Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 27 Agustus 2014

Budaya Pendidikan Karakter PMII Cabang Surabaya Selatan



OPORTUNISME DALAM PENDIDIKAN KARAKTER PMII;
MENYIKAP BUDAYA POLITIK EKSTERNAL-INTERNAL.
By: A. Bahrul Ulum

Semakin banyak calon presiden dalam mengeluarkan modal berwujud materi untuk kampanyenya, dengan tujuan mensukseskan dirinya dalam pemilu raya, agar dirinya dapat menang. Maka, semakin banyak pula korupsinya nanti ketika dirinya telah menjadi presiden kita. (ABU)

Sebelum kita lebih dalam membahas mengenai oportunisme dalam pendidikan karakter PMII, baiknya kita lebih dahulu mengetahui tentang apa itu PMII? Latar belakang serta tujuan berdirinya? Dan bagaimana asas-asas pergerakannya? Mengapa jawaban-jawaban dari soal-soal tersebut baiknya kita ketahui maupun pahami terlebih dahulu? Karena pemahaman kita mengenai jawaban dari beberapa point pertanyaan di atas, akan sangat mempengaruhi kita terhadap pola fikir dan pandang kita terhadap PMII. Namun, mengenai jawaban-jawaban dari beberapa point pertanyaan dibaris kedua dan tiga tersebut  tidak akan di bahas dalam artikel ini.
Yang menjadi kajian pokok dalam tulisan ini adalah oportunisme. Apa itu oportunisme? Oportunisme adalah paham politik yang tak berasas dan menunggu kesempatan/keadaan yang menguntungkan; paham ini dinamakan juga sebagai paham politik kotor dan paham politik angin. Bagi para penganut paham politik ini, disebut sebagai orang-orang oportunis (Partanto dan Al-Barry, 2001: 544).
Setelah kita mengetahui mengenai definisi dari oportunisme, selanjutnya kita akan mengkaji mengenai apa itu pendidikan karakter? Karena PMII adalah singkatan dari sebuah nama oganisasi mahasiswa Islam Indonesia yaitu Pergerakan Mahasiswa/i Islam Indonesia, dan dikarenakan objek kajian analisis artikel ini melibatkan Islam sebagai sebuah simbol istilah yang melekat pada nama, ideologi, pola fikir, dan landasan pergerakan PMII. Maka kita juga akan membahas mengenai pendidikan karakter dalam sudut pandang Islam.
Kata pendidikan dalam Islam bersumber dari tiga istilah dasar dalam bahasa Arab, yaitu tarbiyyah, ta’lim, dan ta’dib. Kata tarbiyah dapat diartikan sebagai sebuah penamaan terhadap proses belajar mengajar secara luas dan menyeluruh, makna luas dan menyeluruh disini adalah tidak mencakup satu objek saja yang diajarkan, tetapi berbagi macam objek. Seperti, objek pemahaman agama, sosial, alam dan budaya dalam pengetahuan, etika dan estetika dalam berprilaku, semangat juang menuju ke arah positif dalam berfikir, memberi, dan menerima pandangan, dsb. Sedangkan kata ta’lim diartiakan sebagai proses belajar mengajar yang lebih berkonsentrasi dalam satu bidang saja, yaitu dalam bidang pengetahuan saja. Dan kata ta’dib dinamakan terhadap sebuah proses belajar mengajar yang lebih fokus pada bidang prilaku saja.
Karakter, apa itu karakter? Apakah marah, sabar, adil, dll itu adalah karakter? Karakter adalah watak. Apa itu watak? Watak dapat diartikan secara istilah sebagai prilaku manusia dalam kesehariaanya yang muncul secara sepontan yang merupakan sebuah respon terhadap pelbagai hal apapun yang dialaminya. Jadi, marah, sabar, adil, dll bukanlah sebuah karakter, tapi bentuk-bentuk karakter, sedangkan karakter itu sendiri adalah proses pembiasaan penempatan bentuk-bentuk karakter tersebut dalam prilaku sehari-hari dengan