Baca Selengkapnya: Cara Membuat Marquee (Tulisan Berjalan) Pada Address Bar http://bisikan.com/cara-membuat-marquee-tulisan-berjalan-pada-address-bar#ixzz36o6dOwY5

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 11 Maret 2014

Teori-Teori Sosiologi Makro dan Mikro



TEORI-TEORI SOSIOLOGI MAKRO DAN MIKRO
By: A. Bahrul Ulum

Salah satu pendekatan dalam sosiologi adalah pembahasan mengenai teori-teori sosiologi itu sendiri. Teori dapat digunakan sebagai alat analisis terhadap fenomena-fenomena sosial. Jadi, teori bukanlah tujuan dari sebuah proses analisa sosial.
 Dalam pembahasan ini kita hanya akan membahas mengenai 4 teori saja, yaitu 2 teori sosiologi makro, dan 2 teori sosiologi mikro. Pada pembahasan teori sosiologi makro akan dibahas mengenai teori interaksionisme simbolik, dan teori pertukaran. Dan pada pembahasan sosiologi mikro, akan dibahas teori struktural fungsional, dan struktural konflik. Jika yang ingin kita lakukan adalah menganalisis pada tataran yang luas maka baiknya kita mendahulukan penggunaan teori sosiologi makro, dan jika kita menganalisis pada tataran individu, maka baiknya kita mendahulukan penggunaan teori sosiologi mikro. Berikut penjelasannya:
A.  Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional ini akan menjelaskan mengenai bagaimana berfungsinya suatu struktur. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasannya setiap struktur (seperti persahabatan, organisasi, dll) akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi.
Asumsi dasar teori struktural fungsional ini meurut Ralf Dahrendorf adalah:[1]
1. Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif, mantap, dan stabil. (menurut teori ini elemen=individu)
2. Elemen-elemen yang terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik.
3.Setiap elemen dalam struktur tersebut memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur tersebut sebagai suatu sistem.
4.Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai diantara para anggotanya. (konsensus nilai, berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam suatu masyarakat, (seperti: adat istiadat, norma-norma abstrak, dll) maupun ada dikarenakan adanya pembuatan kesepakatan baru)
B.  Teori Struktural Konflik
Teori struktural konflik ini menjelaskan bagaimana latar belakang terjadinya konflik dalam setiap struktur. Teori struktural konflik ini melihat bahwasannya dalam setiap struktur, pasti memiliki elemen yang berbeda-beda. Dan dari setiap elemen tersebut pasti memiliki motif, maksud, kepentingan, dan tujuan yang berbeda-beda. Dan perbedaan inilah yang melatar belakangi terjadinya disintegrasi, konflik, dan perpecahan.
Asumsi dasar teori struktural konflik ini menurut Ralf Dahrendorf, adalah:[2]
1. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, akan tunduk pada proses perubahan, dan prubahan social ada dimana-mana. (perubahan akan tetap selalu ada dimana-mana, karena setiap elemen dari sebuah struktur pasti memiliki motif-motif yang berbeda, dan setiap elemen tersebut pasti ingin memperjuangkan motifnya masing-masing)
2.  Setiap masyarakat, dalam setiap hal, memperlihatkan pertikaian dan konflik, konflik social akan selalu ada dimanapun. (selama ada perbedaan, maka akan ada konflik)
3.  Setiap elemen dalam suatu masyarakat pasti menyumbangkan disintegrasi dan perubahan.
4. Adanya sebuah struktur, ada yang didasarkan pada paksaan dari beberapa elemen atas elemen yang lain. (kemampuan memaksa muncul dan bisa dilakukan jika memiliki kebutuhan dasar, dan akan selalu lebih kuat power dari paksaan tersebut jika kebutuhannya bersifat langka)
C.  Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik ini memahami suatu realitas sebagai suatu proses interaksi yang dipenuhi oleh simbol-simbol. Setiap elemen secara aktif mengonstruksikan tindakannya dalam proses interaksi dimana individu akan selalu berusaha menyesuaikan diri, dan mencocokkan berbagai macam tindakannya dengan mengambil peran dengan komunikasi simbol,[3]
Asumsi dasar teori interaksionisme simbolik ini, menurut Turner adalah:
1.   Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol. (tindakan sosial dipahami sebagai suatu tindakan individu yang memiliki makna subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain), (dalam proses sosialisasi terdapat proses pemberian makna sehingga menghasilkan simbol-simbol).
