner dengan menggunakan strategi reformasi sosial saja, karena menurut Comte reformasi social hanya berfungsi sebagai penunjang terhadap terjadinya perubahan sosial, inti kekuatan penggerak dari perubahan masyarakat tersebut adalah ada pada evolusi sosial.
Selanjutnya, untuk menunjang gagasan tersebut, Comte mencetuskan sebuah teori yang dinamai dengan teori evolusi social-Comte atau Hukum Tiga Tahap. Menurutnya, sepanjang sejarah hidup manusia, manusia hidup dengan melalui tiga tingkat perjalanan intelektualnya,[2] yaitu:
1.    Tahap Teologis, merupakan sebuah ciri dunia pada masa sebelum tahun 1300 M. Menurut Comte, ciri-ciri dari tahap ini adalah masyarak hidup dengan menitikberatkan idenya pada kepercayaan-kepercayaan bahwasannya kekuatan supranatural dan figur-figur religious (Tuhan) yang berwujud manusia, menjadi akar dari segalanya. Secara khusus, beliau mengatakan bahwasanya dunia social, dan dunia fisik merupakan dua hal yang diciptakan oleh Tuhan.
2.    Tahap Metafisis, yang kira-kira berlangsung antara tahun 1300 M -1800 M. Ciri-ciri dari tahap ini adalah, bahwasannya manusia hidup dengan menitikberatkan idenya pada kepercayaan-kepercayaan terhadap alam, bukan Tuhan. Tuhan tidak diyakni dapat menjelaskan segalanya, namun alamlah yang dapat menjelaskan segalanya oleh mayoritas manusia.
3.    Tahap Positivistik, yang baru dikenal oleh dunia pada tahun 1800 M – sampai saat ini. Ciri-ciri dari tahap ini adalah, bahwasannya manusia sudah tidak mencari sebab utama dari adanya alam semesta ini, tidak juga mencari siapa yang telah menciptakannya. Namun, manusia lebih memilih untuk meneliti dari alam itu sendiri, dan mengembangkan penemuan-penemuan dari penelitiannya, dengan tujuan untuk mempermudah proses perjalan kehidupan manusia.
Jadi, menurut Comte, jika masyarakat ingin merubah kondisi kehidupan mereka, maka masyarakat harus berjuang untuk melepaskan diri dari tahap intelektual Teologis dan Metafisis, menuju tahap intelektual baru, yaitu Positivistis. Karena menurut beliau, kekacauan intelektuallah yang menyebabkan kekacauan sosial. Jadi, proses awal dari perjuangan untuk mengatasi kekacauan sosial, adalah dengan merubah pandangan intelektual, kemudian baru manusia dapat menambahkan kekuatan-kekuatan lain seperti revolusi politik, dll, sebagai penunjangnya.[3]
Auguste Comte juga berpendapat bahwasannya ilmu sosiologi harus dibagun atas dasar observasi dan klasifikasi yang sistematis, bukan pada penguasaan yang spekulatif (untung-untungan).[4] Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana melakukan observasi yang baik?
Jika kita ingin mengetahui mengenai teknik dasar observasi ilmiah yang baik, maka kita harus mengetahui dahulu mengenai apa itu pengetahuan dan apa itu ilmu pengetahuan.
1.    Pengetahuan
Pengetahuan adalah semua yang diketahui.[5] Dan mengetahui adalah sebuah kondisi atau keadaan dimana benak (akal) kita ini dapat mengalirkan diskripsi-diskripsi tentang apapun, tidak hanya dalam hal ilmu pengetahuan, namun juga dalam hal kehidupan.[6]
2.    Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang didasarkan pada bukti yang dapat diuji, yang dimaksud dengan bukti adalah pengamatan factual yang dapat dilihat, ditimbang, dihitung, dan diperiksa ketelitiannya oleh para pengamat yang lainnya.
