OPORTUNISME
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER PMII;
MENYIKAP
BUDAYA POLITIK EKSTERNAL-INTERNAL.
By:
A. Bahrul Ulum
Semakin banyak calon presiden dalam mengeluarkan
modal berwujud materi untuk kampanyenya, dengan tujuan mensukseskan dirinya
dalam pemilu raya, agar dirinya dapat menang. Maka, semakin banyak pula
korupsinya nanti ketika dirinya telah menjadi presiden kita.
(ABU)
Sebelum
kita lebih dalam membahas mengenai oportunisme dalam pendidikan karakter PMII,
baiknya kita lebih dahulu mengetahui tentang apa itu PMII? Latar belakang serta
tujuan berdirinya? Dan bagaimana asas-asas pergerakannya? Mengapa
jawaban-jawaban dari soal-soal tersebut baiknya kita ketahui maupun pahami
terlebih dahulu? Karena pemahaman kita mengenai jawaban dari beberapa point
pertanyaan di atas, akan sangat mempengaruhi kita terhadap pola fikir dan pandang
kita terhadap PMII. Namun, mengenai jawaban-jawaban dari beberapa point
pertanyaan dibaris kedua dan tiga tersebut
tidak akan di bahas dalam artikel ini.
Yang
menjadi kajian pokok dalam tulisan ini adalah oportunisme. Apa itu oportunisme?
Oportunisme adalah paham politik yang tak berasas dan menunggu
kesempatan/keadaan yang menguntungkan; paham ini dinamakan juga sebagai paham
politik kotor dan paham politik angin. Bagi para penganut paham politik ini,
disebut sebagai orang-orang oportunis (Partanto dan Al-Barry, 2001: 544).
Setelah
kita mengetahui mengenai definisi dari oportunisme, selanjutnya kita akan
mengkaji mengenai apa itu pendidikan karakter? Karena PMII adalah singkatan
dari sebuah nama oganisasi mahasiswa Islam Indonesia yaitu Pergerakan
Mahasiswa/i Islam Indonesia, dan dikarenakan objek kajian analisis artikel
ini melibatkan Islam sebagai sebuah simbol istilah yang melekat pada nama,
ideologi, pola fikir, dan landasan pergerakan PMII. Maka kita juga akan
membahas mengenai pendidikan karakter dalam sudut pandang Islam.
Kata
pendidikan dalam Islam bersumber dari tiga istilah dasar dalam bahasa Arab,
yaitu tarbiyyah, ta’lim, dan ta’dib. Kata tarbiyah dapat
diartikan sebagai sebuah penamaan terhadap proses belajar mengajar secara luas
dan menyeluruh, makna luas dan menyeluruh disini adalah tidak mencakup satu
objek saja yang diajarkan, tetapi berbagi macam objek. Seperti, objek pemahaman
agama, sosial, alam dan budaya dalam pengetahuan, etika dan estetika dalam
berprilaku, semangat juang menuju ke arah positif dalam berfikir, memberi, dan
menerima pandangan, dsb. Sedangkan kata ta’lim diartiakan sebagai proses
belajar mengajar yang lebih berkonsentrasi dalam satu bidang saja, yaitu dalam
bidang pengetahuan saja. Dan kata ta’dib dinamakan terhadap sebuah
proses belajar mengajar yang lebih fokus pada bidang prilaku saja.
Karakter,
apa itu karakter? Apakah marah, sabar, adil, dll itu adalah karakter? Karakter
adalah watak. Apa itu watak? Watak dapat diartikan secara istilah sebagai prilaku
manusia dalam kesehariaanya yang muncul secara sepontan yang merupakan sebuah
respon terhadap pelbagai hal apapun yang dialaminya. Jadi, marah, sabar, adil,
dll bukanlah sebuah karakter, tapi bentuk-bentuk karakter, sedangkan karakter itu
sendiri adalah proses pembiasaan penempatan bentuk-bentuk karakter tersebut
dalam prilaku sehari-hari dengan prosentasenya masing-masing di dalam berbagai
hal yang melekat pada situasi dan kondisi apapun. Jadi, secara singkat
pendidikan karekter adalah pendidikan pembiasaan berprilaku dalam menjalani
kehidupan. Berprilaku yang bagaimana? Karena kita menganalisa pendidikan
karakter PMII, jawabnya adalah berprilaku Islami berlandaskan Ahlussunnah
Waljama’ah yang didalamnya terkandung empat landasan metode berfikir,
yaitu, toleransi, keadilan, keseimbangan, dan berdiri di tengah atau moderat.