2.    Manusia menggunakan symbol untuk saling berkomunikasi.
3. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran/role taking. (proses pengambilan peran yang dapat dilakukan dengan mudah adalah dengan cara menempatkan dirinya dalam kerangka berfikir orang lain yang bertujuan agar mudah mendapatkan respon).
4.   Masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berfikir, mendefinisikan, melakukan refleksi diri, dan melakukan evaluasi.
D.  Teori Pertukaran
Teori pertukaran ini melihat dunia sebagai arena pertukaran,[4] seperti pemberian hadiah, jual beli, berorganisasi, dll. asumsi dasar teori pertukaran menurut George Caspar Homans, Peter M. Blau, Richard Emerson, dan Harold H. Kelly, adalah:
1.  Manusia adalah makhluk rasional, dalam berinteraksi normalnya manusia selalu memperhatikan untung rugi.
2.    Perilak pertukaran social terjadi apabila:
a.   Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan yang hanya dapat tercapai dengan interaksi dengan orang lain.
b. Perilaku tersebut bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian-pencapaian tujuan yang diinginkan.
3. Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat dalam pertukaran tersebut memperoleh keuntungan dari pertukaran itu.


[1] I. Craib, Teori-Teori Sosial Modern (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 196.
[2] Ibid., hal. 197-198.
[3] D. P. Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 37.
[4] George Ritzer, dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Bantul, Kreasi Wacana, 2011), hal. 447.

Sosiologi Max Weber



PELETAK FONDASI SOSIOLOGI
By: A. Bahrul Ulum

Penelusuran sejarah asal-usul atau perkembangan suatu bidang kajian ilmu atau cabangnya, biasanya akan terjebak pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang pertama kali membahas hal ini, dan pada akhirnya cenderung menonjolkan pelaku tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan proses yang cukup membahayakan.[1] Oleh sebab itu, untuk menghindari pengkultusan terhadap seorang tokoh saja, dan tokoh-tokoh yang lain tersembunyikan, maka akan lebih baiknya jika kita membahas banyak tokoh yang berjasa dalam membangun sebuah fondasi dalam ilmu sosiologi. Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam membangun fondasi ilmu sosiologi:
A.  Max Weber (1864-1920 M)
Weber lahir pada tanggal 21 april 1864 di Erfurt Jerman. Ayahnya seorang politisi ternama. Ibunya bernama Hellena Fallenstein, seorang yang saleh dan patuh pada prinsip ajaran agama protestan. Weber adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Weber sering ikut dalam kegiatan diskusi-diskusi.Weber seorang yang jenius dia sering membaca karya-karya ilmuan, karya-karya yang menjadi acuannya antara lain: Homerus seorang sastrawan tradisional dari yunani, dan diyakini sebagai pengarang lliad dan Odyssey. Weber juga mempelajari karya satra dari jerman dan karya filsafat seperti Immanuel Kant, seorang ahli filsafat jerman yang hidup 1724-1824.
Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin. Ia tetap disana selama hampir delapan tahun kemudian ia menyelesaikan studinya, dengan sebuah disertasi yang berjudul History of Commercial Societies in The Middle Aage, dibawah bimbingan Jacob Goldschnidt, ahli sejarah Mimmsen dengan predikat summa cumlaude.
Setelah meraih gelar doctor, Weber menjadi seorang pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Pada tahun 1893 Weber menikahi Marianne Schaitger, dan pada tanggal 14 juni 1920 Weber meninggal di Munchen, Jerman, pada umur 56 tahun.