Metode observasi (pengamatan) ilmiah yang baik adalah:
a.   Merumuskan masalah (kita membutuhkan suatu masalah yang bermanfaat untuk diteliti dan yang dapat diselidiki melalui metode ilmiah).
b.  Meninjau kepustakaan (mensurvei sebagian ataupun semua (itu lebih baik) penelitian yang telah dilakukan mengenai masalah yang ingin anda teliti).
c. Merumuskan hipotesis (hipotesis bermakna dugaan sementara; pegangan dasar; dasar pendapat).
d.   Merencanakan desain penelitian (langkah 1) uraikanlah apa yang perlu ditelaah, 2) data apa yang perlu dicari, di mana, mengumpulkan, mengelolah, dan menganalisisnya).
e. Mengumpulkan data (proses pengumpulan data haruslah sistemimatis sesuai dengan perencanaan desain penelitian anda).
f.     Menganalisis data (objektifitas sangat berpengaruh penting dalam tahap ini).
g.  Menarik kesimpulan (apakah hipotesis awal dapat diterima atau ditolak? Apakah hasilnya tidak meyakinkan? Apakah penelitian tersebut menambah pengetahuan kita? Apakah ada nilai positif dari hasil implikasi (pelibatan) penelitian kita terhadap masyarakat? Adakah soal-soal ataupun saran-saran baru yang muncul dari penelitian ini untuk penelitian lebih lanjut? Usahakan soal-soal tersebut terjawab dalam menarik sebuah kesimpulan).
h.   Mengulang penelaahan (penemuan penelitian barulah kokoh jika telah melaui pengulangan berkali-kali, dengan sampel yang berbeda. Dan ada peneliti lain yang juga meneliti mengenai hal yang sama, dan ditemukan hasil yang sama antara dua peneliti atauapun banyak peneliti tersebut).
Kriteria observasi (pengamatan) ilmiah yang baik adalah:
a.  Observasi ilmiah haruslah cermat (dikatakan cermat apabila dalam mengambil bukti-bukti adalah sesuai adanya, dan tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan dalam mengamati).
b.  Observasi ilmiah haruslah tepat (yang harus digaris bawahi mengenai ketepatan ini adalah dalam hal pemakain ukuran-ukuran, sasaran dalam mencari sebuah bukti, kesesuaian bukti dengan masalah-masalah yang sedang diobservasi, dan hindari penulisan laporan yang berlebihan, seperti sebuah karya sastra yang kebanyakan menggunakan bahasa yang mendayu-dayu).
c. Observasi ilmiah haruslah sistematis (secara bahasa sistematis bermakna teratur sesuai urut-urutan. Maksudnya bagaimana? Jika kita mau meneliti, hendaknya kan kita membuat program dahulu, dan program tersebut haruslah terorganisir dengan baik, dan dalam pelaksanaan program-program tersebutlah kita diharuskan untuk teratur).
d. Observasi ilmiah harus dicatat (terutama jika berhubungan dengan data, maupun pemrograman langkah-langkah kerja).
e.  Observasi ilmiah haruslah objektif (objektifitas dalam penelitian bermakna kesanggupan melihat dan menerima fakta sebagaimana adanya, bukan sebagaimana diharapkan terjadi. Objektifitas merupakan syarat terpenting dalam suatu penelitian. Ada 2 penyakit dari kekurangobjektifan manusia dalam meneliti sebagaimana dikatakan oleh Paul B.Harton dan Hunt sebagai penyakit kecenderungan. Dan kecenderungan itu disebabkan oleh kebiasaan. Dan penyakit persepsi selektif yaitu kecenderungan untuk hanya melihat, mendengar, maupun merasakan fakta yang menunjang keyakinan kita, dan mengabaikan yang lainnya. Solusi terbaik untuk melaksanakan tindakan-tindakan objektif dalam meneliti, bagi peneliti pemula adalah dengan memiliki partner-partner dalam meneliti).
f.  Observasi ilmiah dilakukan oleh para pengamat yang terlatih (pengamat dikatakan tidak terlatih jika dia tidak tanggap dalam menentukan langkah dalam pencarian, pengumpulan, maupun penyimpulan).