prosentasenya masing-masing di dalam berbagai hal yang melekat pada situasi dan kondisi apapun. Jadi, secara singkat pendidikan karekter adalah pendidikan pembiasaan berprilaku dalam menjalani kehidupan. Berprilaku yang bagaimana? Karena kita menganalisa pendidikan karakter PMII, jawabnya adalah berprilaku Islami berlandaskan Ahlussunnah Waljama’ah yang didalamnya terkandung empat landasan metode berfikir, yaitu, toleransi, keadilan, keseimbangan, dan berdiri di tengah atau moderat. Dan empat nilai dasar pergerakan, yaitu, tauhid, hubungan dengan Allah SWT, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam.
Selanjutnya, dalam konteks social, kader-kader PMII dididik agar memiliki paradigma kritis transformative. Apa itu? Singkatnya, paradigma dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan berpikir atau kaca mata dalam memandang realita sosial. Sedangkan kritis dapat dimaknai dengan tajam atau tegas, teliti  dalam  menanggapi, atau memberikan  penilaian  secara mendalam. Dan transformative adalah adanya keserasian bertindak antara ide (keinginan) dan realisasi (proses pelaksanaan).
Namun, malam itu, senin tanggal 07 April 2014, ada sebuah rapat yang dapat dikatakan penting antara pihak komisariat dengan kader yang dilaksanakan di komisariat PMII, untuk membahas persiapan pemilu raya (pemilihan umum presiden mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2014-2015).
Apa yang dibahas dalam rapat tersebut? rapat tersebut membahas mengenai penggunaan strategi apa yang harus digunakan agar capres yang didelegasikan oleh PMII bisa menang dalam pemilu raya tersebut. Pembahasan inilah yang menarik untuk kita kritisi dan kaji ulang.
Pemilu raya yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 April 2014, memiliki beberapa persyaratan agar dapat mengikuti proses pemilu tersebut, salah satunya adalah dengan memiliki KTM atau KTP (kartu tanda anggota perpustakaan). Bagi parpol yang ingin mengusung calon presiden maka harus memiliki KTM/KTP minimal sebanyak 500 buah agar dapat mengusung calon presiden. Bagi mahasiswa/i UIN Sunan Ampel, adanya KTM/KTP tersebutlah yang dijadikan alat mendaftar untuk mendapatkan hak suara mencoblos.
Dikarenakan adanya syarat memiliki KTM tersebut bagi mahasiswa/i yang ingin mengikuti pesta demokrasi, maka pengurus partai ingin mengadakan pengukuran validitas suara yang akan mencoblos capres dari PMII. Ternyata hasilnya miris, kertas suara yang disiapkan untuk FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) yang berjumlah 1200 lembar, nampaknya akan tersisa 1000 lembar. Dikarenakan hasil verivikasi malam itu menunjukkan bahwa hanya 200 kader PMII yang saat ini masih benar-benar aktif.
Pertanyaannya, bagaimana pemilu tersebut dapat dimenagkan oleh pihak PMII, sedangkan jumlah suara pasti, yang akan mencoblos capres dari PMII hanyalah 200 orang. Disinilah budaya mulai berperan aktif dalam menentukan strategi pemenangan capres. Maka, pihak komisariat memanfaatkan jaz almamater mahasiswa/i yang belum dibagikan oleh pengurus SEMA FITK untuk mengumpulkan KTM/KTP, jadi mahasiswa/i angkatan 2013 yang mengambil jaz almamater wajib juga mengumpulkan KTM/KTP yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pemilu raya. Maklum, pengurus SEMA FITK semuanya adalah kader PMII, begitupun juga dengan pengurus HMPnya, seluruhnya adalah kader PMII, kecuali HMP PMT dan PBI. Jadi distribusi kader dari eksternal (PMII) ke internal (SEMA maupun HMP) memang dapat dikatakan aktif. Sedangkan untuk mahasiswa/i angkatan 2012, 2011, dan 2010 FITK yang mau mencoblos capres dari PMII maka mereka akan diberi sertifikat seminar internasional. Dan yang terakhir, 200 jumlah kader PMII yang aktif tadi, diperintahkan untuk mencari minimal 5 orang untuk diajak mencoblos.