1.    Analisis Tipe Ideal
Apa sih analisis tipe ideal itu? Analisis tipe ideal merupakan sebuah penamaan terhadap salah satu desain kategori interaksi sosial. Tipe ideal sendiri bermakna jalan melingkar yang ditempuh untuk menjelaskan suatu penjelasan.
Apa ciri-ciri dari sebuah analisis, jika analisis tersebut dapat dikatakan sebagai tipe ideal? Ciri-cirinya adalah:
a.    Tipe ideal tidak memiliki hubungan dengan penilaian normative.
Penilaian normatif  adalah sebuah penilaian yang dilandaskan terhadap hukum-hukum keharusan, menurut prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup bermasyarakat.[2] Dan penilaian normative erat hubungannya dengan tipe solidaritas mekanik. Jadi, dalam menganalisis masalah dalam masyarakat yang hidup dengan solidaritas mekanik, dapat dikatakan kurang tepat jika menggunakan tipe ideal sebagai alat analisanya.
b.    Tipe ideal merupakan bentuk sebuah pemahaman sifat hubungan-hubungan dari unsur-unsur nyata yang sengaja dibuat. Kemudian, dari pemahaman terhadap hubungan-hubungan tersebut kita dapat memilih aspek-aspek suatu gejala yang terlihat sama, dan selalu konsisten serta logis. Kemudian, diagnosa dapat dibangun dari sebuah kesimpulan yang bersumber dari kekonsistensian tersebut secara keseluruhan, padu, dan kompak.
c.    Tipe ideal merupakan sebuah alat untuk menganalisis, dan digunakannya analisis tipe ideal tersebut adalah untuk mempermudah analisa-analisa kita terhadap masalah-masalah yang tampak, dan benar-benar adanya.
2.    Metode Verstehen (Pemahaman Interpretatif)
Metode verstehen merupakan suatu metode atau suatu cara untuk memahami ataupun memahamkan suatu tindakan yang memiliki makna subjektif bagi dirinya, maupun bagi orang lain, dengan mengaitkan tindakan tersebut terhadap orang lain. Ada beberapa cara untuk memahamai makna sebuah tindakan, yaitu:
a.    Rasional
Rasional adalah pemahaman yang masuk akal. Contoh: jika seseorang merasa lapar, maka mereka akan lebih aktif dan responsive ketika berhadapan dengan makanan.
b.    Empatik
Empatik adalah sebuah kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain. Dalam model ini, pengamat melibatkan diri secara emosional terhadap objek yang diamati. Contoh: jika saya adalah anda, maka saya juga akan melakukan hal yang sama.
c.    Apresiatif
Apresiatif adalah cara memahami arti subjektif bagi tindakan orang lain, dengan mengaitkannya dengan arti subjektif pada diri sendiri. Contoh: jika saya tidak menyukai ktika saya dibohongi, maka kita janganlah membohongi orang lain.
Kemudian, weber menjelaskan bahwasannya ada dua jenis pemahaman dalam metode verstehen, yaitu:
a.    Aktualles verstehen (pemahaman aktual)
Pemahaman aktual (sebenarnya) oleh weber juga disebut sebagai pemahaman observational understanding yang dapat diartikan sebagai sebuah proses pengamatan untuk memahami objek yang diamati. Namun, secara utuh pengertian mengenai jenis pemahaman aktualles verstehen adalah sebuah pemahaman yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung dengan mengamati ekspresi simbolis dari objek yang diamati, tanpa melihat konteks yang lebih luas. Contoh: dino ingin mengetahui perasaan sintia padanya, sehingga dino selalu mengamati sintia, dari caranya berbicara dengan dino, melihat dino, dan meluangkan waktu bersama dino. Dari, rangkaian ekspresi yang ditunjukkan  sintia, maka dino dapat mendiagnosa mengenai bagaimana perasaan sintia kepada dino. Tetapi, yang perlu dino ketahui mengenai kualitas ketepatan diagnosanya adalah ada pada bagaimana dia dapat menerapkan metode dan kriteria penelitian yang baik, dan sebelumnya dino juga harus memiliki banyak pengetahuan teoritis, karena menurut Auguste Comte, fungsi dari sebuah teori  adalah sebagai alat analisa.
