PELETAK
FONDASI SOSIOLOGI
By:
A. Bahrul Ulum
Penelusuran
sejarah asal-usul atau perkembangan suatu bidang kajian ilmu atau cabangnya,
biasanya akan terjebak pada pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang
pertama kali membahas hal ini, dan pada akhirnya cenderung menonjolkan pelaku
tertentu sebagai bapak pendiri dari suatu bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini
merupakan proses yang cukup membahayakan.
Oleh sebab itu, untuk menghindari pengkultusan terhadap seorang tokoh saja, dan
tokoh-tokoh yang lain tersembunyikan, maka akan lebih baiknya jika kita
membahas banyak tokoh yang berjasa dalam membangun sebuah fondasi dalam ilmu
sosiologi. Berikut beberapa tokoh yang dipandang berjasa dalam membangun
fondasi ilmu sosiologi:
A. Max
Weber (1864-1920 M)
Weber lahir
pada tanggal 21 april 1864 di Erfurt Jerman. Ayahnya seorang politisi ternama.
Ibunya bernama Hellena Fallenstein, seorang yang saleh dan patuh pada prinsip
ajaran agama protestan. Weber adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Weber
sering ikut dalam kegiatan diskusi-diskusi.Weber seorang yang jenius dia sering
membaca karya-karya ilmuan, karya-karya yang menjadi acuannya antara lain:
Homerus seorang sastrawan tradisional dari yunani, dan diyakini sebagai
pengarang lliad dan Odyssey. Weber juga mempelajari karya satra dari jerman dan
karya filsafat seperti Immanuel Kant, seorang ahli filsafat jerman yang hidup
1724-1824.
Pada
usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di
Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Setelah tiga tahun,
Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun
1884 kembali ke Berlin. Ia tetap disana selama hampir delapan tahun kemudian ia
menyelesaikan studinya, dengan sebuah disertasi yang berjudul History of
Commercial Societies in The Middle Aage, dibawah bimbingan Jacob
Goldschnidt, ahli sejarah Mimmsen dengan predikat summa cumlaude.
Setelah meraih
gelar doctor, Weber menjadi seorang pengacara dan mulai mengajar di Universitas
Berlin. Pada tahun 1893
Weber menikahi Marianne Schaitger, dan pada tanggal 14 juni 1920 Weber
meninggal di Munchen, Jerman, pada umur 56 tahun.
1. Analisis
Tipe Ideal
Apa
sih analisis tipe ideal itu? Analisis tipe ideal merupakan sebuah penamaan
terhadap salah satu desain kategori interaksi sosial. Tipe ideal sendiri
bermakna jalan melingkar yang ditempuh untuk menjelaskan suatu penjelasan.
Apa
ciri-ciri dari sebuah analisis, jika analisis tersebut dapat dikatakan sebagai
tipe ideal? Ciri-cirinya adalah:
a. Tipe
ideal tidak memiliki hubungan dengan penilaian normative.
Penilaian
normatif adalah sebuah penilaian yang
dilandaskan terhadap hukum-hukum keharusan, menurut prinsip-prinsip atau
pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup
bermasyarakat.
Dan penilaian normative erat hubungannya dengan tipe solidaritas mekanik. Jadi,
dalam menganalisis masalah dalam masyarakat yang hidup dengan solidaritas
mekanik, dapat dikatakan kurang tepat jika menggunakan tipe ideal sebagai alat
analisanya.
b. Tipe
ideal merupakan bentuk sebuah pemahaman sifat hubungan-hubungan dari
unsur-unsur nyata yang sengaja dibuat. Kemudian, dari pemahaman terhadap
hubungan-hubungan tersebut kita dapat memilih aspek-aspek suatu gejala yang
terlihat sama, dan selalu konsisten serta logis. Kemudian, diagnosa dapat
dibangun dari sebuah kesimpulan yang bersumber dari kekonsistensian tersebut
secara keseluruhan, padu, dan kompak.
c. Tipe
ideal merupakan sebuah alat untuk menganalisis, dan digunakannya analisis tipe
ideal tersebut adalah untuk mempermudah analisa-analisa kita terhadap
masalah-masalah yang tampak, dan benar-benar adanya.