Apakah budaya tersebut yang pertama dan kedua tadi baik? Katanya, mahasiswa/i adalah agent of change or agent of social control, tapi mengapa kita masih menerapkan budaya yang dapat kita katakan sebagai budaya yang kliru. Apakah semangat berpolitik itu hanya dijadikan alat untuk menguasai? Kemudian jika telah menguasai, maka kita akan dapat dengan sangat mudah utuk mengeksploitasi kekayaan internal yang nantinya akan diberikan kepada eksternal? (Kekayaan DEMA untuk PMII) Apakah itu adil? Siapa sebenarnya objek yang berhak untuk mendapatkan fasilitas dari DEMA? Apakah hanya mahasiswa/i yang berstatus kader PMII? Mana tranformasi dari manhaj al-fikr kita? Kita mengkritik para pemimpin Negara sebagai seorang pemimpin yang korup, mereka kita katakan koruptor, kita menginginkan mereka memimpin secara baik, secara profesional. Tapi mengapa? Kita yang mengkritik para koruptor, tapi kita sendiri yang korupsi? Mengapa kita menginginkan kepemimpinan yang professional, yang baik. Tapi kita mendidik generasi muda penerus bangsa dengan pendidikan karakter koruptor, pendidikan politik oportunis.
Bagi mahasiswa/i UIN Sunan Ampel, mengapa kita mau dirusak idealism kita, hanya karena kita akan diberikan kecukupan terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi kita, murah sekali harga suara kita, apakah anda mau DPP yang diberikan pihak rektorat kepada DEMA tidak dapat kalian rasakan bentuk kegiatannya? Mengapa kalian harus mau suara kalian dibeli dengan selembar sertifikat? Jika kita mau, kita bisa berubah. Kita bisa bersama-sama memperbaiki proses kepemimpinan dikampus kita ini. Tapi mengapa harus kita? Jika sebatang lidi mudah dipatahkan, tapi tidak bagi sapu lidi. Mari kita mulai perubahan dari diri kita, dari hal yang terkecil, dari sekarang.
Memang pada realitanya, proses pergerakan dunia ini pasti selalu dihiasi dengan kesenjangan antara idealisme dengan realisme. Namun, yang menjadi ukuran keberhasilan bukanlah keidealan yang ingin kita capai, tapi proses semangat perjuangan kita menuju keidealan tersebut, jika kita dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, kita memiliki semangat untuk mengkhalifahi (memimpin diri dan semua makhluk untuk membawa perubahan dalam konteks social menju kebaikan) maka, saat itulah kita dapat dikatakan sukses membangun jembatan antara idealisme menuju realisme.
Proses dinamika perpolitikan dikampus, adalah gambaran mikro dari perpolitikan Negara kita ini. Jadi, jangan membenci dunia perpolitikan walaupun kita melihat luapan tinta hitam yang menyelimutinya, menutupi kemurniaannya. Namun, ikutlah berproses, pelajarilah, tidak ada pengetahuan yang buruk, yang ada hanyalah tujuan dipakainya pengetahuan tersebut yang akan mempengaruhi pengetahuan tersebut dikatakan baik atau buruk. Bagaimana kita bisa merubah jika kita tidak mengetahui? Bagaimana kita bisa mengetahui bila kita tidak mempelajari? Bagaimana kita bisa mempelajari jika kita enggan dalam berproses?