Jika diibaratkan menganalisa sosial itu sebagai sebuah proses memotong ayam, maka teori itu sebagai pisaunya, metode penelitian itu sebagai tatacaranya, dan kriteria penelitian yang baik itu adalah sebagai prilaku-prilaku yang baiknya dilakukan untuk menunjang keberhasilan kita dalam memotong ayam tersebut.
b.    Eklarendes verstehen (pemahaman penjelasan)
Pemahaman penjelasan oleh Weber juga disebut sebagai pemahaman explanatory understanding, pemahaman penjelasan adalah suatu pemahaman yang diperoleh dengan cara menempatkan objek yang diamati ke dalam konteks yang lebih luas. Dalam penerapannya, pengamat tidak hanya menyimpulkan sebuah hipotesis dari apa yang telah pengamat amati secara aktual saja, namun, pengamat juga berusaha mencari bentuk motif-motif yang tersembunyi dari objek yang diamati. Sebuah pertanyaan penting yang harus selalu ada dalam jenis pemahaman ini adalah apa yang menyebabkan seseorang melakukan hal seperti itu dalam situasi seperti ini?
Contoh: kita melihat ibu dino pada pukul 05.00 WIB membeli LPG di toko ibu sutemi. Pertanyaannya, mengapa pagi ini ibu dino membeli LPG? Ternyata keesokannya harinya ibu dino tidak membeli LPG lagi, berarti pembelian LPG ibu dino pada pagi hari bukanlah sebuah rutinitas yang selalu dilakukan. Lalu muncul sebuah pertanyaan, motif apa yang mendorong ibu dino untuk membeli LPG diwaktu itu?
Kemudian kita menanyakan kepada dino, apakah kamu selalu sarapan setiap pagi? Jawab dino betul, apakah ibumu selalu masak dipagi hari? Jawab dino tidak, kemudian kita bertanya, bagaimana perasaanmu jika kamu makan dipagi hari? Jawab dino biasa saja, karena itu sudah menjadi kebiasaan, kemudian kita bertanya kepada dino, apakah kamu selalu sarapan dengan keadaan makanan yang selalu hangat? Jawab dino betul.
Jadi, kita dapat menarik sebuah kesimpulan sebagai jawaban kita mengenai pertanyaan, motif apa yang melatar belakangi ibu dino untuk membeli LPG dipagi itu? Jawabnya, ibu dino membeli LPG di pagi itu dikarenakan ibu dino ingin menyalakan kompornya untuk menghangatkan masakannya yang akan disediakannya untuk sarapan pagi seluruh anggota keluarganya.
Eklarendes verstehen/pemahaman penjelasan dapat dipahami disebabkan oleh susunan/rangkaian prilaku-prilaku yang ditunjukkan keluarga dino yang kita ketahui lewat observasi kita (dengan metode tanya jawab dialektika sokrates), memperlihatkan suatu konsistensi logis, harmoni estetis, dan keserasian antara tujuan dengan cara pencapaiannya.
Setiap penafsiran terhadap suatu pemahaman tentunya diusahakan mencapai tingkat kejelasan dan kepastian yang benar-benar valid. Tetapi, setiap interpretasi/penafsiran sesungguhnya hanya dapat dilihat sebagai Pculiary Plausible Hypothesis (sebagai sebuah hipotesis./dugaan), bukan sebagai Causally Valid (benar secara kausal) dikarenakan ada beberapa sebab, yaitu:
a.    Subjek terkadang memiliki dua atau lebih suatu motif dalam bertindak.
b.    Dua aksi subjek yang terlihat sama, bisa jadi dilandasi oleh motif-motif yang sangat berbeda.
c.    Subjek dalam suatu situasi sering terdorong oleh motif-motif yang kontradiktif, sehingga sangat susah untuk menduga terhadap motif mana yang menjadikan subjek beraksi.