g. Observasi ilmiah haruslah dilaksanakan dibawah kondisi yang terkendali (pengendalian kondisi erat hubungannya dengan variable. Variable adalah sasuatu yang berubah-ubah dari kasus ke kasus. Kita bisa melakukan penelitian ilmiah jika kita dapat mengendalikan semua variable kecuali satu. Karena, perubahan dari satu variable itulah yang mempengaruhi kita dalam mengambil sebuah kesimpulan. Dan ketidak mampuan untuk mengendalikan semua variable merupakan sebuah kesalahan umum yang sering terjadi sehingga menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan penelitian. Contoh: kita meneliti kuaitas buah terhadap tanaman yang dipupuk. Maka kita harus menyamakan semua veriabel dulu, mulai dari kualitas tanah, tanaman, umur tanaman yang dibandingkan, lokasi penanaman (cahaya matahari, suhu, air, kelembaban), dll. Namun kita tidak perlu mengontrol variable dari pupuk. Karena gerak dari varibel pupuk itulah yang mempengaruhi pengambilan kesimpulan.
Kesimpulannya adalah, sumbangsih terbesar dari Comte terhadap sosiologi adalah pembangunannya terhadap sistem teoritisi baru yang sebelumnya telah digunakan oleh pendahulu-pendahulunya, salah satunya adalah gurunya yang bernama Claude Henri Saint-Simon (1760-1825), seabagai sistem teoritisi yang cukup untuk membangun awal sosiologi itu sendiri sebagai pengetahuan yang mandiri yang pada saat ini sangat dapat kita rasakan dampaknya bagi kehidupan manusia di bumi ini. Dan Comte juga pernah berpendapat bahwsannya “semesta social bertanggung jawab atas perkembangan hukum yang dapat diuji dengan pengumpulan data secara seksama,” dan “hukum-hukum abstrak (tak berwujud) ini akan merujuk pada unsur dasar dari generic semesta social tersebut dan akan memerlihatkan hubungan alamiah”.[7]


[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 23.
[2] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 299.
[3] George Ritzer, dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul, Kreasi Wacana, 2011), hal. 17.
[4] Paul B. Horton, dan Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1993), hal 15.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Rosda Karya, 2010), hal. 5.
[6] Abdurrahman bin Muhammad al-Akhdari, Sullamul Munauraq fii Ilmil Mantiqi, terj. M. Fadli Said an-Nadwi (Surabaya: Al-Hidayah, 2005), hal. 8.
[7] Ibid., George Ritzer, dan Douglas J. Goodman, George Ritzer, dan Douglas J. Goodman, , , hal. 17.

Selasa, 25 Februari 2014

Sosiologi Karl Marx

PELETAK FONDASI SOSIOLOGI
By: A. Bahrul Ulum

Penelusuran sejarah asal-usul atau perkembangan suatu bidang kajian ilmu atau cabangnya, biasanya akan terjebak pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang pertama kali membahas hal ini, dan pada akhirnya cenderung menonjolkan pelaku tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan proses yang cukup membahayakan.[1] Oleh sebab itu, untuk menghindari pengkultusan terhadap seorang tokoh saja, dan tokoh-tokoh yang lain tersembunyikan, maka akan lebih baiknya jika kita membahas banyak tokoh yang berjasa dalam membangun sebuah fondasi dalam ilmu sosiologi. Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam membangun fondasi ilmu sosiologi:
A.  Karl Marx (1818-1883 M)
Nama lengkap beliau adalah Karl Heinrich Marx, dilahirkan di Trier, Prusia, Jerman pada tahun 1818 M. Ibunya berasal dari keluarga Rabbi Yahudi, sedangkan ayahnya berpendidikan sekuler dan berprofesi sebagai pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak menguntungkan bagi pengacara Yahudi, ayah dan keluaranya berpindah agama menjadi pemeluk agama Protestan.[2]
Pada tahun 1841 M, Marx meraih gelar doktor fisafat dari Universitas Berlin, sewaktu menjadi mahasiswa Marx terpengaruh oleh ajaran Hegel.[3] Ia menikah pada tahun 1843 M dan hijrah ke Paris. Di Paris Marx berkawan dengan Friedrich Engels, dan dengan kawannya itulah Marx menyusun sebuah buku yang berjudul Manifesto Komunist pada tahun 1848. Di Paris, Marx juga banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikir sosialis, dan tokoh pemikir ekonomi politik Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo.