2. Metode
Verstehen (Pemahaman Interpretatif)
Metode
verstehen merupakan suatu metode atau suatu cara untuk memahami ataupun
memahamkan suatu tindakan yang memiliki makna subjektif bagi dirinya, maupun
bagi orang lain, dengan mengaitkan tindakan tersebut terhadap orang lain. Ada
beberapa cara untuk memahamai makna sebuah tindakan, yaitu:
a. Rasional
Rasional
adalah pemahaman yang masuk akal. Contoh: jika seseorang merasa lapar, maka
mereka akan lebih aktif dan responsive ketika berhadapan dengan makanan.
b. Empatik
Empatik
adalah sebuah kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang
lain. Dalam model ini, pengamat melibatkan diri secara emosional terhadap objek
yang diamati. Contoh: jika saya adalah anda, maka saya juga akan melakukan hal
yang sama.
c. Apresiatif
Apresiatif
adalah cara memahami arti subjektif bagi tindakan orang lain, dengan
mengaitkannya dengan arti subjektif pada diri sendiri. Contoh: jika saya tidak
menyukai ktika saya dibohongi, maka kita janganlah membohongi orang lain.
Kemudian,
weber menjelaskan bahwasannya ada dua jenis pemahaman dalam metode verstehen,
yaitu:
a. Aktualles
verstehen (pemahaman aktual)
Pemahaman
aktual (sebenarnya) oleh weber juga disebut sebagai pemahaman observational
understanding yang dapat diartikan sebagai sebuah proses pengamatan untuk
memahami objek yang diamati. Namun, secara utuh pengertian mengenai jenis
pemahaman aktualles verstehen adalah sebuah pemahaman yang diperoleh melalui
pengamatan secara langsung dengan mengamati ekspresi simbolis dari objek yang
diamati, tanpa melihat konteks yang lebih luas. Contoh: dino ingin mengetahui
perasaan sintia padanya, sehingga dino selalu mengamati sintia, dari caranya
berbicara dengan dino, melihat dino, dan meluangkan waktu bersama dino. Dari,
rangkaian ekspresi yang ditunjukkan
sintia, maka dino dapat mendiagnosa mengenai bagaimana perasaan sintia
kepada dino. Tetapi, yang perlu dino ketahui mengenai kualitas ketepatan
diagnosanya adalah ada pada bagaimana dia dapat menerapkan metode dan kriteria
penelitian yang baik, dan sebelumnya dino juga harus memiliki banyak pengetahuan
teoritis, karena menurut Auguste Comte, fungsi dari sebuah teori adalah sebagai alat analisa.
Jika
diibaratkan menganalisa sosial itu sebagai sebuah proses memotong ayam, maka
teori itu sebagai pisaunya, metode penelitian itu sebagai tatacaranya, dan
kriteria penelitian yang baik itu adalah sebagai prilaku-prilaku yang baiknya
dilakukan untuk menunjang keberhasilan kita dalam memotong ayam tersebut.
b. Eklarendes
verstehen (pemahaman penjelasan)
Pemahaman
penjelasan oleh Weber juga disebut sebagai pemahaman explanatory understanding,
pemahaman penjelasan adalah suatu pemahaman yang diperoleh dengan cara
menempatkan objek yang diamati ke dalam konteks yang lebih luas. Dalam
penerapannya, pengamat tidak hanya menyimpulkan sebuah hipotesis dari apa yang
telah pengamat amati secara aktual saja, namun, pengamat juga berusaha mencari
bentuk motif-motif yang tersembunyi dari objek yang diamati. Sebuah pertanyaan
penting yang harus selalu ada dalam jenis pemahaman ini adalah apa yang
menyebabkan seseorang melakukan hal seperti itu dalam situasi seperti ini?
Contoh:
kita melihat ibu dino pada pukul 05.00 WIB membeli LPG di toko ibu sutemi.
Pertanyaannya, mengapa pagi ini ibu dino membeli LPG? Ternyata keesokannya
harinya ibu dino tidak membeli LPG lagi, berarti pembelian LPG ibu dino pada
pagi hari bukanlah sebuah rutinitas yang selalu dilakukan. Lalu muncul sebuah
pertanyaan, motif apa yang mendorong ibu dino untuk membeli LPG diwaktu itu?
Kemudian
kita menanyakan kepada dino, apakah kamu selalu sarapan setiap pagi? Jawab dino
betul, apakah ibumu selalu masak dipagi hari? Jawab dino tidak, kemudian kita
bertanya, bagaimana perasaanmu jika kamu makan dipagi hari? Jawab dino biasa
saja, karena itu sudah menjadi kebiasaan, kemudian kita bertanya kepada dino,
apakah kamu selalu sarapan dengan keadaan makanan yang selalu hangat? Jawab
dino betul.
Jadi,
kita dapat menarik sebuah kesimpulan sebagai jawaban kita mengenai pertanyaan,
motif apa yang melatar belakangi ibu dino untuk membeli LPG dipagi itu?
Jawabnya, ibu dino membeli LPG di pagi itu dikarenakan ibu dino ingin
menyalakan kompornya untuk menghangatkan masakannya yang akan disediakannya
untuk sarapan pagi seluruh anggota keluarganya.