Baiknya, untuk menguji validitas hasil penelitian, seorang peneliti baiknya melakukan verifikasi (pembuktian) dengan melakukan uji probabilitas (kemungkinan suatu hal untuk terjadi).
3.    Tesis Perkembangan Kapitalisme
Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa perkembangan etika protestan yang muncul pada abad ke-16 dan digerakkan oleh doktrin calvinisme (doktrin mengenai takdir kehidupan), mengkonsekwensikan terhadap beberapa perubahan dalam:[3]
a.    Budaya kerja keras masyarakat eropa.
b.    Sikap kedisiplinan dan kebersahajaan dalam bekerja, dan
c.    Kepatuhan terhadap perintah menjauhi kehidupan hedonis (bersenang-senang) yang diajarkan dalam agama protestan.[4]
Perubahan tersebut akan terwujud jika doktrin calvinisme dipahami dengan model pemahaman Eklarendes verstehen (pemahaman penjelasan/interpretative), dikarenakan dengan memakai sudut pandang tersebut, akan memunculkan beberapa bentuk pemahaman baru, yaitu:
a.    Pemahaman bahwasannya tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan kecelakaan dalam hidup manusia.
b.    Dengan adanya pemahaman pada poin sebelumnya, maka menurut Weber para pemeluk calvinisme akan mengalami Panik Keselamatan.
c.    Dampak dari munculnya tekanan Psikis tersebut maka para pemeluk calvinisme akan bekerja keras untuk mencari berkah Tuhan dalam kehidupannya agar mereka selamat.
d.   Jadi, mean set yang tertanam pada para pemeluk calvunisme adalah keberhasilan dan kebahagiaan merupakan sebuah hadiah dari Tuhan, dan hadiah tersebut dapat diperoleh bagi mereka yang terpilih, dan keterpilihan tersebut dapat diperoleh dengan perjuangan untuk mencari berkah Tuhan dalam kehidupan mereka.
Kesimpulannya, dikarenakan doktrin calvinisme dapat memberikan sebuah motif psikologis dan rangsangan yang kuat bagi para pemeluknya untuk berprilaku dengan baik agar mendapatkan berkah Tuhan, maka dengan sendirinya sumber daya masyarakat eropa akan membaik. Sehingga menurut Weber konsekwensi logisnya adalah, jika sumber daya masyarakat telah membaik, maka akan berdampak pada pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis yang baik. Hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan sosial dalam bentuk jejaring fungsi-fungsi sosio-ekonomik.[5] Hubungan antara doktrin calvanisme dengan perubahan sumber daya manusia dan sistem ekonomi kapitalis tersebut disebut Weber sebagai elective affianity. Jadi, hubungan antara agama dengan ranah sosial ekonomi dalam masyarakat,
4.    Tipologi Tindakan Sosial, Kewenangan, dan Birokrasi
Tindakan sosial adalah tindakan individu yang memiliki makna subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Weber menemukan 4 tipe dari tindakan sosial, yaitu:
a.    Tindakan Rasional Instrumental
 Yaitu suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan dan pilihan secara sadar, dalam kaitannya dengan tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan tersebut.
Contoh: seorang pengusaha dalam bidang apapun, akan lebih mudah mempromosikan usahanya jika usahawan tersebut mengikuti sebuah organisasi, apalagi dia dapat menjadi seorang pemimpin dalam ormas-ormas yang ada, maka tingkat kemudahan dalam mempromosikan usahanya akan lebih mudah.
b.    Tindakan Rasional Nilai
Yaitu suatu tindakan dimana tujuan dari tindakan tersebut telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan nilai akhir bagi individu yang bertindak, sehingga yang dipertimbangkan hanyalah cara agar bagaimana tindakan tersebut dapat terlaksanakan. Contoh: sedekah yang dikerjakan oleh umat Islam.
c.    Tindakan Afektif
Yaitu suatu tindakan yang didominasi oleh perasaan atau emosi, tanpa adanya sebuah refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Contoh: banyaknya pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan oleh sepasang insan yang sedang jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara.
d.   Tindakan Tradisional
Yaitu sebuah tindakan yang muncul dikarenakan adanya sebuah kebiasaan ataupun tradisi-tradisi masyarakat, dan tindakan tersebut dilakukan dengan tidak adanya refleksi secara sadar dan perencanaan secara serius. Contoh: sopan santun seorang santri kepada kiainya dalam budaya pesantren tradisional, bahwasannya jika ada kiai lewat didepan santrinya, maka santrinya akan berdiri.