Setelah itu, Marx menjadi buronan politik, dan kemudian beliau dipenjara di London sampai meninggal dunia pada tahun 1883 M. Ia meninggalkan sebuah karya terbesarnya yang berjudul Das Kapital yang terbit pada tahun 1867 M. Berikut sedikit pembahasan mengenai pendapat-pendapat dari Marx:
1.    Materialisme Historis
Empat konsep penting dalam Materialisme Historis adalah:
1)   Means of Production (cara produksi)
Sesuatu yang digunakan untuk memproduksi kebutuhan materi.
2)   Relations of Production (hubungan produksi)
Hubungan cara masyarakat memproduksi dengan peranan sosial yang terbagi pada individu-individu dalam produksi.
3)   Mode of Production (kebiasaan produksi)
Kebiasaan produksi menurut Marx adalah unsur dasar suatu tahapan sejarah yang memperlihatkan bagaimana gerakan ekonomilah yang membentuk hubungan sosial. Menurutnya, ada lima kebiasaan produksi yang terdapat pada sepanjang sejarah hidup manusia, yaitu:
a.    Komunisme Primitif
b.    Masa Kuno
c.    Feodal (sistem penguasaan tanah/daerah/wilayah yang diantut oleh suatu masyarakat yang memiliki karakteristik hidup dengan corak yang dipengaruhi oleh sifat kebangsawanan).[4]
d.   Kapitalisme (sistem perekonomian yang berdasarkan hak milik individu atau golongan dari suatu kelas yang menekankan kebebasan dalam lapangan produksi, dimana alat-alat produksi berada pada kaum yang bermodal atau yang bersaham).[5]
e.    Komunisme (sistem politik ekonomi, dimana alat-alat produksi menjadi milik umum).[6]
4)   Force of Production (kekuatan produksi)
Kapasitas (isi) dalam benda dan orang yang digunakan untuk tujuan produksi.
Perubahan sosial akan terjadi dikarenakan adanya cara produksi, karena cara produksi berubah maka akan memunculkan kontradiksi (pertentanan) antara cara produksi dengan hubungan produksi. Jika hubungan produksi telah rusak maka dibutuhkan rekontruksi (pembangunan ulang) terhadap hubungan produksi baru yang pada akhirnya akan merubah mode (kebiasaan) produksi. Dan kekuatan produksi dapat diukur dengan mengukur banyaknya prodak dari hasil produksi dengan sedikitnya modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan produsen mendapatkan banyak konsumen prodaknya secara konsisten.
2.    Teori Alienasi (keterasingan)
Yang membedakan manusia dengan makhluk lain menurut Marx adalah manusia dapat bekerja dan menghasilkan produk. Namun, Marx juga menemukan sebuah fakta sederhana mengenai manusia, bahwasannyayang dicari manusia dalam hidupnya yang pertama adalah makan, minum, tempat bernaung, dan pakaian. Jauh setelah memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia mulai mengejar pengetahuan mengenai apa itu politik, sains, seni, dan agama.[7]
Menurut Marx manusia mengalami alienasi dalam tiga hal:[8]
1)   Manusia teralienasi dari produk kerjanya sendiri
Contoh: Manusia menjadi pelayan mesin (manusia menyiapkan kebutuhan-kebutuhan mesin, dan mesin sebagai pelaku produksi utama. Bukan mesin yang menyiapkan kebutuhan manusia, dan manusia sebagai pelaku produksi utama).
2)   Manusia teralienasi dari dirinya sendiri
Manusia hidup dibawah keterpaksaan dikarenakan banyaknya tuntutan dalam bertahan hidup, sehingga manusia mau tidak dijadikan manusia, karena manusia ingin hidup. Sedangkan karakter yang dominan tertanam pada diri manusia jika sudah mengejar kebutuhan hidup adalah karakter biologis saja, yaitu: makan dan minum, istirahat, buang kotoran, bersih-bersih diri, dan berkembang biak. Dan manusia-manusia yang hidup seperti itu dinamai Marx sebagai hewan produksi.