Eklarendes
verstehen/pemahaman penjelasan dapat dipahami disebabkan oleh susunan/rangkaian
prilaku-prilaku yang ditunjukkan keluarga dino yang kita ketahui lewat
observasi kita (dengan metode tanya jawab dialektika sokrates), memperlihatkan
suatu konsistensi logis, harmoni estetis, dan keserasian antara tujuan dengan
cara pencapaiannya.
Setiap
penafsiran terhadap suatu pemahaman tentunya diusahakan mencapai tingkat
kejelasan dan kepastian yang benar-benar valid. Tetapi, setiap
interpretasi/penafsiran sesungguhnya hanya dapat dilihat sebagai Pculiary
Plausible Hypothesis (sebagai sebuah hipotesis./dugaan), bukan sebagai Causally
Valid (benar secara kausal) dikarenakan ada beberapa sebab, yaitu:
a. Subjek
terkadang memiliki dua atau lebih suatu motif dalam bertindak.
b. Dua
aksi subjek yang terlihat sama, bisa jadi dilandasi oleh motif-motif yang
sangat berbeda.
c. Subjek
dalam suatu situasi sering terdorong oleh motif-motif yang kontradiktif,
sehingga sangat susah untuk menduga terhadap motif mana yang menjadikan subjek
beraksi.
Baiknya,
untuk menguji validitas hasil penelitian, seorang peneliti baiknya melakukan
verifikasi (pembuktian) dengan melakukan uji probabilitas (kemungkinan suatu
hal untuk terjadi).
3. Tesis
Perkembangan Kapitalisme
Dalam
The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan
bahwa perkembangan etika protestan yang muncul pada abad ke-16 dan digerakkan
oleh doktrin calvinisme (doktrin mengenai takdir kehidupan), mengkonsekwensikan
terhadap beberapa perubahan dalam:
a. Budaya
kerja keras masyarakat eropa.
b. Sikap
kedisiplinan dan kebersahajaan dalam bekerja, dan
c. Kepatuhan
terhadap perintah menjauhi kehidupan hedonis (bersenang-senang) yang diajarkan
dalam agama protestan.
Perubahan
tersebut akan terwujud jika doktrin calvinisme dipahami dengan model pemahaman
Eklarendes verstehen (pemahaman penjelasan/interpretative), dikarenakan dengan
memakai sudut pandang tersebut, akan memunculkan beberapa bentuk pemahaman
baru, yaitu:
a. Pemahaman
bahwasannya tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan kecelakaan dalam
hidup manusia.
b. Dengan
adanya pemahaman pada poin sebelumnya, maka menurut Weber para pemeluk
calvinisme akan mengalami Panik Keselamatan.
c. Dampak
dari munculnya tekanan Psikis tersebut maka para pemeluk calvinisme akan
bekerja keras untuk mencari berkah Tuhan dalam kehidupannya agar mereka
selamat.
d. Jadi,
mean set yang tertanam pada para pemeluk calvunisme adalah keberhasilan
dan kebahagiaan merupakan sebuah hadiah dari Tuhan, dan hadiah tersebut dapat
diperoleh bagi mereka yang terpilih, dan keterpilihan tersebut dapat diperoleh
dengan perjuangan untuk mencari berkah Tuhan dalam kehidupan mereka.
Kesimpulannya,
dikarenakan doktrin calvinisme dapat memberikan sebuah motif psikologis dan
rangsangan yang kuat bagi para pemeluknya untuk berprilaku dengan baik agar
mendapatkan berkah Tuhan, maka dengan sendirinya sumber daya masyarakat eropa
akan membaik. Sehingga menurut Weber konsekwensi logisnya adalah, jika sumber
daya masyarakat telah membaik, maka akan berdampak pada pertumbuhan sistem
ekonomi kapitalis yang baik. Hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan
sosial dalam bentuk jejaring fungsi-fungsi sosio-ekonomik.
Hubungan antara doktrin calvanisme dengan perubahan sumber daya manusia dan
sistem ekonomi kapitalis tersebut disebut Weber sebagai elective affianity.
Jadi, hubungan antara agama dengan ranah sosial ekonomi dalam masyarakat,
4. Tipologi
Tindakan Sosial, Kewenangan, dan Birokrasi
Tindakan
sosial adalah tindakan individu yang memiliki makna subjektif bagi dirinya dan
dikaitkan dengan orang lain. Weber menemukan 4 tipe dari tindakan sosial,
yaitu:
a. Tindakan
Rasional Instrumental
Yaitu suatu tindakan yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan dan pilihan secara sadar, dalam kaitannya dengan
tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan tersebut.
