REFLEKSI
DIRI PASCA PILGUB SEMA FITK 2014
Oleh:
Dewa Ruci
Kamis,
02 Januari 2014, dilaksanakan pemilihan gubernur SEMA FITK UIN Sunan Ampel
Surabaya. Pemilihan gubernur dilaksanakan di Gedung B FITK dan dimulai kurang
lebihnya sejak pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. 1400 kertas suara telah disiapan
oleh KOPURWAFAT (Komisi Pemilu Raya Mahasiswa Fakultas), dan semua mahasiswa/i
FITK memiliki hak untuk memilih. Jika dilihat dari sudut pandang mahasiswa/i,
peluang terebut merupakan sebuah sarana untuk mewujudkan rasa kepedulian kita
sebagai warga FITK terhadap FITK, dengan cara ikut berpartisipasi untuk memilih
pimpinan yang baik menurut kita, yang nantinya dapat memperjuangkan FITK
menjadi fakultas yang lebih baik lagi dan menemukan keindahan dalam dinamika
yang terjadi dalam proses pencapaian tujuan dibangunnya FITK tersebut. Dan
dalam sudut pandang KOPURWAFAT, mereka menyiapkan banyak kertas suara adalah sebagai
wujud kepedulian terhadap hak-hak yang dimiliki oleh mahasiswa/i FITK yang
harus dipenuhi.
Namun,
ada fakta menarik yang terjadi pada pagi itu, ketika ada salah seorang
mahasiswa mengajak temannya untuk mencoblos, dan temannya merespon ajakan
tersebut dengan jawaban “NGAPAIN KITA NYOBLOS? MEREKA NDAK PERNAH GUMBUL KITA
KOK, PERCUMA KITA NYOBLOS.” Kejadian menarik tersebutlah yang akan kita
analisis, tepat atau kurang tepat, kita berpendapat seperti itu.
Mengapa
kita perlu memilih pemimpin? Mengapa harus ada organisasi dalam sebuah proses
perkuliahan? Apa guna organisasi tersebut? Menurut Plato, dalam sebuah proses
dialektik, agar tidak terjadi kesalahpahaman interpretasi sebuah ide, maka kita
harus memiliki kesepakatan terhadap definisi dari setiap terma-terma yang
diungkapkan, dan definisikanlah semua terma baru. Oleh sebab itu, maka kita
akan mengawali mengkaji pertanyaan-pertanyaan dalam paragraf sebelumnya dengan
mendefinisikan dahulu apa itu organisasi.
Organisasi
adalah penyusunan dan pengaturan bagian-bagian hingga menjadi suatu kesatuan
yang teratur untuk mencapai tujuan tertentu. (Pertanto dan al-Barry, 2001: 547)
Dalam sebuah organisasi dibutuhkan seorang pemimipin, yang bertugas sebagai
organisator, agar dapat menjaga keterarturan yang telah ada, ataupun mewujudkan
keteraturan yang belum ada. Dan dalam sebuah organisasi apapun, organisasi
tersebut harus memiliki seorang pemimpin. Jadi, sebaiknya kita janganlah enggan
untuk memilih pemimpin. Dan organisasi menjadi penting adanya, dikarenakan
organisasi dapat berfungsi sebagai jembatan untuk memperjuangkan ide-ide ideal
dalam suatu komunitas masyarakat yang menjalani proses kehidupan secara
terstruktur.
MH
‘Ainun Najib (Cak Nun) pernah berkata, bahwasannya ketika kita mau memilih apapun,
baiknya kita mengetahui hal apapun dari sasaran yang akan kita pilih. Agar
nantinya kita dapat mengontrolnya, dan dalam hal memilih, beliau menyarankan
agar kita memilih yang dapat kita kontrol. Jika kita tidak mengetahui mengenai
hal apapun tentang calon pemimpin yang akan kita pilih, jika dikaitkan dengan
pemilihan pemimpin, maka cari tahulah. Dan jika kita merasa tidak dapat
mengontrol calon-calon yang akan kita pilih, maka pelajarilah metode-metode
maupun strategi-strategi untuk mengontrol calon pemimpin tersebut. Namun, jika
tetap tidak dapat mengontrolnya tetapi kita diharuskan untuk memilih, maka
pilihlah dengan memohon bantuan kepada Allah agar Allahlah yang nantinya
mengontrol pemimpin tersebut. Karena, jika kita tidak mau memilih pemimpin yang
nantinya akan memimpin kita, maka bagaimana cara kita agar dapat mengontrol
pemimpin tersebut, jika nantinya mereka dzalim? Untuk memilih saja
enggan, apalagi mengontrol kebijakan-kebijakannya.