Dan empat nilai dasar pergerakan, yaitu, tauhid, hubungan dengan Allah SWT, hubungan
dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam.
Selanjutnya,
dalam konteks social, kader-kader PMII dididik agar memiliki paradigma kritis
transformative. Apa itu? Singkatnya, paradigma dapat diartikan sebagai suatu
kebiasaan berpikir atau kaca mata dalam memandang realita sosial. Sedangkan kritis
dapat dimaknai dengan tajam atau tegas, teliti
dalam menanggapi, atau memberikan penilaian
secara mendalam. Dan transformative adalah adanya keserasian bertindak
antara ide (keinginan) dan realisasi (proses pelaksanaan).
Namun,
malam itu, senin tanggal 07 April 2014, ada sebuah rapat yang dapat dikatakan
penting antara pihak komisariat dengan kader yang dilaksanakan di komisariat
PMII, untuk membahas persiapan pemilu raya (pemilihan umum presiden mahasiswa
UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2014-2015).
Apa
yang dibahas dalam rapat tersebut? rapat tersebut membahas mengenai penggunaan
strategi apa yang harus digunakan agar capres yang didelegasikan oleh PMII bisa
menang dalam pemilu raya tersebut. Pembahasan inilah yang menarik untuk kita
kritisi dan kaji ulang.
Pemilu
raya yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 April 2014, memiliki beberapa persyaratan
agar dapat mengikuti proses pemilu tersebut, salah satunya adalah dengan memiliki
KTM atau KTP (kartu tanda anggota perpustakaan). Bagi parpol yang ingin
mengusung calon presiden maka harus memiliki KTM/KTP minimal sebanyak 500 buah
agar dapat mengusung calon presiden. Bagi mahasiswa/i UIN Sunan Ampel, adanya
KTM/KTP tersebutlah yang dijadikan alat mendaftar untuk mendapatkan hak suara
mencoblos.
Dikarenakan
adanya syarat memiliki KTM tersebut bagi mahasiswa/i yang ingin mengikuti pesta
demokrasi, maka pengurus partai ingin mengadakan pengukuran validitas suara
yang akan mencoblos capres dari PMII. Ternyata hasilnya miris, kertas suara
yang disiapkan untuk FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) yang berjumlah
1200 lembar, nampaknya akan tersisa 1000 lembar. Dikarenakan hasil verivikasi
malam itu menunjukkan bahwa hanya 200 kader PMII yang saat ini masih
benar-benar aktif.
Pertanyaannya,
bagaimana pemilu tersebut dapat dimenagkan oleh pihak PMII, sedangkan jumlah
suara pasti, yang akan mencoblos capres dari PMII hanyalah 200 orang. Disinilah
budaya mulai berperan aktif dalam menentukan strategi pemenangan capres. Maka,
pihak komisariat memanfaatkan jaz almamater mahasiswa/i yang belum dibagikan
oleh pengurus SEMA FITK untuk mengumpulkan KTM/KTP, jadi mahasiswa/i angkatan
2013 yang mengambil jaz almamater wajib juga mengumpulkan KTM/KTP yang nantinya
akan dimanfaatkan untuk pemilu raya. Maklum, pengurus SEMA FITK semuanya adalah
kader PMII, begitupun juga dengan pengurus HMPnya, seluruhnya adalah kader
PMII, kecuali HMP PMT dan PBI. Jadi distribusi kader dari eksternal (PMII) ke
internal (SEMA maupun HMP) memang dapat dikatakan aktif. Sedangkan untuk
mahasiswa/i angkatan 2012, 2011, dan 2010 FITK yang mau mencoblos capres dari
PMII maka mereka akan diberi sertifikat seminar internasional. Dan yang
terakhir, 200 jumlah kader PMII yang aktif tadi, diperintahkan untuk mencari
minimal 5 orang untuk diajak mencoblos.