Weber juga membangun tipologi kewenangan dengan tiga tipe, yaitu:
a.    Kewenangan Tradisional
Yaitu kewenangan yang muncul akibat adanya kulturalisasi budaya klasik. Contoh: kewenangan kiai terhadap santrinya. Kewanangan tersebut muncul karena adanya indoktrinasi dalam budaya kaderisasi dari santri senior kepada junior, dengan dalih sebuah berkah.
b.    Kewenangan Kharismatik
Yaitu kewenangan yang muncul sebagai dampak dari kepemilikan seseorang terhadap suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia-manusia secara umum. Contoh: kewenangan Nabi kita Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin dalam segala bidang kehidupan ketika beliau berada di Madinah.
c.    Kewenangan Legal-Rasional
Yaitu kewenangan yang muncul dikarenakan adanya sebuah system yang abstrak yang telah disepakati secara umum sebagai penunjang atau landasan kepemimpinannya. Contoh: kepemimpinan presiden dalam Negara kita ini.
Dalam bukunya yang berjudul sosiologi, pada bab Economi and Society, Weber sedikit menjelaskan mengenai sosiologi pendidikan, yatiu pada sub bab Bureaucracy and Education. Menurut Weber, ada dua tipe dalam pendidikan, yaitu:
a.    Pendidikan Rasionalis
Yaitu sebuah proses belajar mengajar yang diatur, dilaksanakan, dan diukur oleh konsep-konsep yang rasional. Dampaknya akan mengasilkan peserta didik yang berkarakter spesialis.
b.    Pendidikan Tradisionalis
Yaitu sebuah proses belajar mengajar yang diatur, dilaksanakan, dan diukur oleh etika dan moral tradisional. Dampaknya akan mengasilkan peserta didik yang berkarakter terpelajar (beretika).
Tipe ideal pada birokrasi modern yang diusulkan oleh Weber, memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.    Berbagai aktifitas regular yang diperlukan untuk pencapaian suatu tujuan dari birokrasi tersebut, didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban resmi.
b.    Adanya konsep hierarki dalam birokrasi, yaitu setiap lembaga yang lebih rendah akan dikontrol oleh lembaga yang lebih tinggi.
c.    Operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah abstrak yang konsisten, dan penerapan kaidah tersebut harus sampai pada seluruh lembaga, serta pengaplikasiaan kaidah tersebut harus benar-benar dilaksinakan dengan baik sampai pada proses yang paling spesifik.
d.   Pemimpin yang ideal harus bekerja dengan impersonalitas formalistik, maksudnya adalah seorang pemimpin harus bekerja dengan professional dan adil, tanpa melibatkan masalah-masalah pribadi dalam kepemimpinannya, dan tidak melibatkan perasaan, emosi, maupun motif-motif lainnya yang bersifat pribadi dalam proses penjalanan kewajibannya.
e.    Perekrutan anggota harus terhindar dari tindak kesewenang-wenangan dari oknum-oknum manapun, dan dari keputusan subjektif siapapun. Dalam perekrutan anggota juga harus ada kualifikasi teknis berdasarkan ukuran intelektualitas, loyalitas, ataupun hal-hal yang lainnya yang berkenaan dengan masalah kepemimpinan yang baik dalam ukuran skala yang abstrak universal.
f.     Harus menerapkan sistem penghukuman yang efisien.


[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 23.
[2] Ibid., Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer…, hal. 526.
[3] Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (London: T. P., 1965), hal 105.
[4] Ibid., Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan,,,hal. 35.
[5] Bryan S. Turner, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 303.