3)   Manusia teralienasi dari sesamanya
Manusia terikat dengan pekerjaan, sehingga proses sosialisasi manusia terbatas, dan pada akhirnya manusia lebih cenderung berkumpul dengan manusia yang senasib.
Ciri-ciri munculnya alienasi:
1)   Tidak terkontrolnya jenis, kualitas, dan harga produk.
2)   Manusia yang mengikuti alat, dan bukan alat yang digerakkan manusia.
3)   Menjadi pasifnya gerak manusia jika tidak ditunjang oleh prodak-prodaknya sendiri.
3.    Teori perubahan social
Pada the communist manifesto Marx berpendapat bahwasannya sejarah dari semua masyarakat hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas. Akar adanya perjuangan kelas adalah dikarenakan adanya pembagian kerja dan kepemilikan pribadi.
Penyakit yang muncul pada ranah sosial perindividu adalah penyakit “kesadaran palsu”, yaitu secara individu manusia sadar bahwa dirinya hidup, ada, dan membutuhkan kebutuhan–kebutuhan sebagai manusia agar tetap hidup. Akan tetapi, banyak manusia yang kurang sadar, bahwa dengan mengejar kebutuhan individu saja mereka tidak akan pernah lepas tuntas dari semua masalah kehidupan. Karena manusia tidak akan pernah merdeka jika tetap berprilaku seperti itu. “Kesadaran sejati” adalah ketika manusia sadar bahwa mereka hidup seperti itu tidak sendiri. Kemudian mereka berkomunikasi dengan sesama. Mereka membentuk sebuah organisasi, dan menyusun kekuatan, menyatukan ideologi, kemudian mereka bersama-sama berjuang untuk menyetarakan hak agar tidak terlalu terjadi ketimpangan dalam proses kehidupan.
4.    Agama sebagai candu masyarakat
Keadaan dari suatu masyarakat dengan budaya hidupnya, merupakan sebuah banguan yang istimewa (superstruktur) dari sejarah perkembangan hidup manusia, dan bangunan tersebut tidak mungkin berdiri dengan kuat tanpa memiliki bangunan dasar (infrastruktur) sebagai penopangnya.
Menurut Marx, Ideologi, Politik, dan Agama termasuk di dalam bangunan Superstruktur tersebut, dan dasar bangunannya (infrastrukturnya) adalah ekonomi. Pengalaman ayahnya yang berpindah agama dari Yahudi menjadi Protestan merupakan contoh aktual (baru dan sedang menarik perhatian umum) dan faktual (benar-benar ada) dari pengalaman Marx yang berkaitan dengan agama dan ekonomi.
Jadi, menurut Marx hanya karena faktor perekonomianlah yang menyebabkan manusia beragama, sehingga agama hanyalah dijadikan sebagai salah satu alat ataupun strategi untuk melanggengkan kemapanan ekonomi manusia. Sehingga Marx berpendapat bahwasannya agama adalah candu masyarakat,[9] dikarenakan karena doktrin-doktrin agamalah masyarakat mudah terbuai, dan hidup dalam imajinasi mimpi yang khayal dan belum tentu ada, sehingga karena keterbuaian yang dihasilkan oleh agama yang diraskan oleh orang yang beragama, yang melatar belakangi Marx untuk menyamakan agama dengan candu, karena sama-sama membuat manusia lupa akan kepentingan dirinya dalam hidup.


[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 23.
[2] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 23.
[3] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 123.
[4] Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Aekola, 2001), hal.175.
[5] Ibid., hal. 305.
[6] Ibid., hal. 356.
[7] Daniel L. Pals, Tujuh Teori Agama Paling Komperhensif, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 179.
[8] D. McLellan, Karl Marx: His Life and Thought (London: Mac Millan, 1973), hal. 111.
[9] Listiono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal.306.