BERPROSESLAH DENGAN BENTUK PROSES YANG ENGKAU SUKAI, ISTIQAMAHLAH DALAM BERPROSES, KARENA DENGAN BERPROSES KITA MENDAPATKAN PENGALAMAN MENGENAI INTERAKSI, DAN PENGALAMAN MENGENAI INTERAKSI DAPAT MEMBIMBING KITA MENUJU KEDEWASAAN DALAM BERPRILAKU, JIKA KITA MAU BERUBAH.




Surabaya, 07 April 2014

Selasa, 19 Agustus 2014

PENDIDIKAN NATIVISME



PENDIDIKAN NATIVISME
By: A. Bachrul Ulum

Setiap manusia yang terlahir telah membawa bakatnya masing-masing, bakat tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah senjata yang nantinya dapat digunakan untuk mempertahankan diri dalam mengatasi arus deras ujian hidup yang menerpa setiap manusia dalam kehidupannya. (ABU)
Banyak pertanyaan mendasar yang timbul dari dalam benak pikiran kita mengenai apa itu pendidikan nativistik? Kata nativistik secara bahasa berasal dari kata latin, yaitu native yang memiliki makna yang asal; bawaan dari lahir; hidup sebagai penduduk asli. Secara istilah pendidikan nativistik bermakana paham pendidikan yang berasumsi bahwa setiap manusia yang lahir di dunia ini telah memiliki bakat masing-masing, dan proses pendidikan tidak memiliki daya apapun untuk dapat merubah bakat tersebut. seorang tokoh yang memperkenalkan ajaran nativis ini bernama Arthur Schopenhauer, berikut beberapa penjelasan mengenai bapak Arthur.
A.  Biografi
Bapak Arthur lahir di kota Denzig (jerman), beliau lahir pada tanggal 22 Februari 1788 dan beliau wafat pada tanggal 21 September 1860. Pak Arthur belajar di Universitas Berlin dan dia juga mendapatkan gelar doctor, namun gelar tersebut diperoleh pak Arthur dari universitas jena.
B.  Pemikiran Arthur Schopenhaur
Menurut bapak Arthur faktor pembawaan yang bersifat kodrati yang dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya di dunia ini merupakan sebuah dimensi yang tidak dapat diubah oleh alam sekitarnya (termasuk pendidikan), itulah yang disebut sebagai dimensi kepribadian. Menurut Abudin Nata, proses pendidikan nativistik hanya akan bermanfaat jika kegiatan pendidikan bertolak pada empat dasar teori disiplin mental, yaitu:[1]
1.    Teori Disiplin Mental Teistik
Teori ini menjelaskan bahwa setiap anak yang lahir pasti memiliki sejumlah daya mental, seperti:
a.    Berpikir,
b.    Menanggapi,
c.    Menanya,
d.   Menganalisa,
e.    Dll
Proses belajar mengajar pada tahap awal seharusnya berorientasi pada tujuan untuk melatih daya-daya tersebut. pandangan mengenai teori disiplin mental teistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi daya.
2.    Teori Disiplin Mental Humanistik
Setelah daya mental dari setiap anak telah dilatih agar dapat digunakan secara maksimal, maka setiap anak akan memiliki kebiasan terhadap kapasitas pemakaian daya yang dimilikinya dalam menjalani proses kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan dalam hal kapasitas pemakaian daya tersebut selanjutnya harus dilatih secara terus menerus dan dalam hal pelatihan ini seorang pendidik tidak dapat menyamaratakan kebiasaan pemakaian daya yang telah dimiliki oleh setiap peserta didiknya. Perilaku tersebut merupakan sebuah perwujudan dari prilaku humanis (memanusiakan manusia), dikarenakan pendidik tidak mendidik setiap peserta didiknya dengan landasan kemauan sepihak dari pendidik, namun pendidik juga mempertimbangkan mengenai potensi-potensi yang telah dimiliki oleh peserta didiknya.
Kebiasaan terhadap pemakaian daya manusiawi tersebut nantinya dapat dikatakan sebagai sebuah karakter. Pandangan mengenai teori disiplin mental humanistik ini sangat erat hubungannya degan teori psikologi humanistik klasik yang telah digagas oleh Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa 427-322 SM.[2]
Apa yang membedakan antara teori disiplin mental teistik dan humanistik? Jawabnya adalah perbedaan tersebut ada pada objek yang dilatih. Teori disiplin mental teistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta didik ketika daya-daya tersebut masih berbentuk bagian-bagian, dan teori disiplan mental humanistik melatih daya-daya yang dimiliki peserta didik ketika daya-daya tersebut telah menyatu menjadi suatu kesatuan.