Apakah
budaya tersebut yang pertama dan kedua tadi baik? Katanya, mahasiswa/i adalah agent
of change or agent of social control, tapi mengapa kita masih menerapkan
budaya yang dapat kita katakan sebagai budaya yang kliru. Apakah semangat
berpolitik itu hanya dijadikan alat untuk menguasai? Kemudian jika telah
menguasai, maka kita akan dapat dengan sangat mudah utuk mengeksploitasi
kekayaan internal yang nantinya akan diberikan kepada eksternal? (Kekayaan DEMA
untuk PMII) Apakah itu adil? Siapa sebenarnya objek yang berhak untuk
mendapatkan fasilitas dari DEMA? Apakah hanya mahasiswa/i yang berstatus kader
PMII? Mana tranformasi dari manhaj al-fikr kita? Kita mengkritik para
pemimpin Negara sebagai seorang pemimpin yang korup, mereka kita katakan
koruptor, kita menginginkan mereka memimpin secara baik, secara profesional.
Tapi mengapa? Kita yang mengkritik para koruptor, tapi kita sendiri yang
korupsi? Mengapa kita menginginkan kepemimpinan yang professional, yang baik.
Tapi kita mendidik generasi muda penerus bangsa dengan pendidikan karakter
koruptor, pendidikan politik oportunis.
Bagi
mahasiswa/i UIN Sunan Ampel, mengapa kita mau dirusak idealism kita, hanya
karena kita akan diberikan kecukupan terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi kita,
murah sekali harga suara kita, apakah anda mau DPP yang diberikan pihak
rektorat kepada DEMA tidak dapat kalian rasakan bentuk kegiatannya? Mengapa
kalian harus mau suara kalian dibeli dengan selembar sertifikat? Jika kita mau,
kita bisa berubah. Kita bisa bersama-sama memperbaiki proses kepemimpinan
dikampus kita ini. Tapi mengapa harus kita? Jika sebatang lidi mudah
dipatahkan, tapi tidak bagi sapu lidi. Mari kita mulai perubahan dari diri
kita, dari hal yang terkecil, dari sekarang.
Memang
pada realitanya, proses pergerakan dunia ini pasti selalu dihiasi dengan kesenjangan
antara idealisme dengan realisme. Namun, yang menjadi ukuran keberhasilan
bukanlah keidealan yang ingin kita capai, tapi proses semangat perjuangan kita
menuju keidealan tersebut, jika kita dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, kita
memiliki semangat untuk mengkhalifahi (memimpin diri dan semua makhluk untuk
membawa perubahan dalam konteks social menju kebaikan) maka, saat itulah kita
dapat dikatakan sukses membangun jembatan antara idealisme menuju realisme.
Proses
dinamika perpolitikan dikampus, adalah gambaran mikro dari perpolitikan Negara
kita ini. Jadi, jangan membenci dunia perpolitikan walaupun kita melihat luapan
tinta hitam yang menyelimutinya, menutupi kemurniaannya. Namun, ikutlah
berproses, pelajarilah, tidak ada pengetahuan yang buruk, yang ada hanyalah
tujuan dipakainya pengetahuan tersebut yang akan mempengaruhi pengetahuan
tersebut dikatakan baik atau buruk. Bagaimana kita bisa merubah jika kita tidak
mengetahui? Bagaimana kita bisa mengetahui bila kita tidak mempelajari?
Bagaimana kita bisa mempelajari jika kita enggan dalam berproses?
BERPROSESLAH
DENGAN BENTUK PROSES YANG ENGKAU SUKAI, ISTIQAMAHLAH DALAM BERPROSES, KARENA
DENGAN BERPROSES KITA MENDAPATKAN PENGALAMAN MENGENAI INTERAKSI, DAN PENGALAMAN
MENGENAI INTERAKSI DAPAT MEMBIMBING KITA MENUJU KEDEWASAAN DALAM BERPRILAKU,
JIKA KITA MAU BERUBAH.
Surabaya, 07 April 2014