Contoh:
seorang pengusaha dalam bidang apapun, akan lebih mudah mempromosikan usahanya
jika usahawan tersebut mengikuti sebuah organisasi, apalagi dia dapat menjadi
seorang pemimpin dalam ormas-ormas yang ada, maka tingkat kemudahan dalam
mempromosikan usahanya akan lebih mudah.
b. Tindakan
Rasional Nilai
Yaitu
suatu tindakan dimana tujuan dari tindakan tersebut telah ada dalam hubungannya
dengan nilai absolut dan nilai akhir bagi individu yang bertindak, sehingga
yang dipertimbangkan hanyalah cara agar bagaimana tindakan tersebut dapat
terlaksanakan. Contoh: sedekah yang dikerjakan oleh umat Islam.
c. Tindakan
Afektif
Yaitu
suatu tindakan yang didominasi oleh perasaan atau emosi, tanpa adanya sebuah
refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Contoh: banyaknya
pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan oleh sepasang insan yang sedang jatuh
cinta dan menjalin hubungan asmara.
d. Tindakan
Tradisional
Yaitu
sebuah tindakan yang muncul dikarenakan adanya sebuah kebiasaan ataupun
tradisi-tradisi masyarakat, dan tindakan tersebut dilakukan dengan tidak adanya
refleksi secara sadar dan perencanaan secara serius. Contoh: sopan santun
seorang santri kepada kiainya dalam budaya pesantren tradisional, bahwasannya
jika ada kiai lewat didepan santrinya, maka santrinya akan berdiri.
Weber
juga membangun tipologi kewenangan dengan tiga tipe, yaitu:
a. Kewenangan
Tradisional
Yaitu
kewenangan yang muncul akibat adanya kulturalisasi budaya klasik. Contoh:
kewenangan kiai terhadap santrinya. Kewanangan tersebut muncul karena adanya
indoktrinasi dalam budaya kaderisasi dari santri senior kepada junior, dengan
dalih sebuah berkah.
b. Kewenangan
Kharismatik
Yaitu
kewenangan yang muncul sebagai dampak dari kepemilikan seseorang terhadap suatu
kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia-manusia secara umum. Contoh:
kewenangan Nabi kita Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin dalam segala bidang
kehidupan ketika beliau berada di Madinah.
c. Kewenangan
Legal-Rasional
Yaitu
kewenangan yang muncul dikarenakan adanya sebuah system yang abstrak yang telah
disepakati secara umum sebagai penunjang atau landasan kepemimpinannya. Contoh:
kepemimpinan presiden dalam Negara kita ini.
Dalam
bukunya yang berjudul sosiologi, pada bab Economi and Society,
Weber sedikit menjelaskan mengenai sosiologi pendidikan, yatiu pada sub bab Bureaucracy
and Education. Menurut Weber, ada dua tipe dalam pendidikan, yaitu:
a. Pendidikan
Rasionalis
Yaitu
sebuah proses belajar mengajar yang diatur, dilaksanakan, dan diukur oleh
konsep-konsep yang rasional. Dampaknya akan mengasilkan peserta didik yang
berkarakter spesialis.
b. Pendidikan
Tradisionalis
Yaitu
sebuah proses belajar mengajar yang diatur, dilaksanakan, dan diukur oleh etika
dan moral tradisional. Dampaknya akan mengasilkan peserta didik yang
berkarakter terpelajar (beretika).
Tipe
ideal pada birokrasi modern yang diusulkan oleh Weber, memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Berbagai
aktifitas regular yang diperlukan untuk pencapaian suatu tujuan dari birokrasi
tersebut, didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban resmi.
b. Adanya
konsep hierarki dalam birokrasi, yaitu setiap lembaga yang lebih rendah akan
dikontrol oleh lembaga yang lebih tinggi.
c. Operasi
birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah abstrak yang konsisten,
dan penerapan kaidah tersebut harus sampai pada seluruh lembaga, serta
pengaplikasiaan kaidah tersebut harus benar-benar dilaksinakan dengan baik
sampai pada proses yang paling spesifik.
d. Pemimpin
yang ideal harus bekerja dengan impersonalitas formalistik, maksudnya adalah
seorang pemimpin harus bekerja dengan professional dan adil, tanpa melibatkan
masalah-masalah pribadi dalam kepemimpinannya, dan tidak melibatkan perasaan,
emosi, maupun motif-motif lainnya yang bersifat pribadi dalam proses penjalanan
kewajibannya.
e. Perekrutan
anggota harus terhindar dari tindak kesewenang-wenangan dari oknum-oknum
manapun, dan dari keputusan subjektif siapapun. Dalam perekrutan anggota juga
harus ada kualifikasi teknis berdasarkan ukuran intelektualitas, loyalitas,
ataupun hal-hal yang lainnya yang berkenaan dengan masalah kepemimpinan yang
baik dalam ukuran skala yang abstrak universal.
f. Harus menerapkan sistem penghukuman yang
efisien.