3.    Teori Naturalis
Dalam pandangan nativisme, dari dalam diri setiap manusia terdapat suatu ’inti’ pribadi yang mendorong manusia tersebut untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas.
Dorongan “inti” tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter anak yang telah dikembangkan berlandaskan teori disiplin mental humanistik. Jika karakter anak condong ke arah positive, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan mengarahkan seorang anak untuk berprilaku positive. Dan juga sebaliknya, jika karakter anak condong ke arah negative, maka dorongan-dorongan tersebut nantinya akan mengarahkan seorang anak untuk berprilaku negative.
Dikarenakan setiap anak pasti memiliki dorongan yang bersifat intrinsik yang muncul dari dalam dirinya sendiri yang mengakibatkan anak tersebut berprilaku aktif dan memiliki kemauan bebas, dan keberhasilan sebuah proses pendidikan dalam pandangan nativisme sangat dipengaruhi oleh karakter anak itu sendiri, maka tugas seorang pendidik dalam merespon segala bentuk pengembangan karakter seorang anak dalam hal positive maupun negative adalah dengan menciptakan sebuah atmosfir belajar yang baik, dan seorang anak dibiarkan belajar secara natural (alami). Namun, kenaturalan yang ada pada lingkungan pendidikan tersebut telah dibentuk menjadi kenaturalan yang positive. Meskipun seorang anak telah terlahir dengan karakter yang condong kearah negative, namun bagaimana negativitas tersebut dapat berkembang, jika dia hidup dan berproses dalam sebuah lingkungan yang positive?
Menurut aliran nativis kunci keberhasilan dalam sebuah proses pendidikan tidak terletak pada pendidikan ataupun lingkungan itu sendiri, namun terletak pada potensi bawaan yang dimiliki oleh anak didik itu sendiri. Akan tetapi, mengapa dalam pandangan nativis seorang anak juga harus dididik natural? Dikeranakan ketika seorang anak telah memiliki bawaan yang condong kearah negativitas dan seorang pendidik malah terus menekannya dengan kepositivan secara tidak alami, maka ketertekanan mental yang dirasakan anak tersebut menurut Jean Jacques Rosseau malah akan mendorong serang anak agar melakukan sikap-sikap negative yang lebih besar, dan juga dikerenakan dorongan intrinsik yang dimiliki oleh setiap anak telah berdampak pada keaktifan prilaku setiap anak tersebut dan munculnya kemauan dari setiap anak untuk bebas.
4.    Teori Apersepsi
Keberhasilan sebuah proses pendidikan menurut paham nativisme adalah ketika pendidik berhasil menerapkan teori apersepsi, sehingga setiap peserta didik telah terbiasa memiliki sikap apersepsi dalam setiap geraknya. Apa yang dimaksud apersepsi tersebut? apersepsi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sebuah sikap mengamati dalam sebuah kesadaran.[3] Jadi, ketika peserta didik telah memiliki sikap apersepsi, maka dalam setiap gerak peserta didik akan selalu dilaluinya dengan mempelajari sesuatu, karena peserta didik telah memiliki sebuah kesadaran yang terus mendorongnya agar selalu mengamati dan mempelajari segala hal yang ditemuinya.
C.  Kesimpulan
Tokoh dari aliran ini adalah Arthur Schopenhaur (Jerman: 1788-1860), beliau berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang sudah jadi, sehingga faktor pendidikan dan lingkungan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak, yang baik akan menjadi baik dan yang jelek akan menjadi jelek. Aliran ini berpendapat sekalipun diperlukan pendidikan, pendidikan tersebut hanya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Hasil perkembangan anak tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.[4]
Pembawaan tidak akan berkembang dengan baik manakala tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berlangsung dengan baik manakala pada diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya.


[1] Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 231.
[2] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UIP, 1980), hal. 87.
[3] Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 46.
[4] Juhri, Landasan dan Wawasan Pendidikan ( Lampung: Lemut UM Metro Press, 2009), hal. tt.