Kemudian
muncul sebuah pertanyaan, bagaimana jika kedzaliman para pemimpin terebut
telah mengkultur dalam kehidupan kita? Bagaimana cara kita mengatasinya? Jika
kita memperjuangkan ide kita dari bawah, dimulai dari diri kita sendiri, maka
kita akan dikucilkan, dan bisa jadi kita akan diasingkan. Namun, jika kita
memperjuangkan ide kita ketika kita berada di atas yaitu ketika menjadi
pemimpin, maka kita akan dilengserkan. Bagaimana caranya?
Kedzaliman
yang dilakukan oleh mayoritas pemimpin kita, memang telah menjadi fakta sosial
yang telah banyak diketahui oleh mahasiswa/i, menurut Emile Durkheim (1858-1917)
dalam the rules of sociological methods dijelaskan bahwasannya
karakteristik fakta sosial ada tiga. Pertama, Eksternal (diluar
individu), maksudnya fakta sosial ada sebelum individu ada dan akan tetap ada
sesudah individu tidak ada. Kedua, Determined (faktor yang
menetukan) maksudnya adalah fakta sosiallah yang telah memaksa individu agar sesuai
dengannya. Ketiga, General (Keadaan yang umum) maksudnya adalah tersebar
luas dalam semua komunitas/masyarakat. (Damsar, 2012: 28) Oleh sebab itulah
maka kita akan sangat susah memberantas kedzaliman yang ada pada kampus
tercinta kita ini, karena kedzaliman tersebut sudah bukan menjadi ada
karena dikerjakan oleh manusia, namun kedzaliman tersebut sudah ada
sejak kita belum ada atau bahasa sosiologinya adalah telah menjadi fakta sosial.
Kemudian,
bagaimana cara kita menanggulangi hal tersebut, jika kita telah mengetahuinya?
Marx (1818-1883) dalam the communist manifesto mengatakan bahwa penyakit
yang muncul pada ranah sosial perindividu adalah penyakit “kesadaran palsu”
yaitu secara individu kita sadar bahwasannya kita hidup, kita ada, dan butuh
untuk mencukupi kebetuhan dalam hidup. Namun, kesadaran mengenai hal-hal
tersebut saja sangatlah kurang cukup. Karena dengan menyadari hal-hal tersebut
saja, kita tidak akan merdeka dan tidak akan dapat memerdekakan manusia yang
lainnya. Kita akan tetap terjebak oleh kerumitan fakta-fakta sosial dalam hidup
ini, kita secara tidak langsung juga akan melanjutkan kultur kedzaliman
tersebut walaupun tanpa kita sadari.
Jadi,
solusi yang solutif untuk membrantas budaya dzalim tersebut adalah
dengan cara mengobati penyakit “kesadaran palsu” yang telah mengakar pada diri
kita ini. Dan menurut Marx, obat yang manjur untuk mengobati penyakit
“kesadaran palsu” tersebut adalah dengan cara pembangunan terhadap sebuah “kesadaran
orisinil” yang kita mulai dari diri kita sendiri, formula dari kesadaran
orisinil tersebut adalah:
1. Kita
sadar, bahwa kita terjebak dalam kerumitan fakta sosial yang seperti ini dalam
keadaan yang tidak sendirian, kita masih memiliki banyak saudara/i kita yang
sama-sama mengalami dan merasakan apa yang kita alami dan rasakan.
2. Jalinlah
seebuah komunikasi dengan sesama sahabat/i kita tersebut.
3. Bentuklah
sebuah organisasi, dan bangunlah kekuatan kalian dengan menyatukan ideology.
4. Kemudian
perjuangkan hal apapun yang ingin akhi/ukhti perjuangkan.
Jadi,
formulasi dari kesadaran orisinil tersebut terdiri dari rangkaian beberapa
kesadaran kritis dan prilaku aktif yang terorganisir. Menurut hemat penulis,
solusi yang diberikan oleh Marx tersebut merupakan solusi yang tepat untuk
kita, dikarenakan sesuai dengan keadaan sosial yang sedang kita alami saat ini.
Kalian boleh kurang setuju dengan solusi yang penulis tawarkan, namun yang
ingin penulis bangun disini adalah sebuah kesadaran nilai yang orisinil,
kesadaran agar kalian mau mempelajari, dan kesadaran akan rasa ingin
memperjuangkan hal-hal yang telah kalian pelajari. Karena, faktor intelektual
dalam dunia nyata, tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial. (Ritzer dan
goodman, 2011: 10) Setiap perubahan yang terjadi dalam ranah sosial, pasti
diawali oleh proses perubahan kualitas kadar intelektual suatu masyarakatnya.
Mari merenung ria, dan selamat berjuang.
MULAILAH DARI DIRIMU
MULAILAH DARI SEKARANG
MULAILAH DARI YANG TERMUDAH DAN TERKECIL.
NB: Kritik dan saran kami tunggu. (085733000348)
Sidoarjo, 23 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar